Video

VIDEO Melihat Makam Syuhada Pulot Cot Jeumpa, Menyimpan Memori Kelam yang Menggemparkan Dunia

Penulis: RezaMunawir
Editor: RezaMunawir
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Penembakan ketiga pada tanggal 4 Maret 1955 di Kruengkala.

Akibatnya 99 jiwa meregang nyawa dengan rincian di Pulot Leupung 64 jiwa, Cot Jeumpa Lhong 25 jiwa, dan Kruengkala Lhong 10 jiwa.

Usia termuda yang meninggal yakni 11 tahun dan paling tua berusia 100 tahun.

Pembantaian ini sebagai balas dendam terhadap rekan-rekannya yang ditembak oleh tentara Darul Islam.

Indonesia menutup rapat-rapat pembantai warga sipil yang pertama dilakukan di Aceh oleh negara.

Baca juga: VIDEO Jambo Hatta, Bukti Sejarah Wakil Presiden Pertama RI Pernah Berkunjung ke Aceh Selatan

Peran Acha dan Koran Peristiwa

Suasana kekalutan itu semakin gempar dengan pemberitaan Surat Kabar Peristiwa pada awal Maret 1955.

Isi koran yang terbit di Kutaradja ini dikutip oleh berbagai media ibukota di Jakarta dan internasional.

Harian Peristiwa memuatnya dengan judul enam kolom di halaman pertama.

Disebutkan pada tanggal 26 Februari 1955 kira-kria jam 12 siang WSu (Waktu Sumatera) sepasukan alat-alat negara menangkap seluruh lelaki penduduk Cot Jeumpa yang didapati di rumah.

Mereka dikumpulkan di pinggir laut.

Lalu tanpa periksa, seluruh pria itu ditembak hingga semua rebah bermandikan darah.

Peristiwa mewartakan pada tanggal 28 Februari 1955, kira-kira jam 12 siang WSu, orang berpakaian seragam menembak mati 64 warga Leupung.

Mereka ditangkap di rumah, sedang melempar jala, memancing, dan lain-lain.

Kemudian dikumpulkan di pinggir laut.

Peristiwa memberitakan, mayat-mayat yang bergelimpangan itu dikuburkan dalam dua lubang besar.

Peristiwa juga memuat nama korban lengkap dengan umur dan tempat tinggal.

Tentu militer Indonesia menolak publikasi Peristiwa.

Komandan Tentara Teritorium I Bukit Barisan Pada tanggal 10 Maret 1955 memberi penjelasan kejadian sebagai berikut.

Pada tanggal 22 Februari 1955 sepasukan tentara yang ditempatkan di Lhong berangkat pagi-pagi jam 06.30 WSu, 16 tentara dari Peleton 32 Batalyon 142 menuju Kompi II di Lhok Nga untuk mengambil bahan makanan dan bensin.

Pada sorenya satu satu truk membawa perbekalan dan bensin menuju Lhoong.

Ibarat membungkus bangkai, pasti tercium bau.

Pemimpin Redaksi Peristiwa Achmad Chatib Aly (sering disingkat menjadi Acha) melakukan investigasi yang luar biasa.

Koran yang terbit di Jalan Merduati Nomor 98 Kutaradja itu menjadi tumpuan warga untuk mengetahui hal-hal yang coba disamar-samarkan itu.

Kala itu, militer Indonesia memblokir jalan ke Tempat Kejadian Perkara (TKP).

Acha tidak kehilangan akal dengan menyewa boat nelayan.

Tugas jurnalistik ditunaikan Acha dengan baik.

Seminggu kemudian, Peristiwa edisi 3 Maret 1955 memuat laporan bernas di halaman satu dengan judul “Bandjir Darah di Tanah Rentjong”.

Peristiwa edisi 10 Maret 1955 mencantumkan daftar warga yang ditembak oleh Batalyon 142, Peleton 32 dengan memakai senjata Bren, 2 mobil, 2 jeep, 2 truk.

Berdasarkan pemberitaan Peristiwa yang dirintis pada awal tahun 1954, Hasan Tiro yang tinggal di New York Amerika Serikat mengetahui sepak terjang Indonesia.

Diplomat cerdas ini menilai eksekusi massa itu adalah genosida.

