16 Tahun Damai Aceh

16 Tahun Damai Aceh, Muhammad MTA: Permusuhan Lenyap di Alam Nyata, Tapi Ada dalam Pikiran

Penulis: Yeni Hardika
Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Jubir Pemerintah Aceh, Muhammad MTA menyatakan, Pemerintah Aceh tidak akan hadir dalam rapat paripurna Raqan Pilkada di Gedung DPRA, Senin (5/7/2021).

SERAMBINEWS.COM - Pada hari ini, Minggu (15/8/2021), masyarakat di bumi Serambi Mekkah memperingati 16 tahun Hari Perdamaian Aceh.

Merupakan momen bersejarah, tanggal 15 Agustus akan selalu dikenang dan diperingati khususnya oleh masyarakat Aceh.

Pada tanggal tersebut, sebuah peristiwa besar dan penting terjadi yang melibatkan Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Tepatnya pada 15 Agustus 2005 silam, antara kedua belah pihak tersebut sepakat menyelesaikan konflik yang berkecamuk puluhan tahun secara damai lewat nota kesepahaman yang ditandatangi di Helsinki.

Penandatangan kesepahaman yang kemudian dikenal dengan Kesepakatan Helsinki itu telah memberi napas baru bagi masyarakat Aceh, yang ketika itu juga tengah berduka karena baru saja dilanda bencana alam besar Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 yang menewaskan ribuan orang.

Tanah Aceh menjadi damai, rakyatnya tak lagi dihantui oleh bunyi senjata yang bertiup hingga menumpahkan darah ribuan warga sipil di segala sisi sejak adanya kesepakatan itu.

Kini, 16 tahun sudah kedamaian berlangsung di Aceh.

Baca juga: Peringatan 16 Tahun Damai Aceh, Ini Pesan Gubernur Aceh

Baca juga: Peringati 16 Tahun Hari Damai Aceh, BRA Kembali Beri Sertifikat Lahan untuk Eks Kombatan

Selama 16 tahun itu pula, masyarakat Aceh khususnya selalu memperingati hari penandatangan Kesepakatan Helsingki ini sebagai Hari Perdamaian Aceh.

Muhammad MTA, seorang aktivis pada masa konflik Aceh yang kini menjabat sebagai Juru Bicara Pemerintah Aceh juga termasuk salah seorang yang tak pernah lupa dengan momen bersejarah tersebut.

Lewat akun Facebooknya, Minggu (15/8/2021), MTA, sapaan akrabnya, telah menuliskan sebuah ungkapannya untuk peringatan 16 tahun Hari Perdamaian Aceh.

"Kebingungan paling besar sebuah peperangan adalah lenyapnya permusuhan di alam nyata, tapi ada dalam pikiran.”

"Bek meuklok2 sabe keudroe2. (Jangan baku hantam dengan sesama) Hehe hehe Selamat Hari Damai...," tulis MTA lewat akun Facebooknya, Tuwanku MTA yang disertai foto lawas dirinya memegang senjata.

Perbedaan Nyata

Dihubungi Serambinews.com Minggu (15/8/2021), Muhammad MTA menceritakan sedikit gambaran dari sudut pandangnya, tentang kehidupan Aceh sebelum dan sesudah Hari Damai.

Menurutnya, kehidupan Aceh sebelum dan pascadamai memiliki perbedaan yang sangat nyata. 

Baca juga: Wali Nanggroe: Alhamdulillah Damai Masih Terus Berlangsung

"Saat konflik berkecamuk, sebagai seorang aktivis mau tidak mau harus berada di garda terdepan utk melawan 'Jakarta'," ungkap pria kelahiran 1 Mei 1979 melalui pesan WhatsApp saat dihubungi Serambinews.com.

"Kenapa? Krn aktivis bukan kombantan, aktivis kalau tidak vokal dan berada di depan maka rawan menjadi sasaran penculikan berujung kematian, terutama operasi2 OTK. Kalau vokal jika terjadi penangkapan walau disiksa tapi selamat, paling masuk penjara," sambungnya.

Sama seperti yang dirasakan oleh masyarakat Aceh lainnya, bagi MTA, masa konflik Aceh yang terjadi 16 tahun silam juga menyisakan trauma yg sangat mendalam.

