Jurnalisme Warga

Sabang, Mengesankan untuk Selamanya

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

MELINDA RAHMAWATI, Mahasiswi Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Prof.Dr.Hamka, sedang mengambil Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka di Universitas BBG, melaporkan dari Banda Aceh

OLEH MELINDA RAHMAWATI, Mahasiswi Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Prof.Dr.Hamka, sedang mengambil Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka di Universitas BBG, melaporkan dari Banda Aceh

Di pengujung tahun 2021, saya bersama teman-teman yang mengikuti Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka di Aceh melalui kegiatan Modul Nusantara melakukan salah satu kegiatan terakhir kami, yakni Kegiatan Kebinekaan: Etnogeografi.

Kegiatan ini berupa pengenalan keunikan Provinsi Aceh, salah satunya tentang titik 0 Kilometer Indonesia yang terletak di Pulau Weh.

Provinsi Aceh memiliki 13 subetnis sekaligus menjadi tempat dari titik paling ujung garis wilayah barat Indonesia.

Kami berangkat dari Banda Aceh melalui Pelabuhan Ulee Lheue di Banda Aceh dan tiba di Pelabuhan Penyeberangan Balohan, Kota Sabang, 40 menit kemudian.

Pemandangan Selat Malaka dengan langit yang cerah, ditambah gugusan bukit dan pegunungan yang tampak dari jauh, menemani perjalanan kami.

Setiba di Pelabuhan Balohan, kami dijemput oleh pemandu dan dibawa ke Tugu “I Love Sabang” dan berfoto di sana.

Selanjutnya kami menuju pinggir pantai Ujung Kareung untuk makan siang.

Bagi sebagian kami, makan siang ditemani debur ombak Selat Malaka menjadi sebuah pengalaman yang amat mengesankan.

Tak jauh dari tempat kami makan siang, banyak sekali tebing pinggir pantai.

Kami berfoto di sekitaran tebing.

Suasana lokasi liburan di Gua Sarang, Sabang, Sabtu (6/6/2020). Sejumlah objek wisata pantai di Sabang mulai terbuka untuk umum, namun sepi pengunjung dampak dari pandemi Covid-19. (SERAMBI/HENDRI)

Sesudah puas berfoto di sekitaran tebing, kami pun bertolak ke lokasi lain yang pemandangannya lebih indah.

Satu jam kami di lokasi tersebut, lalu bergerak ke Benteng Anoi Itam.

Benteng ini menjadi saksi dari pendudukan Jepang di ujung Selat Malaka ini.

Selanjutnya, kami bergerak menuju titik Nol Km Indonesia di Iboih.

Perjalanan ke titik ini terbilang panjang, sekitar satu setengah jam dengan jalan yang berliku.

Hari telah senja saat tiba di Tugu Nol Km Indonesia.

Kami berfoto bersama di Tugu Nol Km tersebut dan menikmati suasana senja di sana.

Suasana yang sangat menenangkan bagi kami semua menikmati senja yang menghadap langsung ke lautan dari atas bukit.

Senja mulai meredup dan kami bergerak menuju penginapan di Iboih.

Setelah selesai melakukan keperluan pribadi, kami lakukan kegiatan makan bersama di tepi pantai.

Kegiatan tersebut terasa sangat menyenangkan karena bentuk kegiatannya “BBQ” dengan sederhana.

Biarpun sederhana, semua terasa sangat berkesan bagi kami yang memang saling berbeda asal domisilinya.

Kami menikmati kebersamaan dan keakraban kami dalam kegiatan tersebut.

Puas berkegiatan, kami pun rehat untuk menghimpun energi menghadapi kegiatan berikutnya.

Matahari mulai membangunkan kami di pagi hari dan kami bersiap untuk snorkeling di Pulau Rubiah.

Letak pulau ini sangat dekat dengan Teupin Layeu.

Perlu diketahui, Rubiah merupakan nama dari istri ulama Teungku Ibrahim (Teungku Chik di Iboih) yang berasal dari Singkil.

Sedikit catatan sejarah mengapa beliau bisa tinggal di pulau tersebut dan dimakamkan di sana.

Awalnya, Siti Sarah Rubiah dan Teungku Ibrahim tinggal bersama di Pulau Weh tersebut.

Namun, karena adanya perbedaan pendapat hingga akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah.

Teungku Ibrahim tetap tinggal di Pulau Weh, sedangkan Siti Sarah Rubiah tinggal di pulau seberangnya bersama santri-santrinya hingga akhir hayatnya.

