Oleh: Sayed Muhammad Muliady*)
SAAT saya menjadi Anggota Komisi III DPR RI beberapa tahun yang lalu, saya sudah mendapat banyak laporan dan masukan tentang maraknya peredaran narkoba jenis sabu di Aceh.
Dari informasi yang saya dapatkan saat itu, Aceh masih sebagai konsumen dari barang haram yang masuk melalui jalur-jalur tikus di tepi-tepi pantai Aceh.
Barang haram perusak masa depan generasi bangsa ini berasal dari Malaysia, China, dan Iran.
Itu dulu, kira-kira lima atau enam tahun lalu.
Hari ini, pada tahun 2022, saya terhenyak luar biasa.
Saya mendapat informasi dari orang yang sangat terpercaya di pemerintahan, BNN, dan kepolisian, bahwa di Aceh hari ini bukan lagi hanya sebagai konsumen.
Sudah ada beberapa daerah yang menjadi produsen dengan pola-pola mirip home industri.
Dampaknya, desa-desa di Aceh dibanjiri barang haram tersebut, dan sudah bukan menjadi rahasia umum lagi kalau anak-anak muda Aceh, terutama di desa-desa, sudah akrab dengan barang haram ini.
Banyak yang sudah kehilangan kewarasan dan akal sehat serta kematian sia-sia, bahkan sampai pertengahan tahun ini aja sudah hampir 1 ton sabu berhasil diamankan.
Berita soal kekerasan anak kepada orang tua di desa-desa di Aceh karena kecanduan sabu sudah semakin sering terdengar, moralitas dan tingkat pendidikan Aceh turun drastis.
Pihak BNN pun merilis, Aceh adalah peringkat 6 nasional darurat narkoba.
Baca juga: Anggota TNI Ditangkap Karena Jual Narkoba ke Polisi di Medan, Tugas di Kodam Iskandar Muda Aceh
Baca juga: Polisi Ciduk Pengedar Sabu asal Langsa, Kedapatan Transaksi Narkoba di Warung Kopi di Punge Jurong
Toke Sabee dan Sikap Permisif Para Tokoh
Informasi lain, narkoba di Aceh melalui “kartel-kartel” sudah berhasil menyusup ke institusi-instutusi pendidikan, termasuk ke lembaga pendidikan agama.
Di sebagian tempat, para kartel narkoba ini telah berhasil menguasai perangkat lembaga keagamaan, karena ikut serta dalam pembiayaannya.