Luar Negeri

8 Orang Sekeluarga Asal Sudan Tewas di Tengah Gurun Libya, Diduga Tersesat, Enam Bulan Hilang

Editor: Faisal Zamzami
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TENGAH GURUN - Mobil putih yang dikendarai sekelompok pengungsi asal Sudan, ditemukan di tengah gurun berjarak sekitar 400 kilometer dari Kufra, kota terdekat di Libya. Rombongan itu meninggalkan Sudan Agustus 2020 dan lenyap tak berjejak selama enam bulan.

Berulang kali teriakan didengar rombongan, dan melihat para wanita itu mencoba melarikan diri. Orang-orang bersenjata itu memperingatkan semua orang untuk tidak membuat keributan.

Sseorang wanita yang diseret ke padang pasir kemudian mengatakan dia telah diperkosa. Keesokan paginya, pengawal baru tiba membawa mereka menuju kota Sebha.

Abdi dan warga asal Somalia lain dipindahkan ke kota Brak El-Shati. Pada titik ini, perjalanan mereka terhenti.

Bisnis penyelundup adalah mengangkut orang, dan seperti siapa pun dalam bisnis, dia mengharapkan bayaran.

Mereka mengurung Abdi dan orang Somalia lainnya di dua bangunan mirip gudang di sebuah kompleks pertanian.

Mereka dipaksa bekerja di ladang pertanian, tanpa dibayar sepeserpun. Banyak imigran, seperti dari Eritrea putus asa, lalu bunuh diri.  

Impian menyeberang ke Eropa tak kunjung terwujud hingga berbulan-bulan. Abdi dan lain-lain diserahkan ke kelompok penyelundup lain, dan diperas tenaganya.

Terjebak di Tengah Perang Saudara Libya

Pada awal 2018, para penyelundup membawa Abdi dan pelancong lainnya ke pantai, mengambil sepatu mereka, mengemasnya ke dalam perahu karet, dan mengirim mereka berkendara hingga larut malam.

Abdi memperhitungkan mereka berjumlah setidaknya 100 atau lebih. Keesokan paginya, perahu karetnya kemps.

Mereka berdebat tentang apakah akan terus melanjutkan atau menunggu kapal yang mereka lihat di kejauhan.

Jika beruntung, kapal itu adalah orang Eropa - bahkan mungkin salah satu kapal penyelamat yang mencari di perairan antara Libya dan Eropa.

Tetapi jika kapal itu adalah orang Libya, mereka khawatir, mereka mungkin akan lenyap ke dunia penyelundupan dan perdagangan manusia lagi.

Ternyata, kapal itu milik Penjaga Pantai Libya. Rombongan imigran itu diselamatkan dan dikirim ke pusat detensi Tajoura, sebelah timur Tripoli.

Abdi menemukan secercah harapan setelah mendengar pusat penahanan itu dalam pantauan lembaga PBB. Situasi di pusat penahanan lebih baik ketimbang di tangan penyelundup.

Setiap hari pintu terbuka tiga kali untuk makan, selalu sama dan tidak pernah cukup. Roti untuk sarapan, pasta yang diolesi saus tomat encer untuk makan siang dan makan malam, dan air untuk diminum. Untuk mendapatkan makanan lebih banyak atau lebih baik, mereka harus melarikan diri dari bangsal. Hanya sedikit dari mereka yang berhasil.

Ada tahanan yang dipilih penjaga untuk bekerja di kompleks, biasanya orang Sudan yang berbicara bahasa Arab.

Ada yang terpilih untuk pekerjaan yang diidamkan di kantor dan dapur. Mereka yang dipilih atau dipaksa bekerja di luar Tajoura, yang mungkin dibayar dengan makanan atau rokok.

Pada malam hari, Abdi akan mencari tempat di lantai dan membaringkan kasurnya. Udara sangat panas hingga terkadang para pria tidak bisa tidur.

Pada akhir musim panas 2018, berbagai milisi bertempur satu sama lain di Tripoli, dan terjadi peningkatan tajam aktivitas di garasi kendaraabn.

Kadang-kadang milisi membangunkan Abdi dan tahanan lainnya di sana pada larut malam, dan bahkan bekerja bersama mereka, menggosok dan mencuci dan memindahkan senjata dan amunisi.

Senjata-senjata itu sebagian besar adalah senapan mesin berat 14,5 milimeter yang dipasang oleh para milisi di pikap mereka.

Setelah beberapa minggu, pertempuran berakhir.

Suatu hari Oktober 2018, pejabat badan pengungsi PBB mengunjungi Tajoura dan mendaftarkan ratusan tahanan.

Kali ini Abdi ada di antara mereka, beberapa bulan setelah kedatangannya. Kemudian, pada April 2019, Jenderal Haftar memulai perang melawan pemerintah Tripoli.

Abdi membantu membersihkan senjata dan tank, seperti sebelumnya. Kali ini, milisi juga membawanya untuk bekerja di garis depan.

Mereka mengirimkan air dan makanan seperti roti, selai, dan madu, dan dia melihat tahanan lain membersihkan ceceran darah dari kendaraan yang habis dipakai bertempur.

Roket berjatuhan di medan tempur Tripoli.  Suatu hari, Abdi melarikan diri dari Tajoura karena ketakutan pusat detensi itu akan jadi korban pertempuran.

Enam minggu setelah Abdi melarikan diri dari Tajoura, serangan udara meratakan sebagian besar bangsal tahanan imigran.

Sedikitnya 53 tahanan berbagai Negara yang bertahan di lokasi itu tewas, dan sejumlah lainnya dilaporkan terluka.

Abdi kini sudah keluar dari Libya, di tempat baru yang menjanjikan masa depan lebih baik. Tapi istri dan anak-anaknya dalam penguasaan orang lain.(Tribunnews.com/Alaraby.co.uk/HRW/xna)

Baca juga: Rommy Syahrial Anak Raja Dangdut Rhoma Irama Kembali Dipanggil KPK, Ini Kasusnya

Baca juga: Usai Malam Pernikahan, Bagian Tubuh Pria Ini Tak Berfungsi, Pengantin Wanita Gugat Cerai Suaminya

Baca juga: 7 Cara Rahasia Pria Jadi Perkasa di Ranjang, Tak Perlu Obat Kuat, Dijamin Bikin Puas Pasangan

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Enam Bulan Hilang, Sekeluarga Asal Sudan Ditemukan Tewas di Tengah Gurun Libya

Berita Terkini