Hanya saja, semakin ketatnya sebuah peraturan, maka semakin besar pula keinginan orang untuk melanggarnya.
Buktinya hingga saat ini praktik jual beli suara masih saja berjalan dalam setiap pesta demokrasi khususnya di pelosok gampong.
Uang hasil jual beli suara tersebut seolah dianggap sebagai “peng kupi beungoh” oleh masyarakat.
Lalu jika UU saja tidak bisa lagi mencegah kebiasaan yang mengakar ini, mari kita lihat dari sudut pandang agama.
Tanyakan dalam hati, apakah saya rela memakan uang yang sudah jelas haram?
Masyarakat sadar bahwa sebenarnya cara tersebut merupakan praktik demokrasi yang salah dan melanggar hukum, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa yang mendapat banyak suara adalah yang mengeluarkan banyak dana.
Baca: Orang Kecil
Masyarakat juga harus tahu bahwa menyalahkan kandidat yang sedang mencalonkan diri saja memang tidak bisa, karena jika tidak ada yang mau menjual suara, maka tidak ada yang membeli.
Saat ini politik uang memang menjadi rahasia umum yang sudah tidak dianggap tabu dan menjadi budaya dan tradisi yang mengakar hingga detik ini.
Sebenarnya tidak perlu berkoar-koar meneriakkan keadilan dan kesejahteraan.
Jika suara dan harga diri masih bisa dibeli, kapan negara kita akan menjadi lebih maju lagi?
Pesta demokrasi yang lalu biarlah berlalu, tinggalkan hal buruk itu dan jalani pesta demokrasi yang akan datang dengan pola pikir baru.
Siapa yang akan sengsara lima tahun ke depan jika ekspektasi terhadap pemimpin tidak sesuai dengan realita?
Janji manis kampanye hanya tinggal wacana.
Mulai saat ini, putuskan lingkaran setan yang ada, nilai dengan hati agar kelak tak merasa dibohongi oleh pemimpin sendiri.
*) PENULIS adalah Mahasiswi jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.