Laporan Subur Dani I Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Sebanyak 100 eks pejuang GAM, Kamis 15 Agustus 2019, mendapat 'kado' dari Pemerintah Aceh, berupa sertifikat lahan pertanian.
Masing-masing mereka mendapat dua hektare lahan pertanian.
Sabtu (31/8/2019), Serambinews.com berkesempatan melihat langsung lokasi lahan tersebut.
Lokasi lahan berada di pegunungan pedalaman Pidie Jaya, tepatnya di pegunungan kawasan Kecamatan Bandar Baru.
Ditemani Muhadi, Keuchik Abah Lueng, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya, dan seorang eks GAM, Mawardi, Serambinews.com berusaha menemukan lahan tersebut.
Desa Abah Lueng adalah desa terakhir yang dijumpai sebelum mendaki ke lokasi lahan.
Perjalanan ke desa ini bisa ditempuh dari Keude Lueng Putu atau dari kawasan Cubo.
Dari jalan nasional ke desa Abah Lueng, jarak tempuh sekitar 11 km.
Perjalanan ke lokasi lahan baru dimulai dari Desa Abah Lueng.
Baca: Haji Uma Terlibat Dialog Seru dengan Mahasiswa IAIN Lhokseumawe, Ini Materinya
Baca: BREAKING NEWS: Malam Ini, Kebakaran Hutan dan Lahan Kembali Landa Aceh Barat
Baca: Tiga Residivis Kasus Narkoba Kembali Tertangkap Edar dan Gunakan Sabu
Perjalanan hanya bisa ditempuh dengan sepeda motor, jika menggunakan mobil, harus dengan mobil offroad.
Butuh waktu sekitar 3-4 kilometer menuju ke lokasi lahan.
Perjalanan ke sana memakan waktu sekitar 1 jam, lantaran kondisi jalan yang beberapa bagian tampak rusak.
Kontur jalan mendaki, ditambah bebatuan dan juga berlubang.
Belum lagi, beberapa kawasan terdapat lumpur parah, sehingga sulit menuju lokasi.
Lokasi lahan berada di pertengahan bukit.
Di sana, lahan seluas 200 hektare terhampar, berada di atas bukit.
Sebanyak 100 eks GAM Pidie Jaya sudah berhak atas lahan itu, masing-masing dua hektare.
Lahan tersebut masih kosong, ditumbuhi semak-semak.
Mawardi, salah satu eks GAM mengaku belum bisa memanfaatkan lahan karena hingga kini belum ada modal untuk bibit, ditambah jalan ke lokasi lahan yang terbilang sulit.
Lokasi Tgk Abdullah Syafi'i
Mawardi yang mendapat lahan dari pemerintah di momentum 14 tahun perdamaian Aceh, ternyata sangat akrab dengan lokasi lahan di pegunungan pedalaman Pidie Jaya itu.
Menurutnya, lokasi lahan itu disebut kawasan pegunungan trans, ada juga yang menyebut Buket Cot Malaysia, atau kawasan Krueng Siap.
Belasan tahun lalu, kawasan hutan dan perbukitan itu salah satu daerah yang kerap dilewati dan disinggahi Mawardi bersama gerilyawan GAM lainnya, kala masih berjuang menuntut pisah dari NKRI di bawah Panglima GAM saat itu, Tgk Abdullah Syafi’i.
“Cukup sering kami lewat kawasan ini Bang, biasanya jadi tempat kami istirahat sebentar di sini. Ini juga tempat sembunyinya Abuwa Muda dulu saat masih GAM,” kata Mawardi.
Abuwa Muda yang dimaksud Mawardi adalah Aiyub Abbas, yang kini menjabat Bupati Pidie Jaya.
Bukan hanya itu, ternyata kawasan tersebut juga masuk dalam salah satu kawasan persembunyian terakhir Panglima GAM, Tgk Abdullah Syafi'i.
Bahkan, menurut cerita Mawardi, tak jauh dari lokasi lahan itu tumbuh sebatang pohon durian yang buahnya sering dimakan oleh Tgk Lah--pangilan akrab Tgk Abdullah Syafi'i-- semasa hidupnya saat masih bergerilya di hutan belantara Pidie (dulu masih Pidie, sebelum pemekaran jadi Pidie Jaya).
