Setelah lulus, Fauziah langsung dipercayakan sebagai Kepala Puskesmas Kecamatan Peudada, Bireuen, tempat dimana orangtuanya berasal, dengan status Dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT).
Semestinya, ia akan mengakhiri status PTT itu pada 1 Agustut 1999.
Namun, takdir lebih dulu mengakhiri hidupnya pada 23 Mei 1999 sebagai pejuang kemanusiaan.
Di kalangan paramedis, ia dikenal apa adanya dan berbicara seperlunya.
Baca: Janda Korban Konflik Terharu, Rumahnya Dikunjungi Bupati Rocky saat Sahur
Pada pagi naas itu, ia terlihat riang dan sedikit berbeda dari biasanya saat dia mendapat panggilan tugas untuk melakukan visum et repertum pada dua jenazah korban penembakan misterius (Petrus) di Alue Kuta, Kecamatan Peudada, Bireuen.
Baginya, kerja melayani kemanusiaan adalah segalanya.
Terbukti, walaupun dalam keadaan hamil dengan usia jabang bayi 3 bulan tidak menjadi penghalang untuk melaksanakan tugas.
Padahal, itu kehamilan pertamanya setelah ia menikah dengan Drs. Yahya Yusuf pada 6 Februari 1999.
Ia tetap berangkat, ditemani 3 orang perawat dan 1 orang bidan.
Kala itu, beberapa dokter menyesalkan karena rombongan dr. Fauziah tidak dibolehkan memakai mobil ambulans dinas menuju ke lokasi.
Ia "dipaksa" menaiki truk militer Pasukan Penindak Rusuh Massal (PPRM).
Baca: SBY Buka Rahasia Akhiri Konflik Aceh, Begini Kisahnya Menelepon Panglima GAM hingga Tsunami Datang
Baca: SBY: Berdosa Kita Kalau Usai Konflik Aceh tak Sejahtera
Hal ini, memberikan kesan bahwa militer saat itu menjadikan paramedis sebagai tameng.
Dalam perjalanan, truk militer PPRM mogok ditanjakan Alue Kuta.
Dalam kondisi itu, kelompok bersenjata yang disinyalir anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berjumlah 20 orang menyerang mereka dari semak belukar sehingga mengakibatkan Serka Hendrik (TNI), Bharada Dominggus (Brimob), dr Fauziah (Dokter) dan Mustafa (Perawat) meninggal dunia.
Belasan lainnya luka-luka.
Baca: Penulis Siti Rahmah Rekam Kisah Konflik Aceh dalam Jejak Setapak di Tanah Rencong