Berita Subulussalam

Nama Sambo Populer di Subulussalam, Begini Sekelumit Kisah Sultan Daulat Sambo Melawan Belanda

Penulis: Khalidin
Editor: Saifullah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Wali Kota Subulussalam, Drs Salmaza, MAP bersama sejumlah pejabat saat berziarah ke Makam Raja Sultan Daulat Sambo di Dusun Rikit, Desa Namo Buaya, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Selasa (10/11/2020).

Laporan Khalidin I Subulussalam

SERAMBINEWS.COM, SUBULUSSALAM - Saidiman Sambo, putra kelahiran Singgersing, 24 September 1980 akan memimpin Kemukiman Batu-Batu di Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam.

Hal itu setelah Saidiman Sambo berhasil memenangkan pemilihan Imum Mukim Batu-Batu, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam di aula Kantor Camat Sultan Daulat, Rabu (24/8/2022).

Putra ke-10 dari 12 bersaudara dari pasangan alm H Harumsyah Sambo dengan Hj Rohana Kombih ini akan memimpin Kemukiman Batu-Batu periode 2022-2027.

Pilmukim Kemukiman Batu-Batu tersebut berlangsung aman dan terkendali.

Walau demikian  mendapat perhatian serius sejumlah pihak dan masyarakat.

Saidiman yang merupakan guru PNS di SMP Negeri 1 Sultan Daulat meraup 28 dari 36 suara pemilih.

Baca juga: Sultan Daulat Sambo Diusul Jadi Pahlawan Nasional: Penghormatan Atas Perjuangannya Mengusir Penjajah

Sementara rivalnya, Fikri mendapat tiga suara. Terdapat satu suara rusak dan empat pemilih absen atau tidak hadir.

Berdasarkan informasi dari panitia, terdapat sebelas desa yang masuk dalam wilayah Kemukiman Batu-Batu.

Ke-11 desa tersebut adalah, Desa Jambi, Pulo Kedep, Pulo Belen, Singgersing, Desa Namo Buaya, Desa Cipare-Pare, Desa Darul Makmur, Desa Bunga Tanjung, Desa Cipari-Pari Timur, Desa Jabi-Jabi Barat, dan Desa Batu Napal.

Kemukiman Batu-Batu adalah salah satu wilayah bersejarah di Kota Subulussalam dan dikenal dengan Raja Sultan Daulat.

Kemasyhuran Raja Sultan Daulat bukan hanya isapan jempol.

Buktinya, Sultan Daulat Sambo telah dinobatkan sebagai satu-satunya pahlawan daerah yang ada di Kota Subulussalam.

Baca juga: Nama Sambo Bergema di Pemilihan Imum Mukim di Kota Subulussalam, Tapi tak Terkait Ferdy Sambo

Saidiman sendiri masih memiliki 'darah biru' Raja Sambo atau Raja Sultan Daulat dan dia merupakan Imum Mukim ketiga setelah almarhum orangtuanya.

Sambo menarik perhatian sejumlah pihak karena nama tersebut mirip dengan mantan Kadiv Propam, Irjen Pol Ferdy Sambo yang saat ini menjadi pembicaraan hangat seantero negeri.

Pasalnya, jenderal bintang dua tersebut menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan ajudannya sendiri, Brigadir Joshua.

Bukan cuma itu, nama Ferdy Sambo juga dikaitkan dengan bisnis gelap dan praktik perjudian sehingga ia digelari ‘Kaisar 303’.

Ternyata bukan di Jakarta saja nama Sambo bergema.

Di Kota Subulussalam, tepatnya di Kemukiman Batu-Batu, Kecamatan Sultan Daulat pun, nama Sambo juga cukup bergema.

Baca juga: Saidiman Sambo Menangkan Pemilihan Imum Mukim Batu-Batu Sultan Daulat Kota Subulussalam

Tapi jangan salah sangka, Sambo yang dibicarakan di Subulussalam itu tidak punya hubungan apa pun dengan Ferdy Sambo, apalagi dengan kasus pembunuhan Brigadir J.

Soalnya, nama Sambo yang hangat bicarakan warga Kemukiman Batu-Batu tersebut adalah Saidiman Sambo.

 ambo di Kota Subulussalam berkaitan pula dengan seorang tokoh yang dinobatkan menjadi pahlawan daerah.

Dia adalah Sultan Daulat bermarga Sambo. 

Sultan Daulat Sambo adalah salah satu nama raja yang tersohor di Bumi Kota Subulussalam.

Nama Sultan Daulat Sambo telah resmi dinobatkan sebagai pahlawan daerah, termasuk ditabalkan menjadi nama salah satu kecamatan di Kota yang mekar 2 Januari 2007 tersebut.

