Polemik Sekolah di Bulan Ramadhan, Begini Pendapat Anggota DPRA dan Pemerhati Budaya Aceh

Penulis: Zainal Arifin M Nur
Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kolase foto Anggota DPRA, Asrizal H Asnawi dan Kolektor naskah kuno Aceh, Tarmizi A Hamid.

Menurutnya, jika anak-anak dipaksa untuk bersekolah, maka mereka pasti akan kecapaian sehingga punya alasan untuk tidak berpuasa.

Imbas lainnya, jika tetap berpuasa sampai magrib tiba, anak-anak akan lelah dan lemas pada malamnya, sehingga tidak lagi pergi belajar Alquran atau bertadarus pada malam hari.

“Apalagi, kebiasaan anak-anak kita, terutama anak laki-laki pasti akan bermain sepakbola atau permainan lainnya saat sekolah,” ujarnya.

“Saya ingat betul, para pelajar, termasuk santri dayah dan pesantren terpadu juga diliburkan. Mereka diberikan buku absen tarawih, tadarus, dan sesekali disuruh bikin tulisan isi tausiah. Bagi santri dayah malah diberi tugas untuk mengasah kemampuan berpidato di meunasah-meunasah,” ujarnya.  

Laporan kegiatan selama Ramadhan itu, kata Tamizi, akan disampaikan pada saat sekolah dimulai setelah lebaran.

“Inilah yang kemarin saya katakana pelan-pelan indentitas keacehan semakin pudar,” ungkap pria yang akrab disapa Cek Midi ini.

Karenanya, Cek Midi berharap kepada pihak Dinas Pendidikan Aceh, khusunya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Banda Aceh, untuk meninjau kembali kebijakan tersebut.

“Apalagi ini adalah Aceh, daerah khusus yang menerapkan syariat Islam. Saya pikir kalau alasan agar cukup jam pelajaran, kan bisa digunakan waktu lain dengan cara bikin les dan lainnya. Pasti ada jalan lain untuk mencukupkan jam pelajaran. Mari kita muliakan dan istimewakan bulan Suci Ramadhan,” pungkas Tarmizi A Hamid.

Baca: Identitas Aceh, Masih Adakah? Begini Paparan Ustaz Masrul Aidi, Tarmizi A Hamid, dan TA Sakti

Diberitakan sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Banda Aceh, Dr Saminan M.Pd yang dikonfirmasi Serambinews.com Selasa (30/4/2019) mengatakan, tahun ini tetap ada proses belajar mengajar di bulan Ramadhan.

Hal ini dilakukan karena mengikuti kalender akademik Aceh yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Aceh.

Alasannya, karena ada aturan bahwa dalam satu semester harus ada minimal 96 hari tatap muka.

“Jika sekolah diliburkan saat Ramadhan, kata Saminan, maka 96 hari tatap muka tidak dapat dipenuhi,” katanya.

Karena jika mengaju pada kalender akademik Aceh, maka mereka harus mengejar belajar di bulan Ramadhan, agar target minimal 96 hari tatap muka tercapai.

Sebenarnya, kata Kadisdikbud, ada opsi lain yang bisa mereka tempuh, yaitu meliburkan Ramadhan dan memindahkan jatah belajar saat Ramadhan menjadi setelah lebaran Idul Fitri.

“Kalau kita geser belajar yang Ramadhan ke setelah ramadhan, maka akan kena ke libur tahunan yang serentak. Nanti saat anak anak lain di Indonesia sudah mulai libur, justru anak anak kita Aceh masih belajar,” ujar Saminan.

Halaman
123

Berita Terkini