Sedangkan Susiono sudah 15 tahun mengadu nasib di Kawah Ijen. 10 tahun diantaranya mengangkut belerang untuk dijual.
“Dulu bukan begini jalannya, ngak ada troli. Jadi kami angkut belerang dari Kawah Ijen, lalu naik ke atas dan turun ke bawah. Jalannya belum bagus begini. Beratnya 70 Kg sampai 100 Kg sekali angkut. Kadang sanggup dua kali. Dulu harganya Rp 425, sekarang Rp 1.250,” ujar Susiono, ayah dari anak yang masih duduk di kelas 4 SD.
Mereka mengaku harus bekerja keras saat dini hari membawa wisatawan menuju Kawah Ijen. Tapi keduanya dan pemandu lainnya tak punya pilihan, karena untuk cari kerja lain sangat susah.
Bukan hanya mendaki yang berat, bagi mereka menurunkan wisatawan dengan troli ternyata lebih berat lagi. “Karena saat turun, kita menahan lutut supaya troli tidak meluncur cepat ke bawah,” ujarnya.
Apa yang diungkapkan Susiono ternyata benar. Saya merasakan saat turun dengan jalan kaki karena tak naik troli. Terasa masih berat saat menahan lulut dengan turunan terjal yang agak berpasir.
Tapi durasi istirahat tidak sebanyak saat mendaki. Jika sol sepatunya licin, maka kemungkinan terjatuh sangat besar.
Kalau musim kemarau lebih sulit lagi, karena batu kerikil naik ke permukaan. Termasuk bagi pekerja yang menurunkan ratusan kilogram belerang dengan troli dari Kawah Ijen.
Baca: Warga Aceh di Malaysia Kecewa tak Bisa Memilih Capres Jagoannya, Imbas Penciutan TPS Luar Negeri
Ini membuat para pemandu harus lebih hati-hati menaikkan dan menurunkan penumpang dengan troli.
Ternyata bukan hanya saya yang menolak naik troli ketika melihat para pemandu bekerja. Rekan satu kamar dengan saya dari Antara Medan juga menolak naik begitu tahu bahwa mereka akan membawanya sampai ke Kawah Ijen.
“Saya juga tak mau naik troli. Ngak enaklah melihat orang lebih tua dari kita menarik troli seperti itu,” ujar Irsan Mulyadi ketika kami membahas tentang nasib penarik troli.
Namun, entah sampai kapan Mistari, Susiono dan penarik troli lain akan mengadu nasib di Kawah Ijen.(*)