Warung Kopi Aceh Cut Zein Menjadi Bukti Bahwa Cita Rasa Kopi Aceh tak Bisa Dikalahkan oleh Kecanggihan Teknologi
KOREKSI: Ada kesalahan tulis pada bagian sub judul "Markas Mujahidin DI/TII" dan kalimat yang menyebut Cut Zein sebagai laskar Mujahidin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Menurut pihak keluarga, Cut Zein bukan bagian dari laskar Mujahidin DI/TII, tapi laskar Mujahidin ketika Belanda dan sekutu mau masuk kembali ke Aceh. Mohon maaf atas kesalahan ini.
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Budaya minum kopi memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan rakyat Aceh.
Tradisi ini telah berlangsung turun temurun, sejak zaman kerajaan hingga masa sekarang.
Sejak zaman dahulu, Aceh telah terkenal sebagai surganya para penikmat kopi.
Di Aceh, tradisi minum kopi ini tak pernah lekang ditelan zaman.
Para pemilik dan pengelola kedai kopi pun terus berinovasi, mulai dari menyediakan beragam jenis sajian kopi, memperbaharui dekorasi kedai kopi, hingga yang terakhir menyediakan wifi yang memancarkan layanan internet gratis.
Di antara semua itu, layanan wifi dan televisi menjadi paling mutlak bagi kedai kopi di era serba canggih ini.
Karenanya, hampir semua warung kopi di Aceh, mulai dari kota hingga pelosok desa, melengkapi diri dengan layanan wifi.
Muncul anggapan, jika tidak ada wifi, warung pun menjadi sepi.
Padahal, kehadiran wifi ini tidak sepenuhnya membawa nilai positif dan baik dari sisi bisnis.
Pasalnya, warung-warung kopi yang menyediakan layanan wifi sebagian besar dipenuhi oleh penggemar game online, terutama Mobile Legend dan PUBG.
Jadinya, hanya sedikit saja kedai kopi di Aceh yang tak menyediakan wifi.
Kedai kopi Cut Zein di Beurawe, adalah salah satu dari yang sedikit itu.
Menariknya, kedai kopi Cut Zein yang berada di salah satu titik keramaian Banda Aceh ini, masih tetap mempertahankan tradisi minum kopi seperti zaman dahulu.
Bukan hanya tidak menyediakan wifi, pemilik warung ini pun melarang para pengunjungnya bermain game online.
“MAAF, ANDA TIDAK DIIZINKAN BERMAIN GAME DI SINI.”
Pengumuman yang dicetak dalam huruf capital di atas stiker khusus itu, tertempel di beberapa sudut kedai kopi tiga pintu ini.
Selain larangan bermain game, tertempel pula beberapa stiker bertulis kalimat bijak.
“JANGAN SIA-SIAKAN WAKTU PRODUKTIF ANDA. Ujung Tombak Perubahan Ummat”.
Jadinya, suasana warung kopi ini masuk kategori antimainstream (sesuatu yang unik atau tidak biasa) untuk ukuran saat ini.
Di sini, Anda tidak akan melihat kumpulan orang yang duduk semeja, tapi masing-masing lalai dengan gawai atau gadget masing-masing.
Semua orang, termasuk para remaja dan mahasiswa, sibuk berinteraksi dengan sesamanya.
Telepon pintar mereka dibiarkan tergeletak di atas meja.
Hanya dilihat sekilas dan sekejab saja.
Sesuatu yang sangat jarang ditemukan di warung-warung kopi lainnya di seluruh Aceh.
Tak ada juga orang-orang yang bekerja dengan laptop.
Sama halnya tidak ada pengunjung yang lalai menonton televisi, karena di warkop ini memang tidak ada layar televisi.
Tapi jangan anggap warung kopi ini sepi dan dijauhi anak muda.
Warung ini tak pernah sepi, hingga banyak mobil harus parkir di seberang jalan.
Bahkan, warung kopi Cut Zein ini adalah satu dari hanya sedikit kedai kopi Aceh yang memiliki komunitas khusus.
Namanya Forum Silaturahmi Kopi Beurawe atau disingkat Forsilakubra.
Anggotanya terdiri atas berbagai kalangan, mulai dari pejabat, anggota dewan, pengusaha, hingga mahasiswa.
Dengan komunitas yang kuat, kedai kopi Cut Zein tak perlu harus memaksakan diri membuka 24 jam.
Warung kopi ini buka hanya 12 jam sehari, mulai pukul 06.00 pagi hingga pukul 18.00 sore.
Pelanggannya pun berganti-ganti sesuai jadwal.
Pagi didominasi oleh para jamaah shalat Subuh dan orang-orang kantoran.
Sementara siang hingga sore dikunjungi para mahasiswa, pengusaha, hingga anggota dewan.
Sebagai tambahan, selain warkop Cut Zein, beberapa warung kopi moderen di Banda Aceh yang tidak memasang TV dan Wifi adalah Warkop Solong di Uleekareng, Dekmi di Rukoh, dan beberapa lainnya.
Apa rahasianya sehingga warkop Zut Zein tetap ramai, meski tanpa tivi dan wifi?
“Menurut saya, cita rasa kopi Beurawe ini sangat khas. Jadi orang-orang yang datang ke sini memang benar-benar menikmati kopi, bukan karena ingin menikmati fasilitas lainnya,” ujar Asrizal H Asnawi, anggota DPRA yang ditemui Serambinews.com, di warkop ini, Kamis (16/8/2019).
