Kupi Beungoh

Moustapha Akad, Ertugrul, dan Cut Nyak Dhien: Tentang Wajah Asli Yang Sering Terabaikan (II)

Editor: Amirullah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sebuah terobosan seri Ottoman Dirili? (Resurrection), yang bercerita tentang kisah asli kehidupan nyata dari Kekaisaran Ottoman, langsung menjadi hit ketika pertama kali diluncurkan pada akhir 2014.

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

KETIKA serial Dirilis Ertugrul mulai dipancarkan pada tahun 2014 di stasiun TV TRT Turki, serial itu segera mendapat respons yang luar biasa, tidak hanya di dalam negeri Turki, tetapi juga di mancanegara.

Tidak kurang berbagai stasiun TV di 72 negara membeli lisensi Ertugrul, dan bahkan saluran raksasa film internasional Netflix menyediakan serial itu dalam teks bahasa Inggris pada tahun 2017 itu untuk pemirsanya.

Kepopuleran Ertugrul memang fenomenal.

Koran Inggris, the Guardian (12 Agustus 2020) menulis, tidak kurang dari 1.5 miliar kali Ertugrul dipantau terputar di Youtube.

Sementara penonton di layar televisi juga ditonton oleh ratusan juta pemirsa.

Baca juga: Moustapha Akkad, Ertugrul, dan Cut Nyak Dhien: Tentang Wajah Asli Yang Sering Terabaikan (I)

Penonton yang melihat versi teks bahasa Urdhu saja-Pakistan dan India- mencapai 136,7 juta pemirsa per minggu.

Belum lagi berbagai negara Asia lainnya, termasuk Timur Tingah, Amerika Latin, dan Eropah, dapatlah dibayangkan bagaimana sambutan terhadap serial Ertugrul ini.

Reaksi terhadap serial Ertugrul juga tidak kurang hebatnya, mulai dari pujian, sampai dengan larangan.

Saudi Arabia, United Arab Emirat, dan Mesir adalah negara yang melarang penyiaran Ertugrul.

Belakangan, India juga melarang pemutaran serial itu.

Tidak ada keterangan yang sangat kuat tentang kenapa serial itu dilarang, kecuali mungkin karena ketakutan pesan politis dan kultural yang terbawa dalam serial itu.

Baca juga: Fakta-fakta Sidang Vonis Rizieq Shihab: Reaksinya hingga Perkiraan Bebas

Pihak yang senang dengan serial Ertugrul juga tidak kalah kurangnya.

Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan merekomendasikan rakyatnya untuk nonton.

Presiden Venuzela, Nicolas Maduro, bahkan memakai topi tradisional Turki, sapka alp, berikut dengan memegang bendera suku Kayi, salah satu suku Oghuz, Turki, dimana Ertugrul lahir dari orang tua nya Sulaymansyah dan Hayme Hatun.

Tidak kurang, kecanduan Ertugrul dari cucu mantan presiden dan bapak bangsa Afrika Selatan, juga turut meramaikan pemberitaan serial itu.

Baca juga: Presiden Suriah, Bashar Al-Assad Menang Telak, Pimpin Lagi Negeri dengan Konflik Terlama di Arab

Wajah Islam Sejati

Tema besar Ertugrul yang ditampilkan oleh Mehmet Bozdag memang sangat berlawanan dengan mayoritas penampilan Islam versi media barat selama ini sering ditampilkan sebagai berwajah barbar.

Bozdag yang berlatar pendidikan dan keahlian sosiologi menampilkan fondasi imperium dan Dinasti Ottoman dengan wajah Islam sejati.

Buyut Osman I, Sulaiman Syah dan Hayme Hatun ditampilkan bagaimana mereka mendidik anak-anaknya dengan nilai-nilai keadilan, cinta damai, inklusif, menghargai perbedaan, mempraktekkan meritokrasi, menghargai  pengetahuan yang kesemuanya  merupakan nilai-nilai kehidupan universal yang dicintai ummat manusia.

