Terdapat tradisi lain dalam masyarakat Aceh yaitu mandi laut untuk merendam tubuh dengan air garam.
Tradisi mandi laut pada bulan Safar setahun sekali yang lazim disebut “manoe rabu abeh” atau “manoe safa” adalah bagian dari penghilangan berbagai kuman dan penyakit yang ada di tubuh manusia.
Orang Aceh masa lampau percaya ada korelasi antara mandi laut dengan imunitas tubuh dalam menangkal penyakit sebagaimana adanya korelasi antara air pasang di laut dengan pergerakan urat-urat dalam tubuh manusia.
• Dana Desa Bisa Digunakan Biayai Warga yang Sedang Menjalani Masa Isolasi Corona, Ini Syaratnya
2. Ie Lam Guci (Air dalam Guci)
Kearifan lokal lainnya dalam masyarakat Aceh dalam menghadapi penyakit adalah selalu menjaga kebersihan.
Setiap rumah orang Aceh zaman dahulu pasti menyediakan guci (kendi, pasu) berisi air bersih lengkap gayung di depan rumah.
Air ini digunakan untuk mencuci kaki, tangan, bahkan muka oleh siapa saja yang hendak masuk ke dalam rumah.
Seseorang harus dipastikan bersih dan steril sebelum melangkah ke dalam rumah.
Tidak hanya itu, rumah-rumah orang Aceh masa lampau juga menyediakan sumur (mon: kamar mandi) di bagian depan pekarangan rumah.
Pemilik rumah yang baru pulang dari kerja mencari nafkah biasanya membersihkan tubuhnya dengan mandi di luar rumah sebelum masuk dan melakukan kontak fisik dengan anggota keluarga yang standby di rumah (stay at home).
Gerakan rajin cuci tangan dan mandi setelah pulang dari pasar yang dikempanyekan ahli medis belakangan ini ternyata sudah dipraktikkan orang Aceh zaman dahulu.
Sayangnya local wisdom ini tidak disosialisasikan sehingga dianggap budaya baru.
• Aminullah: Usaha Jalan, Corona Harus Kita Cegah
3. Pakek Gaca (Pakai Inai)
Tradisi lain yang dilakukan orang Aceh dalam menghadapi wabah adalah memakai inai (gaca) di jari tangan secara selang seling, tidak di semua jari.
Sekilas tradisi pakai inai secara selang seling ini terlihat tidak mempunyai makna, tidak logis, “o-on”, bahkan ada berkesimpulan mendekati musyrik. Nauzubillahi min zalik.