Disebut sebagai salah satu kawasan persembunyian Tgk Lah, karena lokasi itu berada tak jauh dari lokasi tertembaknya Tgk Lah bersama istri Cut Fatimah dan dua pengawal setianya dalam pertempuran dengan pasukan TNI, 22 Januari 2002.
Lokasi terperangkapnya Tgk Lah disebut dengan Alue Mon, hutan belantara yang berada tak terpaut jauh dari lokasi lahan tersebut.
"Setelah bukit ini, langsung kawasan Alue Mon. Disebut Alue Mon karena jurang menuju ke sana sangat curam, seperti mon (sumur). Dan kawasan ini termasuk salah satu kawasan persembunyian juga, pernah dilewati Tgk," kata Mawardi.
Alue Mon lokasi tertembaknya Tgk Lah, menurut Mawardi adalah kawasan hutan Cubo dan Jijiem, yang juga masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Bandar Baru.
"Kalau bukit yang kita berdiri ini, dia central di tengah, kita bilang kawasan Cubo ya juga, kawasan hutan Trienggadeng iya juga. Ini posisinya central, dan masih satu kawasan dengan lokasi persembunyian Tgk," katanya.
Saat kejadian tertembaknya Tgk Lah, Mawardi sendiri sedang berada di pinggir kampung, mereka punya tugas lain kala itu, tidak bersama Tgk Lah.
Pengawal Tgk Lah, katanya, adalah tim khusus yang dilatih untuk itu. Namun, Allah berkehendak lain, kala itu keberadaan Tgk Lah diketahui oleh musuh sehingga persembunyiannya berakhir.
Tgk Lah tertembak bersama istrinya yang sedang mengandung enam bulan dan juga para pengawalnya.
"Kalau saya ingat itu tentu sangat sedih, kami sempat tak percaya informasi tersebut saat itu. Kami tidak bersama, beberapa jam setelah itu baru kami dapat info. Kontak tembak terlama hari itu, dari pagi sampe menjelang siang baru reda. Kami semua juga mengatur strategi," kenang Mawardi.
Mawardi menceritakan, kawasan Kecamatan Bandar Baru termasuk salah satu distrik yang melahirkan banyak anggota GAM.
Bahkan di sana, GAM di bawah komando Tgk Abdullah Syafi'i sempat menggelar latihan terpusat beberapa tahap, dimulai sejak tahun 1999.
Banyak putra daerah setempat direkrut dan ditempa secara ideologi dan menjalani latihan militer agar bisa menjadi pejuang GAM untuk berjuang merebut kemerdekaan Aceh saat itu.
Anggota dari berbagai kabupaten lain juga menempa latihan militer di sana.
"Saya latihan akhir tahun 1998, di Aki Neungoh, Kecamatan Bandar Baru. Kami dididik saat itu, belajar militer, lalu baru bisa masuk bergerilya untuk berjuang," kata Mawardi.
Di kawasan Bandar Baru jelas Mawardi, ada tiga tempat yang menjadi pusat latihan GAM besar-besaran di Pidie kala itu. Pertama di Aki Neungoh, Lhokweng (Cubo), dan Lhok Panah (Gampong Abah Lueng).
"Ketiga kawasan ini jadi latihan terpusat GAM masa itu. Jadi masa itu ada tiga tahap latihan, banyak anggota dari daerah lain juga datang ke sini untuk latihan. Sesudah latihan dipeusijuek, baru boleh bergerilya," kata Mawardi.
Setelah Tgk Abdullah Syafi'i tertembak, Mawardi memilih untuk gencatan senjata.
Ia turun dari gunung lalu memilih bekerja ke Pulau Jawa.
"Hampir tiga tahun saya di Jawa, kerja dari perusahaan satu ke perusahaan yang lainnya. Setelah damai, baru saya pulang, sempat naik lagi ke atas hingga akhirnya kami turun semua untuk pemotongan senjata, mengakhiri perang," demikian Mawardi.(*)