Ia juga mengapresiasi kebijakan warkop Cut Zein ini yang hanya buka sampai pukul 18.00 WIB.
Padahal, kebanyakan warkop di Banda Aceh buka hingga dinihari, bahkan ada yang 24 jam.
“Mungkin pemilik warkop Cut Zein mengikuti anjuran dokter, bahwa terakhir mengonsumsi kafein adalah pukul 17-18 sore. Agar tidak mengganggu waktu istirahat malam,” ujarnya.
“Tapi yang saya rasakan, kalau minum kopi Cut Zein ini benar-benar menghilangkan rasa kantuk, beda dengan kopi di warkop lainnya,” imbuh Asrizal.
Baca: Setelah Lhokseumawe, Wali Kota Banda Aceh Juga akan Surati Telkom, Minta PUBG Diblokir
Baca: Wali Kota Minta Telkom Blokir PUBG, Ini Tanggapan MPU Lhokseumawe
Markas Mujahidin
Kedai kopi Cut Zein ini juga tercatat sebagai salah satu warkop tertua di Banda Aceh.
Makmun Zein (56), pemilik warkop kepada Serambinews.com mengatakan, kedai yang kini dikelolanya merupakan warisan orang tuanya Muhammad Zein Sulaiman.
Ayah Makmun yang dikenal dengan panggilan Cut Zein meninggal dunia pada Maret 2019.
Makmun bercerita, dulu ayahnya adalah salah satu komandan Mujahidin di wilayah Beurawe dan sekitarnya.
Laskar Mujahidin ini melakukan perjuangan untuk mengusir kolonialis Belanda dan sekutu yang mau masuk kembali ke Aceh.
Saat itu, Cut Zein sudah mewarisi kedai penjual segala kebutuhan pokok di kawasan Beurawe.
“Dulu kedainya berada di situ,” ujar Makmun menunjuk ke deretan toko yang berada di seberang jalan dari kedai kopi yang sekarang dikelolanya.
“Sepanjang pinggir Krueng (sungai) Aceh yang masuk wilayah Beurawe ini dulunya milik keluarga kami,” ujarnya.
“Kedai ayah dulu tidak hanya menyedikan kopi, tapi juga menjual bermacam kebutuhan warga, seperti paku, rotan, semprong, dan berbagai sembako. Kurang lebih seperti supermarket lah sekarang,” ujarnya.
Saat Belanda dan Sekutu ingin masuk kembali ke Aceh, kedai Cut Zein menjadi salah satu markas mujahidin.
Hingga lama setelahnya, Cut Zein memutuskan memindahkan kedai kopinya ke lokasi saat ini.
“Jadi kedai kopi ini sudah beroperasi sebelum Indonesia Merdeka. Tapi di label merek kopi bubuk yang kami jual tertulis sejak 1945. Ini ada kesalahan tulis dulunya, tapi ya sudah, tak apa-apa,” ujar Makmun.
Baca: Daud Beureueh Legacy
Mengikuti Fatwa Ulama
Ditanya tentang larangan bermain game yang ditempel di warung kopi miliknya, Makmun Zein mengatakan, keinginan melarang pengujung bermain game sudah terpatri dalam dirinya sejak dua bulan lalu.
Makmun melihat permainan game online ini bisa merusak generasi penerus Aceh.
“Ketika game online marak di Aceh, ada beberapa anak muda yang bermain game di sini, meski tidak ada wifi,” ujarnya.
“Saya prihatin, karena ini merusak, sehingga muncul keinginan untuk melarang. Dua bulan lalu, saya sudah sampaikan secara lisan, nanti setelah lebaran Idul Adha, tidak boleh ada lagi yang bermain game online di sini,” ungkap Makmun.
“Nah, kebetulan sekali, beberapa waktu lalu terbit fatwa ulama (MPU Aceh) yang mengharamkan permaian game PUBG. Pas sekali, langsung saya cetak stiker itu,” ujarnya.
Apakah larangan itu berdampak terhadap kunjungan anak muda ke kedai kopi miliknya?
“Tidak sama sekali, Alhamdulilah semua normal,” ujarnya.
Baca: Ulama Aceh Haramkan Game PUBG, Warung Kopi Tetap Ramai Namun Terasa Lebih Sepi
Baca: Fatwa Haram Game PUBG
Baca: Pengakuan Mantan Pemain Game PUBG di Depan Ulama Aceh, Tak Pernah Baca Alquran dan Shalat Jamaah
Asrizal H Asnawi, penikmat kopi mengaku mengapresiasi keberanian Makmun Zein melarang para pemain game di warkopnya.
“Saya merasa nyaman di sini, karena bisa menikmati kopi tanpa terusik dengan teriakan-teriakan tak jelas para gamers,” ungkap Asrizal.
Ia sampai menaikkan status pujian di fanspage miliknya.
“Terima kasih telah mengikuti Fatwa Ulama Aceh,” tulis Asrizal dalam statusnya yang menyertai beberapa lembar foto dirinya sedang menikmati kopi di warkop itu.
Begitulah, warkop Cut Zein berani tampil antimainstream.
Makmun telah membuktikan bahwa cita rasa kopi Aceh tak pernah bisa dikalahkan oleh kecanggihan teknologi.(*)