Oleh Siti Arifa Diana, S. Sos, MA, Alumni Magister Sosiologi di Selcuk University, Konya, Turki
Virus Covid-19 saat ini terus bermutasi bahkan menciptakan varian lebih kuat untuk menyerang manusia.
Namun kali ini berbicara virus yang berbeda tapi sama mematikannya, yaitu virus kekerasan seksual.
Dikatakan sebagai virus karena jumlahnya terus bertambah dalam tiap tahun.
Dianggap problem yang serius karena mayoritas korban yang kerap tidak menemukan titik penyelesaian yang adil.
Secara data, menurut Kemen-PPPA, jumlah kasus kekerasan seksual pada anak dan perempuan mencapai angka tertinggi pada tahun 2020 yakni sekitar 7.
191 kasus, dan data terkini di 2021 mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai angka 3.122.
Jumlah ini tentu tidak dapat dijadikan patokan khusus, seperti halnya fenomena gunung es, karena sebagian hanya dapat kita ketahui di permukaannya saja, dan selayaknya bongkahan es di bawah permukaan laut, ada banyak kasus-kasus yang belum terungkap.
Apa hal yang dapat saya apresiasi terhadap realitas tersebut? Bukan soal kasus kekerasan seksual yang semakin merajalela, namun justru meningkatnya jumlah kasus kekerasan membuktikan bahwa semakin banyak orang yang mulai berani untuk speak-up terhadap kejahatan seksual yang menimpanya, baik pelecehan, pemerkosaan, diskriminasi, bullying, serta eksploitasi seksual.
Media sosial saat ini juga telah menjadi wadah yang sering dimanfaatkan oleh banyak orang untuk mengungkap pengalaman menjadi korban dari pelaku kekerasan seksual.
Tentu usaha yang cukup besar dapat bersuara lantang di publik dalam melawan aksi kekerasan seksual, mengingat hal tersebut merupakan ranah privat
Sehingga untuk mengajukan laporan membutuhkan upaya yang kompleks, tidak hanya dari kesiapan korban untuk menceritakan kronologi dan melawan rasa traumatisnya, pendampingan khusus bagi korban, pertimbangan ekonomi dan alasan lainnya untuk tidak melaporkan pelaku karena alasan status atau profesi korban ; baik sebagai istri, anak kandung/tiri kepada ayah, adik kepada abang, sesama teman, junior dan senioritas, keterikatan dalam lembaga seperti pelajar/mahasiswa dengan guru/dosen, karyawan dengan atasan, dan lain-lain.
Selain itu salah satu faktor umum dalam menyikapi kekerasan seksual selama ini adalah kelemahan akan instrumen hukum yang cenderung membebankan pihak korban, dalam menunjukkan bukti secara hukum
Dimana hal tersebut menjadi semakin rumit bagi korban, di satu sisi pengalaman traumatis, menanggung rasa malu, dan juga banyak hal yang perlu diungkapkan sehingga menjadi kesan yang tidak lagi privat melainkan diketahui oleh beberapa pihak seperti keluarga besar dan aparat penegak hukum yang menanganinya.
Mencapai keadilan hukum
Penyelesaian hukum yang tepat dan mempertimbangkan perlindungan korban sangat berpengaruh dalam pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual.
Akan tetapi berbagai kasus kekerasan seksual terutama menyoroti perempuan sebagai mayoritas korban terbanyak di Indonesia, tidak terkecuali di Aceh, masih menghadapi dilema dalam konteks penyelesaiannya.
Pengelolaan kasus kekerasan seksual pada perempuan yang dianggap tidak serius oleh pihak penegak hukum menjadikan banyak kasus seperti ini tidak menemui solusi dan titik terang.
Hal ini juga tidak terlepas dengan pro dan kontra selama kurun waktu enam tahun terakhir dalam menangani isu ini.
Salah satunya sejak tahun 2020 ketika prolegnas mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang saat ini telah berganti nama menjadi (RUU TPKS).
Banyak desakan berbagai pihak khususnya pemerintah untuk segera membuat regulasi baru dalam menyikapi tegas kasus kekerasan seksual.
Hal ini tentu tak luput pertimbangan secara yuridis, filosofis, dan sosiologis.
Selain melanggar nilai-nilai Pancasila, RUU TPKS diharapkan menjadi suatu regulasi yang dibutuhkan masyarakat sehingga siapa saja korban kekerasan seksual dapat dilindungi dalam kepastian dan instrument hukum yang kuat.
