“Sampai tahun 2005, labi-labi yang beroperasi tiap hari berkisar 40 sampai 50 unit.
Sekarang tinggal 15 unit, dan yang rutin beroperasi sebanyak 8 unit,” kata Sinong, Ketua Labi-labi Trayek Kota Blangpidie-Babahrot kepada Serambinews.com, Kamis (30/1/2020).
Pemandangan semakin terpinggirkan angkutan labi-labi juga terlihat untuk trayek Kota Blangpidie-Manggeng.
Dulu, setiap hari beroperasi tidak kurang 50 unit. Sekarang, menurut keterangan tinggal belasan unit saja.
• Beli Sabu Untuk Diberikan ke Orang Lain, Warga Darul Imarah Diringkus Polisi
Sebagian besar pemilik labi-labi memilih tidak beroperasi lagi dikarenakan pendapatan diperoleh semakin menurun.
Kemudian labi-labi dirombak menjadi mobil pikap melayani angkutan barang antardesa.
Didampingi beberapa sopir labi-labi lainnya, Sinong mengatakan, pendapatan dari usaha angkutan labi-labi tidak bisa lagi diandalkan.
“Sebelumnya, termasuk ketika masa konflik melanda, kami bisa membawa pulang penghasilan Rp 200 sampai Rp 250 ribu per hari.
Sekarang, hanya berkisar Rp 50 atau Rp 60 ribu setelah isi minyak,” katanya.
“Kalaulah ada pekerjaan lain, kamipun sudah mundur dari pekerjaan ini,” tambah Siman, sopir labi-labi asal Blang Dalam, Babahrot.
Malahan, sopir yang lain mengaku masih tetap bertahan karena saat pagi tiba, tidak tahu apa yang bisa dikerjakan selain sebagai sopir labi-labi.
• Urbane Indonesia Benahi Kualasimpang, Biro Arsitektur Didirikan Ridwan Kamil Ini Sudah Mulai Bekerja
Protes bus sekolah di luar peruntukan
Lalu, kenapa keberadaan labi-labi sebagai angkutan warga semakin tergusur.
“Sebagian besar warga telah memiliki sepeda motor (sepmor). Malah, satu rumah tangga punya dua unit sepmor,” kata Sinong.
Beberapa unit labi-labi yang masih beroperasi sekarang ini hanya bisa mengharapkan penumpang siswa dengan tarif Rp 2.000 per siswa.