“Dari pamanku, sejak sepuluh tahun lalu. Sekarang beliau melatih tentara di Edirne sebelum dikirim ke Balkan,” Ebru Gulsen menyebut nama pamanya. “Ampunkan saya, Puteri Aqha!” Si tentara meletakkan tangan kanan di dada kiri. Aqha merupakan julukan kebesaran dalam ketentaraan Turki. Lelaki yang disebutkan oleh Ebru Gulsen adalah Tuan Orhan, guru perang dan salah seorang dari penasehat Sultan Turki selama dua puluh tahun terakhir.
Tuan Orhan ialah salah seorang pemimpin perang terhebat yang dimiliki oleh kekhalifahan. Ia ditakuti oleh pasukan perang Kristen Eropa karena keahliannya mengatur strategi perang dan kebijaksanaannya dalam mengajarkan sekalian tentara.
Si tentara memperhatikan gulungan kertas di dalam genggaman dara di hadapannya. “Ebru Sevilen juga seorang penyair.” Ebru Gulsen menuju tangga kapal, bersiap melompat ke sampan.
“Istanbul berada 4.745 mil di barat laut bandar ini. Apa yang … engkau cari di sini?” Teriak si tentara. Ebru Gulsen berpaling sementara kakinya berada di tangga. Diam. Setelah beberapa saat, ia mundur, lalu menceritakan kisahnya. Si tentara yang berpangkat perwira itu memandang air dermaga yang bergolak perlahan. Cerita Ebru Gulsen menusuk telinga dan menjahit mulutnya.
Yang dicari dara itu ialah pelatih dan pemimpinnya. Penyair Istanbul terdiam dan si tentara kehilangan kata. Hening. Hanya ada deru angin dan suara air menyapu dinding kapal. Lalu, mereka melompat ke sampan masing-masing.
***
Orang-orang mengerumuni Ebru Gulsen yang membacakan puisi seraya mengibar-ngibarkan dua helai bendera Turki. “Itu utusan khalifah,” seorang pemilik kedai menunjuk beberapa orang yang melintas. Ebru Gulsen pun berlari mendekat kafilah dimaksud.
“Kami utusan Sultan II Selim yang mulia,” kata Mustafa Ghazi, seorang lelaki yang berusia sekitar lima puluh tahun. “Adakah Erbakan dari Anatolia di kafilahmu?” Ebru Gulsen mengenalkan ciri-ciri Erbakan. “Maafkan kami!” Mustafa Ghazi menunduk, menelan liur pahit. Ia pun bercerita.
Sepekan lalu, kafilah Lada Sicupak bertempur dengan pasukan Portugis di perairan lepas pantai Sailan. Ada lima orang anggotanya yang dihantam meriam. Tubuh mereka berlubang, terbentur ke dinding kapal, lalu terpelanting ke laut. Dua orang orang syahid seketika, dua orang lagi syahid setelah diangkut ke kapal. Ebru Gulsen berdiri kaku, mulutnya terbuka. Kalau memasukkan jari telunjuk ke mulut itu, tidak akan menyentuh bibir merah dan gigi putih rapinya. Dara itu merasakan lehernya tercekik, tetapi memaksa diri mendengarkan cerita Mustafa Ghazi.
Seorang lagi berada di antara hidup dan mati. Belum tersadarkan. Sekalian tulangnya remuk selain di dada dan kepala. Seluruh tubuhnya dilumuri dengan ramuan obat. Kemudian, selain mata, hidung, dan mulutnya dibalut dengan kain putih, tampak seperti mumi. “Tetapi, dialah yang paling dibutuhkan oleh Sultan Al Kahar,” kata Mustafa Ghazi, terpatah-patah. Ebru Gulsen merasakan nafasnya segera terhenti. “Siapakah, siapakah nama orang ini, Tuan Mustafa?”
“Dialah Erbakan, … .,”
Sebelum Mustafa Ghazi menyelesaikan kalimatnya, tubuh Ebru Gulsen pun terkulai lemas dan terjatuh. Gulungan puisi dan bendera Turki masih dalam genggamannya. “…, …, kekasih yang kaucari,” lanjut Mustafa Ghazi.
*Thayeb Loh Angen, penulis novel Aceh 2025, aktivis di Pusat Kebudayaan Aceh-Turki (PuKAT), pengurus komunitas menulis Sekolah Hamzah Fansuri.