Kupi Beungoh

Soal Makam Kuno di Belantara Aceh Besar, Boleh Jadi Pusara Pendiri Kesultanan Aceh Darusalam

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Munawar AR

Oleh: Munawar AR

UCAPAN terimakasih kepada pembaca yang telah memberi respon dan masukan atas tulisan saya berjudul “Ziarah Makam di Belantara Aceh Besar, Diduga Pusara Pendiri Kota Banda Aceh, Begini Kondisinya’’, yang dimuat di rubrik Kupi Beungoh Serambinews.com, Sabtu 6 Januari 2018.

Saya sungguh tak menyangka ternyata tulisan saya ini mendapat respon dan tanggapan luas dari pembaca.

Hal ini terlihat dari hasil pencarian di laman Facebook, di mana tulisan tersebut telah lebih dari 1000 dibagikan oleh warganet.

Tautan tulisan di Facebook ()

Bagi saya, banyaknya respon terhadap tulisan ini menunjukkan bahwa masih sangat banyak warga Aceh yang peduli dengan indatunya.

Maka saya pun tertarik untuk menulis seri kedua tentang makam yang berada di atas perbukitan Lamsuseng, Kecamatan Sukamakmur, Aceh Besar ini.

Perlu saya jelaskan bahwa saya bukanlah ahli sejarah sehingga dalam tulisan terdahulu saya hanya bisa menduga, berdasarkan keterangan warga tempatan.

Perlu juga saya jelaskan kembali bahwa ziarah makam itu kami lakukan bersama tim Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM) Aceh yang diketuai oleh Dr. Mujiburrahman, MA, Dekan Fakutas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar Raniry Banda Aceh.

Di bawah komando beliau, lembaga ini telah bekerja sama dengan berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri, melakukan kegiatan advokasi kebijakan, seperti Anak Berhadapan dengan Hukum, Birth Registration, dan Restoratice Justice.

PKPM juga melakukan banyak penelitian, serta konsen di bidang kajian dan restorasi naskah kuno, salah satunya di perpustakaan Zawiyah Tanoh Abee, Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar.

Saat kami berziarah, jika melihat kondisi fisik makam, saya secara pribadi juga tidak akan percaya bahwa itu adalah makam raja Aceh yang pernah berkuasa dulu.

Apa yang saya tulis pada tulisan sebelumnya berdasarkan penuturan warga setempat yang mengatakan bahwa itu adalah makam Sultan Alaidin Djohan Syah, pendiri Kota Banda Aceh.

Tentu, perlu ada sebuah penelitian untuk membuktikan kebenaran bahwa itu adalah makam Sultan Alaidin Djohan Syah atau bukan.

Tapi sungguh saya sangat apresiasi ketika tulisan saya yang terdahulu mendapat banyak respon dan tanggapan dari pembaca Serambinews.com.

Salah satu yang sangat menarik adalah tanggapan panjang lebar yang ditulis oleh warganet dengan nama akun Musadiq Moment.

Beliau menulis tanggapannya dalam kolom komentar di bawah tulisan saya di rubrik Kupi Beungoh dengan judul “Ziarah Makam di Belantara Aceh Besar, Diduga Pusara Pendiri Kota Banda Aceh, Begini Kondisinya’’.

Bagi saya, tulisan Musadiq ini menarik untuk saya kutip kembali di sini, karena memberikan pencerahan bagi saya, sekaligus menjadi bahan diskusi bagi pemerhati sejarah Aceh, tentang siapa sebenarnya sosok yang dimakamkan di sana.

(Baca: Beredar Informasi Hoax Seputar Penerimaan CPNS 2018, Begini Klarifikasi dari Pihak Menpan)

Berikut tulisan Musadiq Moment yang saya kutip utuh dari kolom komentar di Serambinews.com:

“Sepertinya terjadi misinformasi pada artikel ini, tertulis:

"Sultan Alaiddin Djohan Syah (meninggal 1760) adalah sultan kedua puluh empat kesultanan Aceh. Banyak pendapat menyebut, Alaidin Djohan Syah adalah pendiri Kota Banda Aceh."

Tanggapan Saya:

Apabila Sultan Alaiddin Djohan Syah yang merupakan sultan ke 24 dan wafat pada tahun 1760 Masehi ini adalah pendiri kota Banda Aceh seperti yang hendak disebutkan, lalu apakah nama kota Banda Aceh sendiri pada periode 23 sultan-sultan sebelumnya, termasuk pada era Sultan Iskandar Muda? Kita tahu bahwa Istana Daruddunya didirikan oleh Sultan Iskanda Muda dan berada tepat di jantung kota Banda Aceh saat ini. Bahkan Pendapa kegubernuran sekarang berada di lokasi situs Istana Daruddunya.

