BI Larang Bitcoin, Tapi Transaksinya Sulit Dilacak dan Dianggap Investasi Paling Aman

Editor: Faisal Zamzami
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bitcoin

SERAMBINEWS.COM, SURABAYA - Bank Indonesia (BI) telah menyatakan bitcoin atau virtual currency lainnya bukan mata uang atau alat pembayaran sah di Indonesia dan telah diunggah di situs resmi BI sejak 6 Februari 2014.

Larangan tersebut ditegaskan kembali beberapa waktu lalu.

BI menyatakan, penggunaan bitcoin sebagai alat transaksi dilarang dalam penyelenggara jasa sistem pembayaran.

Namun, pernyataan itu diyakini tidak akan berpengaruh bagi kurs bitcoin dan minat para pemainnya, termasuk di Surabaya.

Frenavit Putra, salah satu pengguna bitcoin di Surabaya, mengatakan aturan itu tidak berpengaruh kepada para pelaku bitcoin di Indonesia.

Soalnya transaksi bitcoin dilakukan tanpa terlacak.

Selain itu, para pengguna bitcoin juga memiliki wallet (dompet) bitcoin di beberapa tempat.

Bukan hanya di bitcoin.co.id, market terbesar bitcoin di Indonesia dan Asia Tenggara.

“Karena pemerintah tidak mengerti,” kekeh pria yang akrab disapa Avit itu, menduga alasan BI melarang bitcoin.

Ia bilang, transaksi bitcoin mustahil untuk dilacak atau dipantau pemerintah karena memiliki tingkat keamanan yang tinggi.

Sudah bukan rahasia bahwa bitcoin banyak dipakai untuk transaksi gelap, yakni jual-beli narkoba dan lainnya.

Dugaan pelarangan tersebut juga tak lepas dari potensi tersebut.

“Sistem bitcoin ini tidak bisa mengerti wallet-nya punya siapa. Untuk membuka itu, dengan menggunakan komputer paling canggih pun, butuh waktu lima tahun,” ungkapnya.

Meski begitu, Avit tetap tak sepakat dengan penggunaan bitcoinuntuk pasar gelap.

Pelarangan bitcoin oleh BI, kata Avit, tak berpengaruh sama sekali dengan nilai alat tukar itu.

Hal ini berbeda dengan dampak larangan di Tiongkok.

Saat negara itu melarang bitcoin, jelasnya, nilai mata uang virtual tersebut terjun bebas dari Rp 60 juta menjadi Rp 30 juta.

Ia bilang, itu terjadi karena 40 persen penambang bitcoin di dunia berasal dari Tiongkok.

Nilai bitcoin memang fluktuatif. Selama pengalamannya, Avit menyebut penurunan bitcoin paling rendah yakni dari Rp 59 juta menjadi sekitar Rp 25 juta.

Dari situs bitcoin.co.id, nilai per Jumat (25/10/2017) lalu mencapai Rp 90,9 juta.

“Ketika pemerintah melarang, penambangan bitcoin tetap jalan. Bitcoin baru berhenti, pertama, apabila listrik di dunia mati. Kalau listrik mati, otomatis internet mati,” ungkapnya.

Menurutnya, kini bahkan mulai muncul orang-orang yang menambang bitcoin secara lebih serius.

Mereka membeli peralatan lengkap dengan harga mahal dan biaya listrik tinggi untuk meraih pundi-pundi bitcoin.

Salah satu orang yang memiliki perangkat tersebut, kata Avit, berada di daerah Rungkut.

Ia menyebut, peralatan standar untuk menambang bitcoinseharga puluhan atau bahkan nyaris Rp 100 juta.

Sementara daya listrik standar yang terpakai untuk alat tersebut adalah 1.300 watt.

Di Jawa Timur, sepengetahuan Avit, belum ada tempat yang menggunakan bitcoin sebagai alat pembayaran.

Namun ia punya pengalaman bertransaksi dengan bitcoin di Bali.

Salah satu co-working yang sekaligus memiliki kafe, mengizinkan para pelanggannya untuk membayar dengan bitcoin.

Miftahul Faza, pemain bitcoin asal Subaya lain berpendapat, pihak yang memandang bitcoin kurang aman adalah pemerintah.

Sebab, menurut dia, transaksi bitcoin memang tak bisa dideteksi.

Namun, bagi pengguna, bitcoin justru menjadi alat transaksi paling aman.

“Atau boleh dikatakan yang lebih aman dari yang sudah ada,” imbuhnya.

Ia menyebut, nilai bitcoin sepenuhnya dikendalikan pasar.

Meski pemerintah melarang, ia tetap yakin bitcoin adalah tempat investasi yang mudah dan baik. (M Taufik/Aflahul Abidin)

Berita Terkini