Laporan Asnawi Luwi | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh (KPPAA), meminta empat hal terkait kasus pemerkosaan beramai-ramai di Nagan Raya.
Komisioner Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh (KPPAA), Firdaus D Nyak Idin, dalam rilisnya, Sabtu (18/12/2021) mengatakan, berdasarkan data yang dikumpul KPPAA, kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan berkelompok (gangrape) tahun 2021, sedikitnya sudah terjadi tiga kali.
Pertama di Bener Meriah pada Februari 2021, kemudian Langsa sekitar Maret 2021 dan terakhir di Nagan Raya Desember 2021.
Tidak menutup kemungkinan ada kejahatan serupa terjadi namun kurang mencuat.
Menurut Firdaus, dalam pandangan psikologi sosial pelaku gang rape memiliki suatu mentalitas yang disebut “mentalitas mafia” di mana suatu kelompok melakukan suatu perilaku kejahatan bersama-sama tanpa berpikir jernih.
Baca juga: Darwati A Gani Minta 14 Tersangka Pemerkosa di Nagan Raya Dihukum Seberat-beratnya
Gang rape terjadi sangat sering dikarenakan pelaku cenderung melakukan suatu kejahatan jika dirinya merasa bisa lolos dari hukuman.
Dalam kasus Aceh, disinyalir, dualisme hukum (Qanun Jinayat versus undang- undang Perlindungan Anak) turut mempengaruhinya.
"Pelaku gang rape juga cenderung menganggap korban (perempuan) sebagai warga kelas dua. Jelas ada ketidaksetaraan gender di sini," katanya.
Dengan terjadinya persoalan tersebut, KPPAA kembali mengingatkan, agar kasus tidak semakin bertambah, Pemerintah Aceh perlu mengambil langkah-langkah strategis dan cepat.
Antara lain yakni merevisi dan memperkuat qanun jinayat, karena terbukti keberadaan qanun jinayat telah menyebabkan adanya dualisme hukum penanganan kejahatan seksual terhadap anak.
Segera menyusun rencana strategis penghapusan kekerasan seksual terhadap anak.
Baca juga: Polda Aceh Panggil Teungku Ni, Terkait Pengibaran Bendera Bintang Bulan
Karena sampai saat ini, Aceh sama sekali belum memiliki rencana strategis apapun terkait perlindungan anak. Termasuk tidak memiliki rencana strategis dalam menghapus kekerasan seksual terhadap anak.
Merevisi dan memperkuat qanun perlindungan anak. Sehingga qanun perlindungan anak Aceh dapat lebih up to date dan sesuai perkembangan Aceh saat ini.
Memperkuat kelembagaan pengawasan perlindungan anak Aceh agar semakin kuat dan efektif melakukan pengawasan semua sektor terkait anak di Aceh.
Memperkuat fungsi keluarga dan komunitas. Karena sering sekali kejahatan seksual terjadi di rumah/keluarga dan di komunitas lingkungan terdekat korban.
Dalam konsep Hak Azasi Manusia (HAM) Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Aceh memiliki tugas Immidiate obligation (kewajiban yang bersifat segara dan secepatnya tanpa memandang ketersediaan sumber daya) dalam menghapus segara bentuk kejahatan seksual di Aceh.
Baca juga: 14 Pemuda di Nagan Raya Gilir Gadis 15 Tahun, KNPI Ajak Orang Tua Awasi Pergaulan Anak
"Apabila ini tidak dilakukan, dapat dianggap Pemerintah telah melakukan pelanggaran Hak Azasi Manusia," katanya.
Untuk itu, KPPAA berharap melalui sektor terkait segera duduk menyusun perencanaan yang strategis yang bertujuan bukan sekedar menurunkan angka.
Namun menghapus segala bentuk kejahatan seksual terhadap anak di Aceh. Zero tolerant untuk kejahatan seksual terhadap anak.
"Jangan sampai korban bertambah banyak, pelaku bertambah sadis, pemerintah bertambah cuek," tegasnya.
Terkait pelakunya yang masih berusia anak dan masih remaja, KPPAA meminta semua pihak untuk tidak menghakimi.
Karena pada dasarnya mereka juga merupakan korban kegagalan tumbuh kembang akibat salah asuh.
Salah asuh di keluarga, salah asuh di lembaga pendidikan maupun salah asuh di komunitas yang cenderung tidak peduli. Fenomena ini disebut “ketidakpedulian pluralis”.
Baca juga: Koalisi NGO HAM Aceh Apreasiasi Langkah Cepat Polres Nagan Raya Tangkap Predator Anak
Untuk diketahui, remaja cenderung menjadi pelaku gang rape karena remaja sangat rentan terhadap pengaruh perilaku negatif seperti adiksi narkoba, seks bebas, pornografi, perilaku kriminal, dan jenis kenakalan remaja lainnya (juvenile deliquency).
Terjadi transisi hormonal yang memengaruhi cara berpikir remaja.
Menurut Firdaus, dalam teori Jean Piaget, remaja dapat berpikir abstrak namun perkembangan kognitif terhadap sistem moral belum berkembang sempurna sehingga mereka mudah terjerumus perilaku negatif tanpa mempertimbangkan konsekuensi hukum di masa depan.(*)
Baca juga: Kisah Warga Bireuen Boyong Keluarga Ke Jawa Barat, Baru 3 Hari Tiba Malah Toko Untuk Bekerja Ditutup