Kupi Beungoh

Jika Suara Bisa Dibeli

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Nurul Fadhilah Ulfa, Mahasiswi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Oleh: Nurul Fadhilah Ulfa*)

Pesta demokrasi merupakan bagian dari dunia politik.

Selama pesta ini berlangsung masyarakat bebas mendukung calon pemimpin (wakil di legislatif) yang dianggap mampu membawa tanduk kekuasaan selama beberapa waktu ke depan.

Pada masa pesta ini akan diselenggarakan kampanye-kampanye oleh calon atau kandidat.

Baliho dengan wajah calon dan partai pengusung maupun pendukung (bagi capres) terpampang hampir di sepanjang jalan yang dilewati, mulai dari pusat kota hingga ke pelosok gampong khususnya di Nanggroe Aceh tercinta.

Selama waktu pesta ini pula para calon seolah-olah sangat akrab dengan masyarakat.

Wajah-wajah yang dulunya asing kini lebih sering  turun berinteraksi, menyeruput kopi bersama-sama warga, seraya mengucapkan janji-janji kampanye yang konon katanya akan segera direalisasikan begitu mereka terpilih.

Namun perlu diketahui, salah satu bumbu penyedap pesta demokrasi ini adalah money politic (politik uang).

Di dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada), mulai dari bupati, DPRK, bahkan sampai kepala desa, banyak didapati fenomena ini.

Baca: Ustaz Arifin Ilham Diterbangkan ke Malaysia, Alvin Faiz Ungkap Kondisi Terkini Ayahanda

Baca: Filipina Tolak Layanan Gojek, Ambisi Menguasai Asia Tenggara pun Terhambat

Tindak kecurangan ini seakan sudah dianggap lumrah di dalam pesta demokrasi.

Para kandidat beserta “investor-investor” besar lainnya mengeluarkan dana sebanyak mungkin untuk dibagikan kepada masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan yang lemah perekonomiannya.

Orang yang bertugas untuk membagikan uang-uang tersebut adalah para tim sukses yang telah diiming-imingi berbagai bentuk keuntungan, mulai dari jabatan, lowongan pekerjaan,  modal usaha, dan lain sebagainya.

Menurut hemat penulis, faktor yang mempengaruhi suksesnya praktik jual beli suara ini antara lain adalah karena kurangnya kesadaran dan pemahaman politik yang rendah di kalangan masyarakat awam.

Praktik jual beli suara ini merupakan salah satu kiat-kiat kampanye yang sangat bisa menghipnotis masyarakat dalam memilih para calon kandidat.

Para calon dan timsesnya rela menghambur-hamburkan uang dengan jumlah banyak, bahkan sampai berutang kepada “investor” lainnya dengan embel-embel keuntungan yang sepadan dengan dana yang dikeluarkan.

Halaman
123

Berita Terkini