Baca juga: Komisi III DPR Pertanyakan ke Kapolri, Mulai dari Kerajaan Sambo hingga Konsorsium 303

Sultan Daulat diambil dari nama seorang raja bermarga Sambo dan dikenal sebagai pahlawan sewaktu penjajahan dahulu.

Dialah Sultan Daulat Sambo yang saat ini sudah dijadikan sebagai Pahlawan Daerah Kota Subulussalam.

Saat ini, Sultan Daulat Sambo sedang diusulkan menjadi Pahlawan Nasional dikarenakan banyaknya kontribusinya terhadap kemerdekaan Bangsa dan Negara Indonesia.

Gelar Pahlawan Daerah ini sebagai bentuk penghormatan atas perjuangannya mengusir penjajah di Aceh, khususnya Negeri Sada Kata ini

 Berikut sejarah Sultan Daulat Sambo sebagaimana dituturkan Ustaz Sabaruddin Siahaan, SPdI, Ketua Baitul Mal Kota Subulussalam.

Dikatakan Ustaz Sabaruddin, pada tahun 1940, seluruh Tanoh (Tanah) Singkil (Kabupaten Aceh Singkil dan Pemko Subulussalam sekarang), sudah jatuh di tangan Belanda.

Baca juga: Ditetapkan Jadi Tersangka, Ferdy Sambo Minta Anak-anaknya Melanjutkan Cita-citanya Menjadi Polisi

Termasuk seluruh kerajaan kecil, baik yang berada di sepanjang Lae Cinendang seperti Kerajaan Tanjong Mas, Silatong, Seping, dan lainnya.

Begitu juga permukiman yang berada di sepanjang Lae Sungraya seperti Kerajaan Tualang, Binanga, Pasir Bello dan lainnya, sudah tunduk kepada Belanda.

Satu-satunya kerajaan yang tidak tunduk kepada penjajah Belanda adalah Kerajaan Batu-Batu yang dipimpin oleh Sultan Daulat Sambo.

Sultan Daulat Sambo adalah kawan akrab Raja Tanah Batak, Sisingamangaraja XII. Sang Raja Batak pernah berkunjung ke Kerajaan Batu-Batu, begitu pula sebaliknya.  

Raja Sisingamangaraja XII terkenal sangat keras menentang penjajah Belanda. Baginda gugur di daerah Dairi setelah berperang 30 tahun lamanya.

Rupanya semangat juang sahabatnya inilah membuat Sultan Daulat Sambo tetap bersikukuh melawan penjajahan Belanda dan tidak mau tunduk seperti raja-raja lain di sekitarnya.

Baca juga: VIDEO Putri Candrawathi dan Ferdy Sambo Tipu Kompolnas Hingga Pengacara

Sejak kecil, Raja Batu-Batu ini telah belajar ilmu siasat perang kepada ayahnya Sutan Bagindo Sambo.

Nama asli Sutan Bagindo adalah Raja Sarah Sambo.

Namun karena orang-orang Minangkabau yang lebih dahulu mendiami Lae Raso kalah bersiasat, maka mereka takluk kepada Raja Sarah dan memberinya gelar Sutan Bagindo.

Selain ahli ilmu siasat perang, Sultan Daulat juga ahli silat, kebal, dan megegoh (memiliki tenaga yang luar biasa).

Ia mampu mengangkat rumah panggung seorang diri dan menyembelih kerbau seorang diri tanpa perlu diikat.

Membangun benteng

Sebelum bertolak pulang dari kunjungan persahabatan ke Bakkara, Raja Sisingamangaraja XII sempat mengingatkan bahwa Belanda pasti menyerang Kerajaan Batu-batu kalau Sultan Daulat Sambo tidak tunduk kepada mereka.

Baca juga: VIDEO Ramai Diperbincangkan, Ini Arti Dari "Konsorsium 303" yang Menyeret Nama Ferdi Sambo

Justru itu, sahabat dekatnya itu menyarankan agar sepulang dari kunjungannya ini segera membangun benteng pertahanan.

Sultan Daulat Sambo pun membangun benteng dengan bantuan tenaga ahli dari Kerajaan Aceh Darussalam.

Benteng tersebut dibuat dengan bahan baku kayu berbentuk persegi empat dan pintu darurat dibuat di setiap sudut benteng.

Di tengah-tengahnya berdiri istana raja berbentuk rumah adat.

Untuk melindungi dari serangan musuh, maka benteng tersebut dilengkapi dengan meriam yang pelurunya terbuat dari besi buatan pandai besi kerajaan. 

Luas benteng tersebut melingkupi Kampong Namo Buaya, Jambi, Pulo Bellen, dan Pulo Keddep.