Menurut hemat saya, ada kemungkinan terjadi kesalahpahaman seputar hal ini, sebab bisa jadi yang hendak dimaksud sebenarnya mengenai lokasi makam yang dikunjungi tersebut adalah makam Sultan Meurah Johan yang bergelar Alaiddin Djohan Syah yang juga pendiri Kesultanan Aceh Darusalam, dan peristiwa itu terjadi di kota lama yang bernama Bandar Lamuri pada tahun 1205-6 Masehi. Konon beliau adalah murid langsung Syeikh Abdullah Kan'an yang dimakamkan di Indrapuri.

Sejauh yang saya ketahui, memang benar bahwa pada era dinasti Aceh-Bugis berkuasa pada kisaran abad 17 kemudian, ada juga nama Sultan Aceh kala itu yang menggunakan nama Alaiddin Djohan Syah untuk menghormati figur Meurah Johan yang pernah disematkan langsung sebagai gelar untuk Meurah Johan oleh gurunya (Syeikh Abdullah Kan'an) dengan sebutan Alaiddin Djohan Syah.

Singkatnya, Sultan Aceh yang bergelar Alaiddin Djohan Syah untuk pertama kali adalah Meurah Johan pada abad ke-12 Masehi, sedangkan yang bernama Alaiddin Djohan Syah belakangan adalah yang memang pernah ada beberapa abad kemudian.

Oleh sebab itu, artikel di atas malah menyisakan dua pertanyaan:

Pertama, apa nama kota di Aceh yang menjadi induk pemerintahan pada era Iskandar Muda dan selanjutnya? Apabila namanya Kutaraja, maka kota itu sudah ada dan menjadi sentra Pemerintahan. Pun apabila, kemudian namanya diganti menjadi Banda Aceh, maka figur Sultan Alaiddin Djohan Syah yang hidup pada kisaran abad ke-17 bukanlah pendiri kota Banda Aceh, tetapi hanya mengganti namanya saja, tentu saja seandainya babak sejarah itu benar adanya. Walhasil ia hanya seperti kasus Jakarta yang sebelumnya bernama Batavia pada era Belanda, dan sebelumnya bernama Jayakarta.

Kedua, makam siapakah yang sebenarnya dikunjungi oleh para peziarah di wilayah yang terpencil tersebut. Saya sangat sangsi bahwa makam yang diziarahi itu adalah makam Sultan Alaiddin Djohan Syah yang hidup pada kisaran abad ke-17, sebab tidak ada alasan krusial dari segi politik dan babak sejarah yang terjadi pada abad ke-17 untuk memakamkan beliau disana. Lalu apakah mungkin makam yang diziarahi itu adalah makam Meurah Johan, sultan pertama Aceh Darusalam yang beliau pernah proklamirkan di Bandar Lamuri pada abad ke-12? Sebab sejauh yang saya ketahui, makam beliau memang berada di wilayah Aceh Besar saat ini, menurut Prof. Ali Hashimi dan memang lokasinya terpencil.

Disamping itu, perlu diketahui juga bahwa kata "Syah" dan "Johan" itu adalah nama dalam Bahasa Persia, bukan bahasa Arab. Untuk itu, mengingat Meurah Johan sendiri berasal dari wilayah Peurlak, maka Kesultanan Peurlak yang konon merupakan keturunan Alawiy/Saadah adalah keturunan Arab Quraysh yang datang dari kawasan Irak atau Persia. Tidak mengherankan hal ini juga pernah diulas secara detila oleh Prof. Abu Bakar Atjeh.”

(Baca: Soal APBA 2018, Ini Dialog Apa Seuman dan Si Marijan)

Selaku putra Aceh, khususnya yang lahir dan dibesarkan di Aceh Besar, saya mengucapkan terima kasih banyak kepada pembaca yang telah membagikan tulisan saya, sekaligus memberikan komentar-komentar yang mencerahkan.

Saya sangat yakin, respon ini diberikan karena kecintaan kita kepada para indatu.

Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang peduli dan menghargai jasa-jasa para pendahulu.

Maka, perlu ada kajian akademis lanjutan untuk membuktikan kebenaran makam Sultan Alaidin Djohan Syah.

Wallahua'lambissawab.

* Penulis adalah Sekretaris KNPI Aceh Besar dan aktivis KWPSI, berdomisili di Kuta Baro, Aceh Besar.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkini