Laporan Nani HS | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Perempuan Aceh yang terlibat dalam Duek Pakat Inong Aceh (DPIA) IV sepakat menyetujui petisi untuk mendukung pembahasan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual oleh Pemerintah Aceh dan Perwakilan Masyarakat Sipil Aceh.
Petisi tersebut disepakati dalam pembukaan DPIA IV yang berlangsung di Grand Aceh Hotel, Banda Aceh, Kamis (23/11/17).
Petisi itu telah ditandatangani Ketua TP PKK Aceh, Darwati A Gani, mantan Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa'aduddin Djamal, Wakli Ketua DPRA, Teuku Irwan Djohan, undangan utusan dinas/SKPA.
Draft rencana undang-undang petisi yang dibacakan Darwati A Gani tersebut mengandung pertimbangan-pertimbangan.
(Baca: Gubernur Buka ‘Duek Pakat Inong Aceh’)
(Baca: Perangi Belanda Bersama 2.000 Inong Balee, Anggota DPR RI: Laksamana Malahayati Inspirasi Bangsa)
Inilah narasi petisi yang dibacakan Darwati A Gani pada pembukaan DPIA IV.
Kekerasan seksual merupakan tindakan kriminal. Jumlah kasus cenderung meningkat setiap tahun.
Di tingkat nasional, data Catatan Tahunan Komnas Perempuan pada 2015 terdapat 293.220 kasus, dan meningkat di tahun 2016 menjadi 321.752. Sedangkan kasus kekerasan seksual 3.495 kasus.
Di Provinsi Aceh, catatan Jaring Pemantauan Aceh (JPA), ada 231 kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun Januari 2011 sampai Desember 2016.
Kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu 1.406 kasus (974 terjadi di ranah domestic/rumah tangga dan 432 terjadi di ranah publik), dengan jumlah korbannya sebanyak 1.825 perempuan dari berbagai rentang usia.
Kekerasan yang terjadi di ranah public, khususnya dengan bentuk kekerasan seksual setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan 5%-10%.
(Baca: VIDEO - Kekerasan terhadap Muslim Rohingya, Pemimpin Dunia Mengutuk, Thailand Siap Tampung Pengungsi)
(Baca: VIDEO: Pelaku Pelecehan Seksual Dicambuk)
(Baca: Ini yang Pria Butuhkan Agar Gairah Seksual dan Kesuburan Terjaga, Coba Saja!)
Jumlah ini tentu tidak mencerminkan keselurahan kasus, karena diyakini masih banyak perempuan korban kekerasan yang memilih tidak melaporkan kasusnya.
Keseluruhan data ini merupakan data yang dianalisis berdasarkan kasus-kasus yang telah didampingi langsung oleh 17 lembaga yang bekerja untuk isu perempuan dan HAM serta 14 P2TP2A yang ada di Propinsi Aceh.
Saat ini situasi kekerasan seksual semakin tragis, meningkatnya pelaku gang rape (berkelompok), incest serta pelaku berusia anak.
Sayangnya peningkatan kasus kekerasan seksual ini tidak diimbangi dengan perbaikan konsep layanan untuk dapat mengungkapkan kebenaran, keadilan, dan pemulihan.
Ketiadaan layanan dasar (seperti layanan pengaduan, medis, bantuan hukum, konseling dan reintegrasi) secara cuma-cuma dan berkualitas, yang bisa diakses oleh korban, ketiadaan mekanisme hukum untuk kekerasan seksual yang memadai, menguatnya budaya patriarki dimasyarakat dan semakin meningkatnya impunitas pelaku kekerasan seksual oleh aparat penegak hukum, dengan cara menikahkan korban dengan pelaku ataupun memberikan putusan pidana yang sangat ringan terhadap pelaku.
(Baca: VIDEO Warga Rukoh Tangkap Pasangan Homoseksual)
(Baca: Maknyusnya Tirom Barbekyu Made In Tibang, Konon Bisa Meningkatkan Vitalitas Pria)
Sedangkan PERPU No.1 Tahun 2016 Tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor: 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sampai dengan saat ini belum diimplementasikan oleh Aparat Penegak Hukum.
Melihat situasi ini, maka penting untuk mendorong Negara memiliki peraturan khusus yang dapat melindungi perempuan dari kekerasan seksual sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan memwajibkan Negara diantaranya untuk membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan peraturan-peraturan lainnya, termasuk sanksi-sanksi yang melarang segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, serta menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan melalui pengadilan nasional yang kompeten.
Pada tahun 2017 DPR RI telah menjadikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas) menjadi RUU inisiatif DPR-RI.
Dalam sidang paripurna DPR-RI memutuskan pembahasan RUU penghapusan kekerasan di Komisi 8.
Berdasarkan hal tersebut, kami dari seluruh komponen perempuan Aceh yang saat sedang berkonsolidasi melalui Kongres Perempuan Aceh (Duek Pakat Inong Aceh) ke-4 dan seluruh pihak yang mendukung petisi ini, mendesak kepada DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Turut mewarnai pembacaan draft petisi tersebut sekitar 20 orang peserta DPIA IV.
Mereka mengangkat kertas-kertas berhuruf abjad warna-warni dengan tulisan "Kami Mendukung Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Stop Kekerasan Seksual".(*)