"Kami langsung masuk mobil dan putar balik," cerita Abdy.
"Kami lihat banyak orang lari ke sana kemari. Kami buka pintu dan menarik beberapa orang masuk. Sampai tak ada lagi yang bisa masuk. Ibu-ibu, nenek-nenek, anak-anak, semua histeris dan menangis di dalam mobil yang sesak. Ketakutan dan tercekam," sambung Abdy.
"Sampai di ketinggian yang kami anggap aman, mobil saya hentikan," kata Ody.
"Kami semua keluar. Saya hitung-hitung, ada duabelas orang yang ikut kami. Total 17 dalam mobil yang hanya untuk 8 orang termasuk pengemudi. Saya tidak tahu bagaimana bisa muat sebanyak itu," cerita Abdy.
Baca: 18 Provinsi Rawan Tsunami di Indonesia Telah Dipasangi Sirene
Panik tak bisa menghubungi keluarga
Setelah memastikan berada di lokasi yang aman, mereka melihat ke arah tempat tadi berhenti di dekat Pelabuhan Pantoloan.
"Sudah rata dengan tanah. Rumah-rumah hancur dan berpindah tempat. Perahu dan kapal melintang di jalan. Di mana-mana terlihat penuh puing," tutur Abdy.
Secara naluriah, mereka kembali merekam peristiwa itu untuk kepentingan berita dan mengabarkan pada dunia apa yang mereka saksikan dan alami sendiri.
Sampai kemudian sadar, apa yang terjadi dengan keluarga mereka sendiri di Palu. Serentak, mereka mencoba menghubungi Palu.
"Tak ada lagi sambungan telepon. Kami bingung dan panik. Bagaimana keluarga kami," tutur Ody.
"Saya mungkin yang paling galau karena tempat tinggal kami rumah tua yang rawan runtuh," kata Abdy.
Baca: Peringati HUT Ke 73 TNI, Prajurit Berdoa untuk Korban Gempa Palu dan Donggala
Sekira 30 menit kemudian, mereka memutuskan kembali ke Palu.
"Kami harus menemui keluarga dan mengirim berita," kata Abdy.
Perjalanan kembali tidak mudah.
Melewati puing-puing bangunan yang berserakan, jalan rusak, dan pikiran kacau mengingat nasib keluarga masing-masing.