16 Tahun Damai Aceh

Dirjen Bina Adwil Kemendagri Safrizal ZA Sebut UUPA Produk Paling Progresif, Seluruh Aceh Kompak

Penulis: Fikar W Eda
Editor: Mursal Ismail
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Safrizal ZA, Dirjen Bina Adwil Kemendagri  

Saat penyusunan Rancangan UUPA seluruh elemen masyarakat Aceh sangat kompak dan bersatu.

Laporan Fikar W Eda | Jakarta

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan atau Bina Adwil Kemendagri, Safrizal ZA,  menyebutkan UUPA merupakan produk undang-undang paling progresif.

Saat penyusunan Rancangan UUPA seluruh elemen masyarakat Aceh sangat kompak dan bersatu.

Safrizal menyampaikan hal ini dalam Webinar “Refleksi 16 Perdamaian Aceh: Siapa Mendapat Apa, Kenapa, Bagaimana,”. 

Webinar ini diselenggarakan Riset Politik (Rispol) Indonesia, Selasa (31/8/2021).

“Kami menyaksikan sendiri  dengan mata kepala , betapa kompak seluruh unsur di Aceh, ulama, umara, akademisi, politisi, mahasiswa, dan lain-lain semuanya kompak. Semua saling bantu mewujudkan UUPA,” ujar Safrizal. 

Baca juga: 16 Tahun Damai Aceh, Gambit Minta Pimpinan Perhatikan Ekonomi Eks Kombatan GAM

Safrizal mengatakan, sebanyak 71 butir MoU Helsinki ada yang diserap dalam bentuk undang-undang dan ada yang langsung diimplementasikan dalam masyarakat.

Ini merupakan produk penyelesaian Aceh dengan hasil optimum yang dilakukan secara beradab dan terhormat.

Walaupun, kata Safrizal,  masih terdapat opini-opini yang  menyisakan bahan diskusi yang membutuhkan telaahan yang tajam.

“UUPA  dalam proses penyusunan dan setelah penyusunan juga muncul  pro kontra. Tapi kami menyaksikan sendiri, bagaimana berjibaku tim FORBES memperjuangkan itu.

Bahkan ada yang tidak ada dalam MoU dimasukkan dalam UUPA. Tak pelak  lagi UUPA dinilai UU paling progresif yang pernah ada. Banyak yang mau meniru, tapi tak bisa,” katanya.

Ia menyerukan kekompakan pada masa lalu saat penyusunan UUPA, agar dibawa kembali ke masa kini, sehingga akselerasi pembangunan bisa dicapai.

Lembaga Riset Politik Indonesia (Rispol) menggelar Webinar Refleksi 16 Tahun Perdamaian Aceh, Selasa (31/8/2021) (For Serambinews.com)

Baca juga: VIDEO SELAMAT 16 Tahun Damai Aceh dan 76 Tahun Republik Indonesia

“Kita lihat potensi sumber daya manusia Aceh yang  hebat-hebat. Kita mencari pemersatu dan penggerak,” katanya.

Ia mengatakan tanpa menafikan hasil dan manfaat dari MoU , sudah banyak hasil dan kemajuan yang diperoleh.

“Keamanan yang baik, Aceh bahkan lebih aman dari Jakarta, demokrasi yang berkembang, ekonomi yang bergerak, meski angka kemiskinan masih di atas rata-rata nasional.

Ini catatan memilukan. Tapi kita tidak boleh menyerah,” tukas Safrizal yang baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai Pj Gubernur Kalimantan Selatan.

Safrizal menyebutkan Aceh membutuhkan konsep kolaborasi dan akselerasi dalam mencapai kemakmuran. “Akselerasi harus dua atau tiga kali lipat untuk mengejar ketertinggalan,” katanya.

Ia mengimbau untuk tidak buru-buru menyalahkan regulasi, apabila persoalannya ternyata pada tataran implementasi.

Baca juga: Eks Panglima GAM Wilayah Linge: 16 Tahun Damai, Aceh Ibarat Batu Pecah Seribu, Hilang Kasih Sayang

Sofyan A Djalil dalam Refleksi 16 Tahun Perdamaian Aceh (For Serambinews.com)

Sofyan A Djalil Sebut Masyarakat Sudah Dapat Berkah MoU Helsinki

Sebelumnya diberitakan, juru runding  mewakili Pemerintah Indonesia, Sofyan A Djalil mengatakan seluruh rakyat Aceh saat ini mendapat berkah dan manfaat dari pencapaian perdamaian Aceh melalui MoU Helsinki. 

Ya, MoU Helsinki antara Pemerintah Indonesia dengan GAM yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. 

Sofyan A Djalil menyebutkan di antara berkah tersebut adalah, tidak ada lagi kekerasan, pendidikan berjalan normal,  masyarakat luas berpartisipasi dalam proses demokrasi, dan sebagainya.

Sofyan A Djalil menyampaikan hal ini dalam Refleksi 16 Perdamaian Aceh, "Siapa Mendapat Apa, Kenapa, Bagaimana,” .

Acara ini digelar secara virtual oleh Riset Politik (Rispol) Indonesia, Selasa (31/8/2021).

“Tidak ada lagi kekerasan, sekolah berjalan, masyarakat secara luas berpartisipasi dalam proses demokrasi, aktivitas ekonomi berjalan,” ujar Sofyan A Djalil yang juga putra asli Aceh itu. 

Sofyan A Djalil yang juga Menteri ATR/Kepala BPN menyebutkan, yang jadi masalah dan perdebatan kemudian apakah MoU kemudian telah membawa kemakmuran?

“Kalau keamanan pasti, proses demokrasi semua orang terlibat dan berpartisipasi dalam proses politik di Aceh.

