OlehSusilo Bambang Yudhoyon
"Ya Allah, musibah apa ini ... ," ucap saya lirih.
Hal ini saya ucapkan di Wisma Gubernur Papua, Jayapura, tanggal 26 Desember 2004.
Ketika berita yang saya terima tentang gempa bumi di Aceh bertambah buruk dari jam ke jam.
Dino Patti Djalal dan Andi Mallarangeng, dua juru bicara Presiden, yang terus "meng-update" perkembangan situasi di Aceh ikut pula cemas.
Istri tercinta yang mendampingi saya saat itu nampak makin sedih.
Matanya mulai berkaca-kaca.
Komunikasi yang dilakukan oleh para Menteri dan Staf Khusus yang mendampingi saya memang amat tidak lancar.
Mereka nampak frustrasi.
Belakangan baru tahu bahwa telekomunikasi di seluruh Aceh lumpuh total.
Tetapi, yang membuat pikiran saya semakin tegang adalah setiap berita yang masuk jumlah korban gempa terus meningkat dengan tajam.
Pertama belasan, kemudian puluhan, ratusan dan bahkan ribuan.
Waktu itu saya benar-benar belum mengetahui bahwa yang terjadi ternyata bukan hanya gempa bumi, tetapi juga tsunami yang amat dahsyat.
Selama jam-jam yang menegangkan itu saya tetap memelihara komunikasi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang saat itu berada di Jakarta.
Intinya, nampaknya ini bukan bencana alam biasa.