Kupi Beungoh

Jika Suara Bisa Dibeli

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Nurul Fadhilah Ulfa, Mahasiswi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Adapun alasan para calon melakukan praktik tersebut mungkin karena adanya ketidakpercayaan diri dalam menghadapi persaingan dari calon kandidat lain.

Terlebih lagi kalau saingan mereka menggunakan praktik jual beli suara ini, ditakutkan dukungan akan melemah dan mereka akan kalah telak.

Faktor lemahnya ekonomi juga menjadi penyebab praktik ini dengan sangat mudah dijalankan di Aceh khususnya di kalangan masyarakat gampong.

Di sana  suara untuk calon pemimpin hanya seharga Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu.

Oleh karena itu, masyarakat juga sudah menganggap pesta demokrasi ini hanya sebagai ajang pencarian suara, bukan untuk mencari pemimpin yang amanah dan bisa memajukan daerah mereka dalam waktu beberapa tahun ke depan.

Momen pesta demokrasi yang dilakukan sekali dalam kurun waktu lima tahun di tiap-tiap daerah tidak disia-siakan oleh para calon kandidat, timses, dan masyarakat.

Semua melakukan tugas mereka masing-masing, para kaum elite terus mengeluarkan dana, timses terus berupaya meyakinkan masyarakat dengan berbagai cara.

Masyarakat pun terbelah, ada yang setia memilih calon kandidat yang memang sesuai dengan kriterianya, memilih karena calon adalah keluarganya, dan ada pula yang memilih dari rupiah paling besar yang diterimanya.

“Pilkada itu kan lima tahun sekali, kapan lagi kita mendapat uang dari mereka”.

Setidaknya kalimat itu yang terucap dari mulut-mulut masyarakat yang tidak mementingkan siapa orangnya, tapi berapa uangnya.

Bahkan ada yang hanya mengambil uangnya saja lalu mengingkari janji dan mencoblos kandidat yang lain.

Kehidupan politik itu memang keras, praktik money politic seakan sudah menjadi lingkaran setan pada setiap pesta demokrasi di negeri kita.

Baca: Budayakan Politik Santun, Tinggalkan Aksi Premanisme

Baca: Tsunami Aceh, Penjara Keudah, dan Amnesti dari Allah untuk Saya

Bisa Dipenjara

Meski banyak orang telah menganggap lumrah, tapi perlu diingat, pelaku politik uang bisa dipenjara.

Berdasarkan UU Nomor 10 tahun 2016 pasal 187 poin A disebutkan, orang yang terlibat politik uang sebagai pemberi bisa dipenjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan atau 6 tahun.

Pelaku juga dikenakan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Halaman
123

Berita Terkini