Cerpen

Rendezvous

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Besar benar jasa Mark Elliot Zuckerberg—anak muda brilian dari Universitas Harvard, kelahiran Amerika 14 Mei 1984, dan salah satu penggagas serta pemilik Facebook (FB) itu. Melalui FB itu juga aku memperoleh informasi tentang teman-teman lamaku masa bersekolah di kampungku, termasuk dirinya. Bertahun-tahun sudah kehilangan kontak dengan teman-teman. Di sanalah aku melihat betapa banyak temanku yang telah sukses dalam berkarier, baik di kampungku maupun di rantau orang.

“Aku agak terkejut ketika engkau menghubungiku,” ujarnya tiba-tiba. Suaranya terdengar agak keras beradu dengan berisiknya suara hujan dan bunyi-bunyi klakson mobil dan motor. “Semula aku tak mau mengangkat telepon karena mengira orang iseng. Tetapi, karena masuk beberapa kali telepon, akhirnya aku angkat juga,” lanjutnya. Aku hanya diam.

“Aku beberapa kali diteror orang via telepon,” katanya, tanpa kuminta, “engkau pernah?”

Aku menggeleng. “Orang hebat sih,” candaku.

Ia tersenyum-senyum saja. Untuk suatu keperluan dinas aku harus ke Jakarta. Melalui telepon di seberang ia mengatakan bahwa jika aku sudah menyelesaikan pekerjaanku, ia akan menemuiku dan mengantarku ke Lapangan Monumen Nasional (Monas), salah satu tempat DAMRI menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soeta) berada di Ibu Kota Jakarta.

Kuberi tahu dia bahwa dulu ketika SMA aku naksir berat padanya. Kemudian, ia terkikik-kikik.
“Engkau sejak dulu rajin salat, “katanya. “Salatku ketika itu kacau balau.”
Aku diam saja mendengar pujiannya. Cuping hidungku agak naik sedikit karena pujian mantan idola.
“Jadi, aku merasa senang punya fan seorang ustaz.”
Aku jadi tidak tahan menahan tawa. Tawaku pun pecah.
“Mengapa engkau malas membalas surat-suratku,” tegasku kemudian.
Ia hanya tersenyum-senyum sembari memainkan matanya jenaka ke arahku, tetapi kemudian ia berkata, “Gayamu ketika itu kampungan sekali….”
Aku tersenyum-senyum dan garuk-garuk kepala.
“Ya, ‘kan?” desaknya. “Celanamu pun setengah tiang, menggantung di atas sepatu. Banjir juga tidak. Pakai kaca mata tebal pula.”

Aku hanya mampu nyengir kuda mendengar kisah masa laluku diungkit orang yang dulu pernah kudamba, bertepuk sebelah tangan tetapi. Tidak mungkin aku marah di depan pengusaha hebat ini. Lagi pula, ia tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa marah dengannya, sejak dulu.

“Kamu itu kebanyakan baca novel sih dulu, ya. Tenggelamnya Kapal van der Wijck Buya HAMKA atau Atheis Achdiat Kartamihardja atau Pada Sebuah Kapal Nh. Dini engkau lalap bagai makan pisang goreng. Bagaimana mata tidak minus,” katanya lagi. Sekali lagi, aku hanya bisa tersenyum-senyum mendengar candanya. Ia memang banyak hapal judul novel atau roman karena dulu jika aku membaca suatu novel, hampir bisa dipastikan ia akan meminjamnya setelah kubaca. Rupanya ia masih mengingatnya.

“Masih sering baca novel juga sekarang?” tanyanya.

“Masih,” jawabku, “makin parah bahkan. Aku membaca Ernest Hemingway, William Faulkner, William Saroyan. Sekarang aku sedang kepincut sastrawan Orhan Pamuk.”

“Pemenang nobel sastra dari Turki itu, ya?”

“Ya jawabku. Sekarang aku sedang membaca The Kite Runner karya pengarang kelas dunia dokter dari Afganistan, Khaled Hosseini.”

“Ya aku tahu, The Kite Runner sudah difilmkan. Aku sudah nonton.”

“Engkau apa masih baca novel juga?”

“Sesekali. Tetapi, aku sudah khatam tetralogi novel Laskar Pelangi. Karya Asma Nadia juga pernah kubaca. Habiburrahman El Shirazy, Ayat-Ayat Cinta. Ahmad Fuadi juga. Negeri 5 Menara.”

Halaman
1234

Berita Terkini