Untuk menjamin tegaknyva nilai-nilai itu Ertugrul dan saudaranya juga ditanamkan sifat-sifat keluhuran budi pekerti, kesatria, dan penyayang terhadap mereka yang tertindas, walau berlainan agama sekalipun.

Semua nilai-nilai itu dikontraskan dengan kebiadaban tiga kekuatan besar masa itu; Romawi Timur Byzantium, Kesatria Salib, dan air bah bangsa Mongol.

Baca juga: Sosok Penyair dalam Film Tjoet Nja Dhien, Simbol Pembawa Pesan atau Kisah

Suku-suku Oghuz Turki yang tersebar di seluruh kawasan Anatolia yang pada masa itu di bawah Dinasti Seljuk berada dalam ancaman yang konstan dari ketiga kekuatan.

Ketakutan dan ancaman itu menjadi harapan, dan bahkan kemudian menjadi kenyataan ketika Ertugrul tampil sebagai juru selamat dan pemersatu suku-suku itu.  

Kelicikan musuh, korupsi besar-besaran elite Seljuk di Ibu Kota- Konya, kerja sama petinggi kerajaan dengan para panglima Mongol, dan pengkhianatan para “cuak” yang cukup banyak diantara sesama suku Turki adalah tantangan terbesar Ertugrul.

Keputusan penguasa Seljuk, Sultan Alâeddin Keykûbad menghargai kesetiaan dan kecerdasan Ertugrul dengan memberikannya kekuasaan penuh terhadap kawasan Sogut- hari ini Provinsi Bilecik, Turki, menjadi tantangan yang sangat besar kepada Ertugrul, suku Kayi, dan suku-suku Turki lain yang berdekatan dengan mereka.

Di sebalik kebaikan Sultan Alâeddin, Sogut dijadikan daerah penyangga Seljuk untuk membendung super power Bizantium Kristen di bawah kepemimpinan Ertugrul.

Baca juga: Baru Bisa Dimulai Juli 2021, Simak! Ini Cara Pemutakhiran Data PNS Mandiri Pakai Aplikasi My SAPK

Peran Ekonomi dan Perdagangan

Bozdag dengan sangat apik menempatkan perdagangan di Sogut sebagai jantung ekonomi, tidak hanya untuk kemaslahatan ummat, tetapi juga bagi siapapun, terlepas dari latar suku, agama, atau bangsa.

Ertugrul digambarkan memeragakan bagaimana uang yang tidak “beragama” dengan sistem pasar bebas yang terkontrol dengan sangat baik, memberikan keuntungan luar biasa kepada penyebaran agama Islam dan kelahiran Ottoman.

Pedagang dari berbagai bangsa, utamanya Yunani dan Italia datang ke Sogut dan bahkan mereka dapat menjalankan kepercayaannya dengan baik di Gereja Sogut yang dijamin oleh Ertugrul.

Kecuali ketaatannya kepada Khalik, Ertugrul bukanlah seorang yang menguasai agama dengan baik.

Bozdag menampilkan Osman Soykut sebagai Ibnu Arabi yang berangkat dari Andalusia dan berkelana di seantero Seljuk yang kemudian menjadi guru spritual Ertugrul, terutama dalam masa-masa kritis.

Apa yang dilakukan oleh Ertugrul dalam berjuang di dalam teks film itu disebut dengan path of Islam- jalan Islami.

Jalan Islami Ertugrul itu sangat banyak, mulai dari mengalahkan kesatria Salib, memerangi tentara Mongol, menjadikan orang Yunani Kristen sebagai kerani bazarnya, menghukum bawahannya adik dan bawahannya yang indisipliner.

Ia juga menghukum pedagang Islam yang curang, menghargai imuwan pedagang dan pengrajin, menghargai dan melindungi orang cacat yang kemudian ternyata musuh besarnya.

Ia  tak segan menghukum  musuhnya yang kejam dan licik, petinggi Seljuk yang “cuak” dan jahat, dan bahkan sejumlah tokoh suku-suku Turki yang keji dan tamak, dengan hukuman pancung.

