Ini adalah BAGIAN KEDUA dari kisah nyata tentang pertemuan seorang pria yang selama 32 tahun hilang kontak dengan keluarganya.
Tulisan bagian pertama bisa dilihat DI SINI
32 TAHUN setelah kepergian Hamzah, pada satu hari di pekan kedua bulan Februari 2021, adiknya Safaruddin yang bekerja sebagai nelayan di Lhokseudu, Aceh Besar, merasa tertarik dengan aktivitas putranya yang sedang membuka peta (google maps) di telepon pintarnya.
Iseng-iseng, Safaruddin meminta putranya membuka peta Bukittinggi, Sumatera Barat.
Kepada putranya, Safaruddin bercerita dia punya abang di kawasan Bukittinggi, namun dia tidak ingat persis nama desanya.
Untuk diketahui, Bukittinggi adalah sebuah kota di Sumatera Barat yang bersebelahan dengan Kabupaten Agam.
Bukittinggi hanya berjarak sekitar 6 – 8 kilometer dari Kampung Sungai Jariang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam.
Saat melihat-lihat Google Maps itulah, Safaruddin menemukan nama Kampung Sungai Jariang.
Ingatannya langsung terbayang ke kesan 32 tahun lalu saat pergi ke sana bersama abangnya Hamzah.
Safaruddin pun meminta putranya untuk melihat-lihat lebih dekat dan lebih detil peta Kampung Sungai Jariang.
Hingga kemudian dia melihat sebuah foto warung yang menyertakan nomor telepon.
Yups benar, dia pernah dua kali berkunjung ke warung itu bersama abangnya.
Segera dia minta putranya menghubungi nomor telepon warung tersebut.
Benar saja, sang pemilik warung memang kenal dengan Hamzah, satu-satunya orang Aceh di Kampung Sungai Jariang.
Safaruddin pun menitip salam dan meninggalkan nomor telepon, serta menitip pesan kepada abangnya agar menghubungi mereka.
Keesokan harinya, Hamzah dan Safaruddin bertatap muka untuk pertama kalinya dalam 32 tahun.
Tapi, mereka hanya bisa saling menangis dan menempelkan tangan di layar HP, karena pertemuan berlangsung melalui fasilitas video call WhatsApp.
“Setelah memastikan dan melihat wajah adik-adik saya dari layar HP, saya langsung memutuskan untuk pulang ke Aceh,” kata Hamzah.
Ia masih bisa berbahasa Aceh, tapi sudah patah-patah.
Sebaliknya, Hamzah kini sangat rancak berbahasa Minang.
“Lon meunyo peugah bahasa Aceh jak u Tebingtinggi, di sinan rame awak Aceh, na yang mukat mi aceh,” ungkap Hamzah dalam bahasa Aceh yang terdengar “tilo”.
Baca juga: Pedangdut Erie Suzan Sedih, Merinding, dan Menangis di Museum Tsunami Aceh
Baca juga: BERITA POPULER - Kisah Pria Turki Jemput Jodoh Ke Aceh Hingga Kapal Rusia Masuk Aceh Tanpa Izin
Sempat Mengira Hilang Saat Tsunami
Kepada Serambinews.com, Rabu (17/2/2021) malam, Hamzah bercerita dia sempat mengira semua keluarganya hilang atau meninggal dalam musibah tsunami yang menghantam Aceh 26 Desember 2004.
Pasalnya, saat Hamzah pergi merantau, keluarga mereka tinggal di kawasan depan Masjid Uleelheue, atau sekitar kuburan massal syuhada tsunami saat ini.
Ia tidak pernah mendapatkan kabar jika keluarganya telah pindah ke Lhokseudu, Aceh Besar, beberapa bulan setelah kepergiannya ke Sumatera Barat.
Demikian juga, Hamzah tidak pernah mendapatkan kabar duka tentang adik perempuannya Nur Azizah yang meninggal dunia pada tahun 1999.
Sama pula halnya, Hamzah tak pernah tahu jika Ibundanya Zuraida telah meninggal dunia pada tahun 2002, dan ayahandanya Hasballah meninggal dunia pada tahun 2003.
“Saat tsunami terjadi, saya melihat di televisi Uleelheue hancur total. Saya menangis sejadi-jadinya, mengingat ibu, ayah dan adik-adik saya,” kenang Hamzah sambil menyeka bulir bening di ujung matanya.
Baca juga: 32 Tahun Warga Ini Menghilang & Sempat Diduga Ikut Menjadi Korban Tsunami, Ditemukan Lewat Facebook
Baca juga: Tsunami Aceh dan Cerita SBY, dari Operasi Tanggap Darurat Hingga Berdamai dengan GAM
Ia bercerita sampai 10 hari tidak punya selera makan.
Pikirannya selalu terbayang kampung halaman yang telah hancur lebur dihantam gelombang raksasa dari Samudera Hindia.
Pingin rasanya segera pulang, tapi Hamzah tak punya cukup uang.
Kondisi Aceh yang menurut berita telah hancur lebur, membuat dia gamang.
“Jangan-jangan enggak ada saudara yang selamat. Lalu ke mana saya akan pergi,” demikian Hamzah bergumam.
Ada yang kasih saran agar dia pulang bersama rombongan relawan yang diberangkatkan dari Bukittinggi.
Sayang, saran itu datang setelah rombongan relawan berangkat.
Hamzah pun kembali ke kampung (istrinya) di Sungai Jariang dengan penuh kegalauan.
Hingga 17 tahun kemudian, keajaiban itu datang.
Kabar “sang adik dari Aceh titip salam dan pesan” yang disampaikan pemilik warung langganannya, bagaikan petir di siang bolong.
Hamzah bagai tersadar dari mimpi panjang.
"Saat pertama video call dengan Safaruddin dan Zulfikar, sesak rasanya dada ini. Makanya saya bilang ke isteri, apapun cerita saya harus segera pulang ke Aceh. Tak tahan lagi memendam rindu bertemu adik-adik,” kata Hamzah, sembari melihat sendu ke arah Zulfikar, adik kecilnya yang kini telah dewasa.
“Dia ini paling bungsu, makanya dalam keluarga dipanggil Dek Cil,” ujar Hamzah menunjuk ke arah pria kekar yang biasa kami sapa Bang Cip.
• VIDEO Harian Serambi Indonesia Mengadakan Syukuran Ulang Tahun yang ke-32
Menjawab Serambinews.com, Hamzah mengatakan saat ini dia belum punya rencana kapan akan kembali ke Sumatera Barat.
“Sementara ini belum punya rencana, saya hanya ingin melepas rindu dengan keluarga. Mungkin sampai lebaran ini. Mau merasakan suasana Ramadhan dan Idul Fitri di Aceh, untuk yang pertama setelah 32 tahun," ungkap Hamzah.
Sudah 40 tahun menikah dengan Erni, Hamzah belum dikaruniai putra maupun putri.
Malam itu, di atas keramba di Teluk Lhokseudu, Hamzah terlihat benar-benar menikmati semilir angin yang membelai lembut wajahnya.
Terkadang dia melihat lekat-lekat wajah Zulfikar, adik kecilnya yang kini telah dewasa.
Hamzah tampak sangat meresapi setiap detik kesempatan yang tak pernah lagi dia nikmati sejak 32 tahun ini.
Seakan, dia tak lagi ingin pergi meninggalkan adik-adiknya.(Serambinews.com/Zainal Arifin)