Apakah kemudian masyarakat Aceh mendapatkan yang lebih secara ekonomi? Mereka bisa berusaha dengan damai, aktivitas ekonomi bisa berjalan,” kata Sofyan.

Ia juga menyebutkan ada sejenis kompensasi dari Pemerintah dalam bentuk dana Otsus, jumlahnya sangat besar.

“Pertanyaannya apakah dana ini mendapat manfaat optimum? Ini bisa menjadi perdebatan. Bahwa manfaat ada, pasti. Tapi apakah manfaat optimum, itu menjadi perdebatan,” tambahnya.

Hanya saja Sofyan A Djalil mengingatkan, bahwa sebuah daerah maju, itu bukan sumber daya alam, tapi adalah good policy.

Ia mencontohkan negara-negara Asia Timur berhasil menjadi menjadi negara industri, seperti Taiwan, China dan lain-lain, itu karena good policy.

“Kenapa Kabupaten Banyuwangi dianggap cukup sukses dalam berbagai indikator dibanding kabupaten lain, kuncinya adalah kepemimpinan dan good policy yang diterapkan. 

Dana yang banyak tanpa diikuti good policy tidak akan memberi manfaat optimum bagi sebuah daerah.

Contoh lain Nigeria, Venezuela yang banyak uang  karena minyak, tapi kemudian menjadi malapetaka menjadi sesuatu yang tidak baik bagi negara tersebut secara ekonomi.

Untuk Aceh, sudah  mendapat transfer banyak dari pusat. Tapi kalau  tidak diikuti oleh good policy tidak akan memberi manfaat optimum,” ujar Sofyan.

Selanjutnya Sofyan juga menyebutkan, bahwa pencapaian perdamaian Aceh dihargai sebagai sebuah model penyelesaian konflik  di negara lain.

Di akhir pernyataannya, Sofyan menyerukan agar semua dalam berbagai lini di Aceh menciptakan good policy, sebab Itu yang bisa membuat daerah maju.

"Tanpa good policy, uang tidak akan beri banyak manfaat,” tambah Sofyan mengingatkan.

Rekomendasi refleksi 16 Tahun Perdamaian Aceh di Jakarta

Seperti diberitakan Serambinews.com sebelumnya, Lembaga Riset Politik Indonesia (Rispol) menggelar Webinar Refleksi 16 Tahun Perdamaian Aceh, Selasa (31/8/2021). 

Wali Nanggroe Aceh Paduka Yang Mulia Malik Mahmud yang diharapkan memberi pandangan dan pemikiran dalam acara tersebut, ternyata tidak bisa hadir walau secara virtual.

Sedangkan Gubernur Aceh diwakili Kepala Dinas Sosial Aceh, Dr Yusrizal.

Acara yang berlangsung lebih dari dua jam itu menghadirkan sederet pembicara, terdiri atas Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan A Djalil, SH, MA, MALD, PhD yang juga juru runding Pemerintah Indonesia dengan GAM.

Kemudian Sekjen DPR RI, Dr Ir Indra Iskandar, MSi, Dirjen Bina Administrasi dan Wilayah dari Kemendagri, Dr Drs Safrizal, ZA,MSi, Ketua Forbes DPD - DPR RI asal Aceh, HM Nasir Djamil, MSi.

Berikutnya Ketua Komite I DPD RI, Fachrul Razi, M.IP, Wakil Ketua Komite II DPD RI, Dr. Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si dan Politisi senior, Dr Ahmad Farhan Hamid, MS.

Selanjutnya, juga ada Rektor Unsyiah, Prof Dr Ir Samsul Rizal, MEng, Ketua DPR Aceh, H Dahlan Jamaluddin, SIP, Ketua Umum Pengurus Besar, Himpunan Ulama Dayah Aceh (PB. HUDA), Tgk H Muhammad Yusuf A Wahab. 

Kemudian Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Soraya Kamaruzzaman, ST, MT, Aktivis Perempuan Aceh, Cut Asmaul Husna serta sejumlah pembicara lainnya. Jalannya dialog dipandu Munawar Khalil.

Acara ini juga menampilkan baca puisi “Salam Damai” oleh Fikar W.Eda.

Ketua Pelaksana Webinar Muntasir Ramli  mengatakan, webinar ini menghasilkan rekomendasi  untuk disampaikan kepada  Presiden RI dan sejumlah pihak lainnya.

Berikut butir rekomendasi Refleksi 16 Tahun Perdamaian Aceh yang dilaksanakan secara daring dan luring dari Gedung DPR RI Senayan Jakarta.

 1. Mari kita segarkan kembali butir-butir yang ada dalam MoU Helsinki.  Peringatan Hari Damai ke 17 agar dapat dilaksanakan di Jakarta.

Sebab pihak yang berkomitmen, bukan hanya Gerakan Aceh Merdeka, melainkan juga Pemerintah Indonesia, yang kemudian dirangkai dengan penulisan dan rangkuman proses penyusunan MoU Helsinki dalam berbagai Perspektif sebagai sebuah monumen penting dalam sejarah perjalanan Aceh sebagai sebuah entitas. 

2. Perlu dihidupkan lagi Desk Aceh yang dalam fungsinya mengawal revisi dan mengelaborasi MoU Helsinki dan UUPA dengan salah satu konteksnya adalah merekonstruksi tata kelola pemerintahan Aceh dalam kerangka NKRI yang lebih bermartabat dan mandiri yang mengacu pada MoU Helsinki dan dukungan kekuatan kontrol alternatif dari segenap unsur rakyat Aceh.

3. Hasil dari seminar ini akan dilaporkan kepada Bapak Presiden dengan meminta jadwal pertemuan langsung Bapak Presiden. (*)

Berita Terkini