Sebab, bukan hanya dirinya yang sempat ditangkap dan dipenjara pada waktu itu, tapi juga dua saudara sekandungnya harus terenggut nyawa hingga hilang entah kemana.

"2 abang kandung saya menjadi korban. Yang satu ditemukan mayat dengan 4 tembusan peluru di badan dan kepalanya, satu lagi sampai saat ini tidak diketahui kuburnya,"

"Di waktu yang bersamaan, saya saat itu baru 2 hari keluar penjara ditangkap tuduhan makar (2022) dan adik saya satu lagi masih bergerilya karena dia kombantan GAM. Orang yang paling sedih tentunya Ibu, 2 putranya tewas di moncong senjata, 2 putra lagi berpotensi yang sama," cerita MTA.

MTA memahami betul bagaimana situasi rakyat yang dilanda trauma berkepanjangan pada saat itu.

Menurutnya, Aceh pada masa itu dalam keadaan yang sangat menyedihkan.

Baca juga: 16 Tahun Damai Aceh, Mualem: Tidak Lama Lagi Kita Dapat Keberhasilan

Siapa pun bisa menjadi korban, tak terkecuali mereka dari orang yang pro dan tidak pro terhadap kemerdekaan Aceh.

Namun semua itu hanya sebatas statistik harian yang terus diinput.

Tetapi ketika perdamaian terjadi, tak ada lagi todongan senjata, dan Aceh mendapat berbagai keistimewaan sesuai dengan yang disepakati.

Kehidupan Aceh setelah damai memang terasa sangat berbeda dengan masa-masa konflik, apalagi pada masa Darurat Militer.

Ini juga ikut dirasa oleh sosok yang namanya paling dicari di zaman konflik Aceh dahulu.

Diungkapkan MTA, hal yang paling berkesan bagi dirinya terkait kehidupan pasca konflik Aceh, kini ia bisa menghabiskan waktu untuk sekedar menongkrong bersama teman-teman di luar rumah hingga pagi.

Itu adalah sebuah kenikmatan yang tidak bisa dirasakan pada waktu konflik berkecamuk dahulu.

"yang paling berkesan saya bisa duduk nongkrong bersama kawan2 di luar sampai pagi," ungkapnya disertai tulisan penanda tawa.

Meski demikian, Aceh memang telah 16 tahun hidup damai, tapi menurut MTA, bumi Serambi Mekah masih saja terjadi "peperangan".

Namun "peperangan" pada masa ini bukan lagi soal perjuangan, melainkan hanya demi kekuasaan politik pragmatis.

"Mulai dari elit sampai jajaran “seureudeng” saling menghujat dan bahkan bunuh membunuh sesama mereka bukan pada persoalan perjuangan, tapi hanya kekuasaan politik pragmatis,"

"Dan perpecahan itu masih di pertontonkan sampai saat ini. Dan selalu saling mencari kambing hutan utk bisa dipersalahkan, padahal kesalahan hanya ada pada diri sendiri," sebut MTA.

Bagi MTA, itu adalah kesan lain yang sangat menyedihkan terkait kehidupan Aceh setelah damai.

MTA berharap, semua pihak sebaiknya melakukan instropeksi dan bermuhasabah terhadap apa yang sedang terjadi saat ini.

Menjenguk janda serta anak-anak yatim korban konflik yang kini telah dewasa, menurutnya adalah salah satu cara untuk memahami arti tanggung jawab akibat peperangan yang pernah diciptakan dahulu.

Bagi generasi muda Aceh, MTA berpesan untuk mengambil peran demi masa depan Aceh yang lebih baik.

Caranya yaitu dengan meningkatkan pengetahuan dan pendidikan agar bisa membangun kesejahteraan berbasis pendidikan dan pengetahuan, sehingga Aceh bisa menjadi daerah yang maju dan hebat.

Sementara pada pemerintah Aceh dan Anggota Dewan, MTA berpesan untuk melakukan rancangan dan membangun program-program yang menjawab tantangan generasi kedepan.

Dengan demikian, tujuan kedamaian untuk kesejahteraan benar-benar bisa terwujud. (Serambinews.com/Yeni Hardika)

Berita Terkini