Oleh Mirdha Fahlevi SI, S.E.,M.S.M., Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Teuku Umar
Dialog pembangunan Ekonomi Aceh Hebat yang digelar di Jakarta pada 30 Juni 2019 lalu telah melahirkan sejumlah rekomendasi penting yang disambut positif oleh segenap masyarakat Aceh. Rekomendasi tersebut antara lain; pertama, merekomendasikan forum Aceh Meusapat menjadi agenda reguler Pemerintah Aceh sebagai wadah dalam mendiskusikan gagasan, menampung masukan dan mendiskusikan kepentingan Aceh.
Kedua, mendukung Pemerintah Aceh menyiapkan instrumen dan kebijakan strategis dalam optimalisasi pembangunan ekonomi Aceh melalui sektor prioritas; pertanian, perkebunan, perdagangan, perikanan dan pariwisata. Ketiga, meminta kepada perbankan di Aceh untuk melakukan pembiayaan pada sektor ekonomi prioritas. Keempat, mengimbau pengusaha diaspora Aceh untuk berinvestasi aktif, membina dan mendukung terciptanya lapangan kerja di Aceh.
Kelima, memperkuat sinergi pemerintah Aceh dengan dunia usaha, perguruan tinggi dan media dalam implementasi strategi pembangunan ekonomi Aceh. Keenam, mendorong partisipasi media dalam melakukan pemberitaan positif tentang Aceh. Ketujuh, mendorong hadirnya Bank Aceh Cabang Jakarta.
Menariknya, sektor ekonomi primer yaitu perikanan, pertanian dan perkebunan tak luput dalam pembahasan forum tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa sektor primer di bidang agro (pertanian dan perkebunan) dan bidang marine (kelautan/perikanan) masih menjadi primadona dalam pencaturan ekonomi Aceh.
Selain itu, dua potensi ini dapat dikatakan sebagai raksasa tidur perekonomian yang masih terlelap. Maka tugas kita sekarang adalah saatnya membangunkan kedua sektor ini dari tidur panjangnya menjadi oase baru perekonomian lokal.
Membangun sektor agro dan marine, setidaknya memberi manfaat ganda secara simultan yaitu menopang perekonomian daerah dan memenuhi sumber pangan lokal yang selama ini masih dipasok dari provinsi tetangga. Sebagai modal awal, potensi sektor agro di Aceh didukung oleh ketersediaan 237.072,39 hektar sawah, lahan pertanian tanah kering semusim seluas 597.576,07 Ha dan area perkebunan seluas 621.520,57 Ha.
Sedangkan sektor perikanan ditopang oleh garis pantai sepanjang 2666,3 km dan luas perairan Aceh yang mencapai 295.370 Km2. Fakta lainnya adalah mayoritas masyarakat Aceh di kawasan pedesaan berprofesi sebagai petani dan nelayan.
Ironinya, mayoritas petani dan nelayan masih belum sejahtera dan berada di bawah garis kemiskinan. Begitu juga dengan profesi petani dan nelayan masih kurang diminati oleh para pemuda. Bahkan, mayoritas orang tua pada dua profesi ini sangat tidak menganjurkan anak-anaknya melanjutkan profesi mereka di masa mendatang. Jika hal ini dibiarkan terus berlanjut, apa yang akan terjadi dengan sektor agro dan marine di Aceh? Padahal, pemuda berpeluang besar menjadi petani-petani modern yang keren dengan mengadopsi teknologi baru di era digital saat ini.
Setidaknya, ada beberapa faktor yang menyebabkan sumber daya sektor agro and marine belum maksimal menjadi leading sector perekonomian Aceh. Pertama, para petani masih melakukan kegiatan pertaniannya secara tradisonal dan luas lahan yang dikelola relatif kecil. Begitu juga dengan para nelayan, mayoritas di antara mereka masih melakukan penangkapan ikan secara tradisional. Fenomena ini menyebabkan produktivitas petani dan nelayan menjadi rendah serta biaya produksi yang tinggi.
Faktor kedua, belum tersedianya industri pemasok bahan baku pertanian dan perikanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan lokal di wilayah Aceh. Hingga saat ini, kebutuhan alat produksi pertanian, perkebunan dan perikanan masih dipasok dari luar daerah. Akibatnya, biaya produksi membengkak. Padahal, jika industri bahan baku tersedia di Aceh akan mampu menekan biaya produksi petani dan nelayan sehingga dapat memperbesar margin keuntungan yang mereka peroleh.
Faktor ketiga, tidak ada industri penopang yang melakukan hilirisasi produk mulai dari pengolahan hasil pertanian, perkebunan dan perikanan menjadi barang jadi/setengah jadi hingga pemasarannya. Fenomena ini mengakibatkan hasil pertanian tidak mendapat nilai tambah (value added) yang signifikan. Para petani dan nelayan terpaksa menjual hasil produksi mereka berupa bahan mentah kepada para pengepul dan sangat rentan mengalami fluktuasi harga ketika panen raya tiba.
Tiga fenomena tersebut harus menjadi perhatian Pemerintah Aceh dalam rangka menstransformasikan potensi sektor agro dan marine sebagai sumber kekuatan ekonomi lokal. Hal ini selaras dengan salah satu dari 15 program unggulan Aceh Hebat 2017-2022, yaitu Aceh Meugoe dan Meulaot.
Pemerintah daerah bersama para pemangku kepentingan di Aceh perlu segera melakukan agenda revitalisasi sektor agro dan sektor marine secara tepat melalui perencanaan yang matang dan mendesain kawasan sentra produksi pertanian. Juga mencakup perkebunan dan perikanan dengan konsep keterkaitan hilir-hulu (backward linkage) melalui penyediaan industri pemasok bahan baku yang dibutuhkan dalam kegiatan pertanian, perkebunan dan perikanan serta keterkaitan hulu-hilir (forward linkage) melalui pengolahan hasil pertanian, perkebunan dan perikanan menjadi berbagai macam produk baru.
Agropolitan dan minapolitan
Percepatan pembangunan ekonomi Aceh sektor pertanian, perkebunan dan perikanan dapat dilakukan dengan konsep agropolitan dan minapolitan. Agropolitan adalah kawasan kota pertanian yang perkembangannya ditopang oleh kegiatan agribisnis. Sedangkan minapolitan adalah satu kesatuan kawasan kota yang berkembang karena ditopang oleh kegiatan bisnis di bidang kelautan dan perikanan. Konsep ini sangat tepat karena 23 daerah tingkat II di Aceh masing-masing memiliki potensi ekonomi lokal yang unik pada kedua sektor tersebut.