Laporan Fikar W Eda I JawaTimur
SERAMBINEWS.COM,MALANG - "Izinkan saya menari Guel," kata Amri Vitra di akhir pertunjukan "Saling Silang Kopi Gayo Kopi Malang" di UB Coffee, Malang, Jumat (28/2/2022) lalu.
Ia lalu meraih "upuh ulen-ulen," kain Gayo bertabur motif "emun beriring, emun berangkat, puter tali dll," membalut tubuhnya.
Dengan gerakan yang lembut Amri memainkan kain itu bagai sayap elang dan kibasan ekor burung. Gerakannya lincah. Ekspresinya penuh penghayatan.
Ia bergerak di ruang sempit kedai kopi UB Coffee, mengiringi komposisi penutup dari DuoEtnicholic, kelompok musik yang digawangi Redi Eko Prasetyo dkk.
Pertunjukan senja yang disiarkan live streaming oleh Tipi Kampung itu, benar-benar tuntas, tatkala menjelang adzan magrib.
• Sekda Aceh Ajak ASN Tertib Bayar Pajak
"Hampir tiga tahun saya tidak pernah menari dan berdidong lagi. Ini sungguh pertunjukan menyenangkan, melepaskan rindu," kata Amri Vitra sambil melipat kain "ulen-ulen."
Sore itu, Amri hadir bersama Fadhil Al Farisyi, Udin, Yogi dan beberapa anak muda Gayo lainnya yang sedang menjalani pendidikan di Malang. Amri sendiri kuliah semester enam di UIN Malang.
Amri dan Fadhil mengaku bahwa lama vakum gerak budaya Gayo di sana. Tidak jelas apa sebabnya.
Saat mereka tiba di kota itu pada 2018 dan 2019 iklim seni Gayo terkesan senyap. Berbeda dengan Yogyakarta, lebih agresif, semarak dan ada saja aktivitas-aktivitas seni budaya Gayo di sana.
"Kami rindu sekali," kata Amri.
Kerinduan itu ia alirkan melalui Guel dan didong yang dimainkan Amri dan kawan-kawan di UB Coffee itu tadi.
Sehari kemudian Amri dengan pakaian motif Gayo tampil membawakan "Perau Kucak" dalam acara obrolan di Kampung Cempluk, juga disiarkan Tipi Kampung. Ia tumpahkan tumpukan rindu yang menghimpit dadanya sejak lama, dengan mendendangkan nyanyian Gayo.
• VIDEO - Losmen Indah Sari di Aceh Singkil Terbakar
Amri punya cerita sendiri saat tiba di Malang. Ia berangkat dari kampung halamannya, Ponok Ulung, Bener Meriah, pada 2018.
Sasaran UIN Malang. Sebagai pendatang baru, ia belum punya "tenelen" atau tempat tumpangan di sana. Ia lalu memilih tidur di masjid untuk sementara.