Ia menegakkan kebenaran, mempersatukan suku-suku nomad Turki menjadi sebuah entitas baru yang solid.

Fondasi entitas Turki Anatolia yang ia bangun kemudian dilanjutkan oleh anaknya Osman-dikenal sebagai Osman I, yang kemudian mendirikan kerajaan baru yang berevolusi menjadi imperium Islam raksasa, dinasti Ottoman yang berumur 600 tahun lebih.

Kita tidak tahu kenapa banyak pihak, bahkan dari banyak tokoh dan negara Islam sendiri yang tidak senang dengan serial Dirilis Ertugrul.

Yang pasti serial itu telah menjadi sebuah kontra naratif terhadap potera Islam yang selama ini telah berbiak hebat dalam budaya populer global.

Apa yang ditampilkan dalam serial itu layaknya sebuah film tentu saja telah mengalami bebagai polesan, baik dengan “mengadakan” atau “meniadakan” keping sejarah yang pernah ada.

Dan itu ditegaskan dalam setiap episode serial, ketika disebutkan basis serial itu adalah “inspirasi” sejarah negara kami-Turki.

Semangat Cut Nyak Dhien

Kalau Moustapha Akkad, Mehmed Bozdag, dan Metin Gunay telah mampu mempersembahkan tentang wajah asli islam,-the Mesage, dan wajah asli imperium Islam- Ertugrul kepada pemirsa kedua kisah itu, bagaimana dengan Cut Nyak Dhien kita? 

Aceh, dan bahkan Indonesia beruntung karena gambaran Cut Nyak Dhien belum pernah dinarasikan oleh “pihak jahat” seperti yang ditayangkan tentang Islam dan Ottoman oleh beberapa pihak di Barat yang salah.

Bahkan kehebatan Cut Nyak Dhien diakui secara kesatria oleh musuhnya, Belanda sampai hari ini.

Bayangkan saja, pemerintah Belanda  membayai restorasi film yang disutradarai oleh Erios Djarot, sehingga memungkinkan peluncuran barunya seperti yang sedang dan akan tampil saat ini.

Dalam racıkan Eros Djarot Cut Nyak Dhien telah menjadi sebuah ikon tentang “perempuan” Aceh yang kehidupannya tidak semata diputuskan oleh lelaki, hatta sehebat Teuku Umar sekalipun.  

Dhien dan Umar adalah setara, mereka adalah sejoli yang berperang melawan musuh untuk keadilan dan martabat bangsanya.

Dalam konteks ke Indonesiaan, komentar penonton perdananya, Menteri BUMN Erick Thohir cukup memadai.

Disamping semangat perlawanan, Thohir mencatat dua hal pesan penting Cut Nyak Dhien, kehancuran bangsa berasal dari ulah sendiri, tidak disiplin, dan tidak kompak.

Dalam konteks kekinian Aceh, film Cut Nyak Dhien mengirim pesan untuk kita agar tidak semena-mena mencabut keberadaan perempuan Aceh dengan menggagahi penafsiran fiqih seperti yang diperagakan oleh kekuasaan lelaki Aceh selama ini.

Pesan Cut Nyak Dhien untuk lelaki Aceh abad ke 21 adalah tidak mempersepsikan perempuan apalagi menjadikan perempuan sebagai pangkal “bala” dan kutukan dari Tuhan untuk bumi Aceh.

Wacana kekuasaan yang didominasi laki-laki yang membuat seruan bersama untuk melarang perempuan Aceh untuk duduk “mengangkang” kendaraan roda dua di salah satu daerah tingkat dua pantai Timur-Utara Aceh, tidak hanya absurd, tetapi juga sangat mengada-ngada dan itu jelas sangat menyimpang dengan semangat Cut Nyak Dhien.

Tidak hanya di Pantai Timur Utara Aceh, di Pantai Barat Selatan tidak kurang ketika kekuasaan laki-laki yang pernah melarang perempuan bercelana.

Perempuan Aceh seolah telah dijadikan sebagai “buruan” yang mesti dijinakkan oleh pemburu yang didominasi oleh laki-laki.

