Cerpen | Thayeb Loh Angen
EBRU GULSEN, si penyair Istanbul itu berjalan lurus di sela barisan ratusan lelaki yang baru mendarat di Kuala Aceh. Sebagian bertopi baja yang bagian atasnya meruncing ke atas seperti kubah mesjid, tentara Turki Usmani. Dara itu mengerling ke kiri dan kanan supaya tidak menabrak barisan itu. Mereka tidak meliriknya, apalagi tersenyum.
Mereka melangkah cepat dan teratur seperti dirinya, namun ke arah berbeda. Ebru Gulsen menuju tujuh buah kapal yang ditambat di Kuala Aceh, sementara mereka merapat ke pasukan bersurban -tentara Aceh Darussalam- yang berbaris di kiri kanan jalan dekat gerbang dermaga. Dara ini membandingkan pakaian sultan dan tentara Turki Usmani dengan Aceh Darussalam. Sultan Turki memakai surban besar berbentuk bunga tulip yang dijadikan kafannya setelah wafat. Tentaranya memakai topi baja berkubah.
Sultan Aceh memakai kupiah ala masyarakat Turki, bulat panjang agak mengecil ke atas dengan lelangit rata. Tentaranya memakai surban berbentuk cawan yang dijadikan sajadah dan bantal dalam masa peperangan. Penyair Istanbul berjalan terus seraya melilitkan ujung kain berwarna biru yang menutupi rambut lurus pirangnya ke leher supaya tidak diterbangkan angin ke kuala. Di belakangnya, dua kafilah tentara berhadap-hadapan.
Begitu tetamu agung mendekat, pasukan bersurban menyambutnya dengan musik nyaring. Ebru Gulsen menghentikan langkah. Ia memiringkan kepala ke kiri, memperdengarkan dengan seksama.
“Alat musik apakah itu?”
Dari kejauhan, terlihat rapai Pase ditabuh oleh tujuh puluh orang dan dua puluh orang lagi meniup seurune kale. Musik kemenangan perang, menyambut para pahlawan. “Ini bukan pasukan khusus Mehter dengan lagu Cenddin Deden tetapi semangatnya serupa,” Ebru Gulsen berpaling ke barisan tentara. Ia mengangkat gulungan kertas puisi yang dari tadi digenggamnya. “Ternyata orang-orang negeri ini punya selera seni musik yang mengagumkan. Aku mulai menyukai mereka,” Ebru Gulsen berpikir akan menemui Sultan Al Kahar untuk meminta pasukan pemusik itu mengiringi puisinya saat dibacakan di Pasar Aceh dan lapangan Blang Padang. Dalam iringan musik yang menggema dari Kuala Aceh sampai Istana Dalam, Laksamana Tun Hasan -pimpinan Angkatan Laut dan sekalian tentara darat Aceh Darussalam- menyalami orang-orang yang telah dua tahun ditunggu, Kafilah Lada Sicupak. Lalu ia menuntun mereka menghadap Sultan Alauddin Syah Al Kahar Yang Agung yang menunggu di balairung Istana Daruddunia.
Penyair Istanbul itu sampai di pantai tepi dermaga. Ia mendekati sebuah sampan, melepaskan pengikat, mendorong, dan mengayuhnya ke arah kapal-kapal yang dihiasi bendera merah. Bendera yang membuatnya bersemangat dalam keadaan bagaimanapun.
***
Di kapal itu, Ebru Gulsen tidak menemukan seorang pun. Ia mengambil sehelai bendera, lalu melompat ke sampan. Dara itu menuju kapal lainnya, mengambil sehelai kain lambang negaranya dari setiap kapal. Setelah melepaskan bendera di kapal ke tujuh, Ebru Gulsen tidak langsung turun. Ia melilitkan kain merah bergambar bulan sabit, bintang lima, dan pedang kembar itu di pinggangnya, lalu membuka gulungan puisi.
Ujung kain biru penutup kepala yang sebagian melilit di leher Ebru Gulsen tergerai -dihembusangin- searah bendera di tiang-tiang layar kapal. Kaki langit barat mulai terlihat jingga.
Ebru Gulsen menarik nafas panjang dan dalam, bersiap membacakan puisi. Tetapi tiba-tiba muncullah seorang lelaki berpakaian merah khas tentara Turki Usmani. “Kembalikanlah bendera itu ke tiangnya!”
“Ini bendera negeriku.” Lelaki itu mengabaikan kata-kata Ebru Gulsen. Ia tidak mengerti mengapa semua orang menghilang dan muncul dara ini. Dalam keheranan, ia mengenalkan dirinya. “Mengapa engkau tidak bersama kafilah?” Ebru Gulsen menggulung lembaran puisi. “Sesaat lalu aku masuk ke kakus setelah kapten menghitung setiap orang di kapal. Aku ikut dihitung. Mungkin tidak seorang pun tahu aku membuang hajat sehingga mereka pergi tanpaku,” lelaki itu membatin, lalu mendekati Ebru Gulsen.
“Aku yang harus bertanya. Seorang gadis berbentuk tubuh orang Turki serta berbicara dalam bahasa Turki yang fasih, mengapa ada di kapal ini? Tidak ada yang membawa perempuan. Dan ini negeri di belahan benua lain.”
“Bendera ini untukku!” Penyair Istanbul berjalan ke tepi geladak untuk melompat ke sampan. Tetapi si tentara menghadangnya. Ebru Gulsen mendorong lelaki itu, dan mereka pun berkelahi. Setelah beberapa jurus, dara itu berhasil menendang perut si tentara. “Darimana engkau belajar ini?”
Lelaki itu pun teringat akan sebuah cerita yang masyhur di kalangan tentara Turki. Adalah Ebru Sevilen, seorang gadis dari keluarga pembesar kesultanan di Istanbul yang ahli ilmu perang tetapi bukanlah seorang tentara. Dalam bahasa Turki, Ebru berarti seni, Sevilen artinya dicintai. Masing-masing dari kedua kata itu sering dipakai untuk nama anak perempuan di Turki. Karena menyukai Ebru dan keahliannya, para tentara di Istanbul menambah Sevilen ketika membicarakannya.