Keempat; transformasi jati diri pemimpin. Perubahan arah demokrasi, pertarungan ideologi, membutuhkan banyak persuasi intelektual, manuver politik, dan daya tarik populis untuk mewujudkan sebuah pilihan perubahan. Situasi ini menjadi menguat di Aceh ketika demokrasi mulai tumbuh dan berkembang tidak diikuti dengan transformasi di tingkat kepemimpinan. Pola kepemimpinan menjadi stagnan, ketika pemimpin justru mencari-cari pola kepemimpinan yang tepat untuk meluruskan berbagai kompleksitas masalah yang bergerak lebih cepat. Sebagian kalangan menjadi tidak sabaran dalam melihat realitas pembangunan Aceh terkini.
Tak kurang diskursus meluas hingga berbagai lini multistakeholder ikut sumbang saran, publik, media, politikus, bahkan forum rektor dan kalangan akademia Unsyiah yang secara khusus menawarkan forum Solusi untuk Aceh (SuA).
Kelima; transformasi stimulus atau katalisator yang bisa dibangun dari ide baru; format ekonomi, tehnologi, investasi, pendidikan, dan tata kelola pemerintahan. Pelajaran India dengan pusat rekayasa perangkat lunaknya di Bangalore, Singapura sebagai pusat ekonomi merupakan jawaban prosesi transformasi membentuk sebuah perubahan. Kita memiliki kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET) Sabang yang digunakan sebagai model pembangunan ekonomi daerah. Atau gagasan One Village One Product (OVOP) yang bisa menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi di tingkat basis yang lebih luas.
Keenam; transformasi reformasi institusi. Mereformasi parlemen, sistem pemilu multipartai, dan pemilihan pemimpin secara langsung. Semua itu mengubah panggung politik Indonesia. Mereformasi format master plan, grand strategi atau cetak biru pembangunan Aceh menjadi kebutuhan substansial saat ini.
Belajar dari kelemahan kita dalam mengelola Dana Otonomi Khusus (Otsus) selama delapan tahun belakangan menjadi pembelajaran berharga. Aceh membutuhkan tidak hanya grand strategi yang jitu, namun juga perencanaan yang strategis dengan Blueprint Otsus 2020-2027, untuk memastikan optimalisasi target Otsus 2027 mendatang.
Ketujuh; transformasi implementasi. Kebutuhan paling krusial adalah ketika seluruh perencanaan memberikan hasil optimal dalam implementasinya. Umumnya perencanaan telah dilengkapi payung hukum, namun tetap saja berbagai kepentingan, di tingkat bawah hingga tingkat elit menjadikan perencanaan dan implementasi tidak menemukan singkronisasi output. Realitas inilah yang menjadi diskursus dan kritikan paling `panas', ketika aturan menjadi mainan kepentingan.
Kedelapan; transformasi berkelanjutan. Bagaimana panjangnya proses perdamaian Aceh, merupakan contoh kongkrit berlikunya proses lobi, diplomasi dari medan perang hingga meja perundingan. Dan napak tilas jejak proses perdamaian yang panjang itulah yang mendasari mengapa perdamaian harus dipertahankan sebagai prasyarat tumbuhnya demokrasi dan lancarnya pembangunan.
Kesembilan; transformasi buatan lokal. Meskipun stimulus datang dari luar, pada akhirnya kitalah yang lebih memahami bagaimana seharusnya transformsi harus dijalankan terutama oleh para tokoh-tokoh nanggroe kita.
Menemukan konsensus dan belajar dari kesalahan masa lalu dalam rangka membangun orde politik, ekonomi, dan sosial yang baru berdasarkan demokrasi, tata pemerintahan yang baik dan rekonsiliasi adalah sebuah kebutuhan paling krusial untuk membangun Aceh Hebat dan menanti momentum Aceh 2020. Akan dibawa kemana lokomotif Aceh yang gerbongnya berisi 163 triliun dana otsus, jika bukan untuk lepas landas Aceh 2027 dan tentunya untuk kesejahteraan rakyatnya sendiri.