Hasan Tiro yang dicabut paspor diplomatik Indonesia pada tahun 1954 semakin yakin, Aceh yang diibaratkan sebagai bagian dari puluhan kamar yang berteduh dalam rumah bernama Indonesia sudah waktunya dipertanyakan.

Beberapa surat kabar terbitan Medan Sumatera Utara seperti Lembaga, Tangkas, dan Warta Berita menulis kasus yang dilapor oleh Hasan Tiro tertera dalam agenda PBB.

“Bila kemudian tak dibicarakan di PBB itu lain soal. Kejadian di Aceh itu sudah jadi perhatian internasional,” tulis Zakaria M Passe di Majalah Tempo edisi 24 Oktober 1987.

Sosok Acha

Dalam sebuah tulisan tentang "Kutaraja Sampai Tahun 1960" jurnalis Harian Bijaksana yang terbit di Kutaraja pada masa itu M Joenoes Joesoef menulis Harian Peristiwa yang pertama kali menyiarkan daftar nama-nama korban tragedi Cot Pulot Jeumpa.

Maka koran itu pun meledak.

Di mana-mana orang mencarinya. Maka orang-orang percetakan pun ambil kesempatan.

Koran yang baru setengah jadi, artinya koran yang baru dicetak halaman satu dan empatnya, langsung dilego.

Daftar korban memang ada di halaman satu dan empat.

Walau tidak kenal secara pribadi, tetapi Joenoes Joesoef mengetahui Acha.

"Hampir setiap saat kami bisa saja berpapasan di jalan, di atas sepeda masing-masing. Acha berbadan kecil, pakai kacamata. Yang jadi ciri khasnya, selalu ada sepotong kertas di tangan kirinya, yang menutupi sebagian tangan itu. Mengapa? Rupanya ada bagian berwarna putih di tangan itu, semacam supak, bekas luka akibat terbakar, yang tidak ingin diperlihatkan kepada orang lain," tulisnya.

Harian “Bijaksana” satu dari dua harian yang ada di Kutaraja waktu itu.

Yang lainnya adalah “Peristiwa”, dengan pemimpin redaksi Acha, alias Ahmad Chatib Ali.

Pemimpin umum dan pemimpin redaksi harian “Bijaksana” adalah Hadjisjamaun.

Menurut Joesoef “Bijaksana”, seperti juga “Peristiwa”, dicetak di Percetakan Negara, satu-satunya percetakan yang tergolong bonafit di Kutaraja.

Walau mesin cetaknya sendiri sudah tergolong tua, tetapi di situ ada dua unit mesin “Intertype” baru, juga sebuah mesin “Linotype”.

Maka huruf-huruf cetakan pun tidak lagi disusun dengan tangan (seperti di jaman harian “Semangat Merdeka” dulu), tetapi melalui cara yang sangat praktis, layaknya seperti mengetik dengan mesin tik biasa saja.

Untuk isi berita, mesin “Intertype” yang melakukannya.

"Kalau untuk kepala berita, dengan ukuran huruf yang lebih besar, dipakailah mesin “Linotype”, tulis Joesoef.

Dia juga menceritakan huruf-huruf yang disusun melalui mesin-mesin itu dicor dari timah cair, yang bisa dibayangkan panasnya.

Panas itu kemudian menular ke sekitarnya.

Para operator biasa bekerja dengan hanya bersinglet saja.

Di samping itu, uap timah panas itu berbahaya juga untuk para operator.

Bisa mengancam paru-paru mereka.

Maka mereka mendapatkan jatah makanan ekstra, “extra fooding”, seperti susu dan telur.

Seiring perjalanan waktu nama Acha atau Achmad Chatib Ali, yang telah membuat dunia heboh karena laporan investigasinya dalam tragedi Cot Pulot Jeumpa semakin tak terdengar.

Sang jurnalis kawakan itu seperti hilang dari dunia kewartawanan, dan kisah hidupnya pun minim terekspose media hingga akhir hayatnya.

Namun nama Acha akan selalu abadi tercatat dalam sejarah pers Aceh sebagai sosok wartawan sejati atas jasanya mengungkap sebuah fakta dan kebenaran.(*)

NARATOR : ILHAM

VIDEO EDITOR : REZA MUNAWIR

Berita Terkini