Makam dari Siti Sarah Rubiah lokasinya persis di pinggir pantai tempat kami snorkeling sehingga mudah untuk dikunjungi.

Tidak hanya menjadi tempat tinggal dari Siti Sarah Rubiah, Pulau Rubiah ini juga sempat dijadikan lokasi karantina para jamaah haji pada masa kolonial Belanda.

Bangunan bekas asrama karantina haji masih ada di atas bukit di pulau tersebut dan dapat dikunjungi.

Tiba di Pulau Rubiah, kami bersiap untuk snorkeling.

Suasana ramai menemani kami di sana.

Sebelum kegiatan dimulai, pemandu kami memberikan petunjuk cara snorkeling yang benar dan standar penyelamatannya.

Setelahnya, kami langsung menuju ke tengah dan melakukan snorkeling bersama.

Sungguh sebuah pengalaman yang berkesan.

Air lautnya yang jernih dengan terumbu karang yang masih terjaga dan ikan-ikan kecil yang dengan cantiknya berenang di antara kami membuat kami terkesima.

Pemandu mengabadikan momen kami dalam banyak foto dan video singkat.

Sungguh pengalaman yang tidak akan kami lupakan.

Tiba waktu siang kami bergerak kembali ke penginapan untuk berkemas dan pindah penginapan di kota.

Namun, sebelum kami tiba di penginapan berikutnya kami singgah di Gua Sarang.

Destinasi wisata terbaik yang wajib dikunjungi.

Lokasi mulut gua yang memang berada di bawah tebing dan digenani air laut tentu menghadirkan pemandangan indah walaupun dengan jalan yang terjal.

Gua ini masih dihuni oleh kawanan burung walet yang dibiarkan hidup liar di sana.

Hingga sebelum senja kami di sana dan kembali ke penginapan di kota untuk menghabiskan malam terakhir kami di sana.

Semua perjalanan ini menjadi mozaik kenangan yang tidak akan kami lupakan sampai kapan pun.

Beberapa testimoni perjalanan kami di antaranya, Nanik: Sangat luar biasa.

Dengan kegiatan tersebut saya dapat lebih mensyukuri keindahan yang Tuhan ciptakan.

Nofi: Kurang lama durasi waktu kegiatannya.

Baca juga: Setelah Tempuh Perjalanan 10.000 Km Naik Motor, Pasutri Asal Aceh Tiba di Nol Kilometer Merauke

Baca juga: Rindu Tercipta dari Pulau Rubiah

Nina: Air lautnya yang unbelievable.

Dea: Sebuah pengalaman baru melakukan snorkeling dan itu sangat berkesan.

Desma: Kota Sabang menyihir kami dengan lautnya yang indah.

Dinda: Kenikmatan makan malam bersama di tepi pantai menjadi pengalaman terbaik saya bersama kawan-kawan di Aceh.

Lain lagi komentar Diah: Kota Sabang sangat direkomendasikan untuk dikunjungi karena lautnya yang bagai surga dunia.

M Sendi: Kota Sabang membuat saya ingin kembali untuk menjelajah lebih banyak tempat di sana.

Begitu pula dengan dosen pembimbing kami, Ibu Rizka Amalia MPd: Keakraban yang terjalin walaupun kami semua berbeda daerah asal membuatnya lebih bermakna.

Lain lagi ciutan mentor kami, Chintia: Bertemu dengan mereka menjadi sebuah pengalaman baru, khususnya tentang budaya lain dari setiap daerah asal mereka.

Kegiatan Kebinekaan: Etnogeografi yang kami lakukan selama tiga hari dua malam di Pulau Weh tersebut sangat memberi kesan mendalam.

Kami yang berasal dari berbagai daerah, datang ke sebuah daerah yang jauh dari daerah asal kami, dan kami belajar mengenai budaya antardaerah asal kawan-kawan kami dan daerah tempat kami tinggal saat ini.

Kami tidak hanya bertukar tempat, tetapi juga bertukar budaya yang berbeda dari daerah asal kami.

Terima kasih kami kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang telah menyelenggarakan Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka ini dalam kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka.

Indonesia negeri yang kaya dengan budaya, tradisi, adat istiadat, serta sejarah secara umum dan khususnya dari masyarakat Aceh sendiri.

Tanggung jawab kita semua menjaganya.

Baca juga: Indonesia Punya Cadangan Emas Terbesar Nomor 5 di Dunia, Ini Lokasinya dari Sabang hingga Merauke

Baca juga: Usai Touring 73 Hari dan Tempuh 10.000 Km, Pasutri dari Aceh Tiba di Nol Kilometer Merauke

Berita Terkini