Pesan dari film Cut Nyak Dhien dalam konteks kekinian adalah sebuah penegasan tentang warna asli keberadaan perempuan Aceh.

Ketika peran perempuan Aceh diceritakan dengan benar, maka panggung kehidupan publik menjadi berbeda.

Cut Nyak Dhien mengirim pesan tegas kepada kita hari ini bahwa perempuan Aceh bukan hanya sebagai teman tidur, pengasuh anak, apalagi sebagai tukang masak di dapur. Cut Nyak Dhien tidak hanya berbicara tentang siapa wanita Aceh 150 tahun yang lalu, tetapi juga membawa muatan sarat “zeigstat”-semangat zaman tentang keberdaan dan peran perempuan kini dan hari sok dalam kehidupan yang sangat disruptif dan cepat berobah.

Bagi penonton yang berada di luar Aceh, film Cut Nyak Dhien barangkali akan memberikan gambaran bahwa tidak semua yang ditulis oleh media tentang Aceh, terutama tentang masyarakat dan perempuannya sama sekali benar. Hukum besi kemajuan yang menyatakan salah satu ukuran kemajuan masyarakat adalah ketika “destiny” kehidupan perempuan tidak berada total dalam kendali laki-laki.

Paling kurang film Cut Nyak Dhien akan menjadi titik awal pengertian pemirsa non-Aceh untuk tahu lebih banyak tentang Aceh.

Perbedaan misi antara Moustapha Akkad, Mehmed Bozdag-Metin Gunay, dan Eros Djarot sama, namun sangat berbeda.

Dua yang pertama menampilkan warna asli Islam dan untuk menjadi kontra naratif terhadap narasi sebelumnya yang dibuat di barat sana.

Dalam bentuk “manifest” pesan Eros Djarot sebenarnya sangat sederhana.

Di sebalik dominasi cerita kepahlawanan Indonesia yang di dominasi laki-laki, di ujung Sumatera sana, di Aceh,  ada perempuan yang berperang secara fisik melawan dan memusuhi Belanda, hatta ketika ia dalam status tahanan Belanda, dan bahkan dibawa ke alam kubur.

Pesan “latent” edisi restorasi film Cut Nyak Dhien kali ini sungguhnya lebih relevan ditujukan kepada generasi muda, generasi milenial Aceh untuk “mengawal” nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Cut Nyak Dhien untuk tidak dibelokkan oleh elit Aceh sendiri.

Kontra naratif yang mesti dilakukan bukan untuk mengimbangi pihak luar, akan tetapi justru terhadap para aktor domestik yang memproklamirkan dirinya sebagai pendukung nilai-nilai ke Acehan seperti yang diperjuangkan Cut Nyak Dhien.

Kasus duduk “ngangkang” kendaraan roda dua dan “larangan” celana perempuan adalah contoh nyata sebuah “puncak” gunung es dari nafsu dominasi sebagian elit Aceh terhadap perempuan Aceh.

Perang narasi dalam kehidupan tak pernah berhenti.

Industri film Turki belum puas dengan hanya menampilkan Ertugrul.  

Serial itu kini menjadi bagian dari sequel Kurolus Usman, serial yang melanjutkan peran keturunan Ertugrul dalam kehebatan Ottoman Turki.

Sebenarnya kita di Acehpun punya segudang sumber yang membuat film Cut Nyak Dhien memungkinkan untuk disquelkan-dilanjutkan, dengan segudang petempuan pemikir dan pemberani Aceh.

Bukankah di sini masih ada Cut Mutia, Laksamana Malahayati, Pocut Baren, Pocht Meuligoe, dan cukup banyak perempuan bangsawan maupun perempuan biasa lainnya.  

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca juga: Lowongan Kerja Fresh Graduate di PT United Tractors, Ada 2 Posisi, Ini Kualifikasi & Batas Daftarnya

Baca juga: Jejak Digital Terbongkar, Suami Terkejut saat Mengetahui Istri yang Baru Dinikahinya Punya 19 Suami

Berita Terkini