“Al-Uqud itu adalah trasaksi. Boleh jadi jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan apa saja yang kita lakukan secara akad,” kata Ustaz Nazaruddin.
Ia menegaskan, apapun yang dilakukan dengan cara tersebut, yang di dalamnya ada akad, maka itu sah sebagai harta.
Kemudian cara memperoleh harta yang ketiga, kata Ustaz Nazaruddin adalah Al-Irs.
“Al-Irs itu artinya dalam bahasa adalah menempatkan sesuatu tempat yang sebelumnya telah hilang,” jelasnya.
Baca juga: Tidak Ada Pawai Takbiran, Inilah 4 Momen Ramadhan dan Idul Fitri yang Hilang di Tahun 2021
Al-Irs ini juga disebut sebagai harta warisan. Sebagai contoh seorang ayah memberikan warisan kepada anaknya.
“Jadi harta yang anak miliki ini dalam pandangan islam boleh dan sah. Karena memang itu dari warisan,” ungkap Ustaz Nazaruddin.
Cara keempat memperoleh harta adalah Attawalludu Minal Mamluk.
“Ini artinya dalam bahasa yang sederhana disebut dengan (harta) beranak pinak,” jelasnya.
Jika seseorang membawa pulang harta yang dikonsumsi bersama keluarganya untuk di makan bersama.
“Ternyata (harta) tidak habis dan masih tertinggal, yang tertinggal itu kita simpan,” kata Ustaz Nazaruddin.
Kepala Baitulmal Aceh melanjutkan, jika setiap hari seseorang menyisihkan yang dia miliki, maka akumulasi dari simpanan itu, itulah yang disebut harta.
“Akumulasi dari itu semuanya baru dia beli tanah, hewan ternak, mobil. Itu semuanya disebut harta,” paparnya.
Baca juga: Tahun 2030, Ahli Astronomi Perkirakan Ramadhan akan Berlangsung 2 Kali, Begini Penjelasan Ilmiahnya
Lalu, setelah harta dimiliki, bagaimana cara mengelolanya dalam pandangan islam?
Ustaz Nazaruddin mengungkapkan, untuk mengelola harta itu ada dua cara, ada ‘ekstrem kiri’ dan ‘ekstrem kanan’.
Ekestrem kiri, kata Ustaz Nazaruddin adalah jangan menggunakan harta secara boros.