Selain itu, dalam perspektif sosiologis kekerasan seksual merupakan problem sosial yang terus berkembang di masyarakat yang telah meracuni berbagai aspek
Baik dalam ranah keluarga, pergaulan, lingkup pekerjaan, kesenjangan sosial, sampai pada lembaga hukum seperti penjara dan lembaga pendidikan yang notabennya dianggap sebagai wadah dalam memanusiakan manusia
Akan tetapi justeru perlu selalu diawasi dari kerentanan terhadap kekerasan seksual oleh oknum-oknum yang berlindung dibalik topeng seragam, profesi maupun jabatan.
Di belahan dunia lain seperti Amerika dan negara-negara maju di Eropa, dengan angka kasus kekerasan seksual yang lebih tinggi.
Regulasi tentang kasus kekerasan seksual dikaji lebih dalam bahkan lebih detil dan kompleks.
Juga dapat dipastikan agar perlindungan hukum lebih efektif bagi korban kekerasan seksual, terlebih jika korbannya merupakan kategori orang-orang tidak berdaya, seperti tahanan, orang sakit, gangguan jiwa, korban perang, maupun disabilitas.
Semuanya berhak untuk mendapat hak asasi dan perlindungan hukum yang maksimal.
Kampanye edukatif
Dalam perjalanan historisnya, kekerasan seksual masih dipandang sempit dari sebatas kejahatan pemerkosaan.
Namun seiring berjalanannya waktu dengan keterbukaan diskusi dan semakin banyak variasi bentuk kekerasan seksual, isu ini semakin dianggap serius karena dapat memberi dampak destruktif bagi korbannya.
Mulai dari problem rumah tangga dengan meningkatnya kasus KDRT dan perceraian, problem psikologis, eksploitasi anak dan perempuan, perdagangan manusia, sampai pada tingkat kriminalitas berat yaitu pembunuhan.
Bahkan di era modern kejahatan seksual menyerang korbannya dalam wujud cybercrime atau kejahatan seksual berbasis digital, dimulai dari memanfaatkan korbannya yang mungkin masih di bawah umur hingga berujung pada pemaksaan atau pemerasan secara seksual, tindakan menguntit, perundungan dalam sosmed hingga membuat korbannya menjadi depresi sampai pada mengancam korban dengan menyebarluaskan foto atau video korbannya.
Bahkan di tahun 2017, Stop Street Harassment, sebuah organisasi keadilan gender di Amerika Serikat, mencatat sebesar 77% perempuan mengalami pelecehan verbal dan sekitar 41% di antaranya terjadi di dunia maya.
Negara saat ini mungkin telah menyusun strategi baru dalam menindak tegas kasus kekerasan seksual, upaya politik saja tak cukup untuk mencapai solusi dalam penyelesaian kejahatan ini.
Kampanye edukatif sangat dibutuhkan untuk mendorong gerakan massa untuk menuntut perubahan sistem demi mencapai keamanan dan hak-hak bagi korban kekerasan seksual.
Hal sederhana dapat dimulai keluarga, kasih sayang adalah kunci utama, karena di sanalah dukungan dan perlindungan dasar psikologis dapat terpenuhi.
Secara general, kampanye edukatif dapat direalisasi dalam pendekatan sosialisasi, diskusi kemahasiswaan, seminar serta mendorong kerja sama berbagai stakeholder maupun korporasi sehingga memungkinkan lebih banyak partisipasi masyarakat untuk menyikapi kekerasan seksual.
Setiap individu juga perlu disadarkan untuk mengenyampingkan stigma, dan menganggap bahwa kejahatan ini bukanlah dimensi yang membedakan status sosial, ekonomi dan budaya.
Setiap dari kita memiliki potensi menjadi korban, maka jangan ragu dan malu untuk bersuara.
Bahkan kita pula berpotensi menjadi pelaku kejahatan seksual, maka ingatlah norma hukum akan terus berjalan tanpa memandang bulu.
Baca juga: Kekerasan Seksual pada Anak Sebabkan Trauma Berkepanjangan
Baca juga: Para Migran Jadi Korban Kekerasan Seksual dan Pembunuhan di Libya
Baca juga: 686 Wanita Sudan Diculik dan jadi Korban Kekerasan Seksual, 58 di Antaranya Berhasil Diselamatkan