Baca juga: TERUNGKAP Kamaruddin Sebut Ferdy Sambo Sudah Nikah Siri dengan si Cantik, Siapa Wanita Itu?

Perang melawan Belanda

Berbagai bujuk rayu dilancarkan untuk meluluhkan hati Sultan Daulat Sambo agar mau takluk dan bekerja sama dengan Belanda.

Namun Sang Sultan tetap teguh pendirian.

Akhirnya Belanda mengutus Raja Binanga untuk memberi ancaman kepada penguasa Batu-Batu itu.

Berita yang disampaikan bahwa bila Sultan Daulat Sambo tidak juga menyerah maka Belanda akan menyerang.

Sebagai tanda ancaman, Raja Binanga mengirim satu muk biji harum (biji bayam) yang maksudnya bahwa bila tidak segera menyerah kepada Belanda, Kerajaan Batu-Batu akan diserang dengan membawa tentara yang banyak. 

Mereka yakin ancaman itu pasti membuat Kerajaan Batu-Batu gentar.

Baca juga: Sambi Menangis, Ferdy Sambo Titip Pesan pada Kak Seto, Minta Anak-anaknya Ambil Hal Positif Darinya

Namun ternyata ancaman Belanda melalui Raja Binanga itu tidak membuat ciut nyali raja dan rakyat Batu-Batu.

Sang Sultan malah mengirim kembali kepada Raja Binanga enam muk biji yang sama.

Maksudnya enam kali lipat pun banyaknya tentara Belanda itu, Kerajaan Batu-batu siap menghadapinya.

Akhirnya pada tahun 1901, Belanda pun mulai berancana melancarkan serangan ke Kerajaan Batu-batu.

Setelah mendapat  persetujuan dari Kutaraja (Banda Aceh sekarang), maka Pemerintah Belanda di Kota Singkil mulai mempersiapkan keperluan perang.

Mereka menyiapkan berupa logistik, senjata dan mesiu serta serdadu khusus yang terkenal dengan nama Marsose serta alat transportasi berupa bungki bellen (sampan besar).

Baca juga: VIDEO Kapolri Tiba Gedung DPR, Bahas Kasus Brigadir J Hingga Kerajaan Sambo

Berangkatlah serdadu Belanda dengan dipandu oleh orang-orang pribumi yang telah memihak kepada Belanda.

Mereka terus mendayung di Lae Sung Raya menuju hulu sungai, kemudian belok ke Lae Batu-Batu.

Kedatangan musuh itu sebenarnya telah tercium oleh pasukan Batu-Batu.

Mereka membuat jebakan dengan cara melukai (menebang tidak sampai putus pohonnya) beberapa pohon besar di sekitar Lae Batu-Batu.

Ketika tentara Belanda melintas di Lae Batu-Batu, pohon-pohon besar itu pun ditumbangkan menimpa pohon-pohon kecil dan mengenai pasukan Belanda tersebut.

Seluruh pasukan Belanda pun mati tenggelam.

Penyerangan Belanda untuk menaklukkan Kerajaan Batu-Batu kali pertama ini gagal total dan menelan kerugian yang amat banyak.

Gagalnya penyerangan Belanda untuk menaklukkan Kerajaan Batu-Batu dengan kekalahan yang telak merupakan tamparan yang sangat memalukan.

Pemerintah Belanda Di Kota Singkil pun melakukan persiapan yang lebih matang, persenjataan yang lebih lengkap dan jumlah pasukan yang lebih banyak.

Kerajaan Binanga direncanakan sebagai pangkalan untuk menyerang Batu-Batu lewat darat.

Baca juga: Apa Itu Konsorsium 303 yang Menyeret Irjen Ferdi Sambo? Ini Arti Hingga Respon Polri Soal Isu Judi

Setelah menelusuri jalan setapak, sampailah serdadu Belanda di dekat benteng Batu-Batu. Pertempuran pun berlansung dengan sengit.

Sayangnya meriam Batu-Batu hanya bisa menembak ke satu arah, tidak bisa digeser ke arah lain.

Mengetahui kelemahan itu, pasukan Marsose Belanda segera memanjat benteng dan melemparkan obor ke atap rumah-rumah yang terbuat dari ijuk. Kebakaran besar pun terjadi di dalam benteng.

Melihat kondisi yang tidak menguntungkan itu, panglima perang Batu-Batu, Siti Ambiya (adik kandung Sultan Daulat Sambo), memerintahkan segera membuka pintu darurat.

Pertempuran jarak dekat pun berkecamuk.

Dentingan suara pedang bercampur baur dengan suara jeritan anak-anak dan kaum wanita.

Satu demi satu korban berjatuhan, darah para syuhada membasahi bumi pertiwi.

Panglima Saman Tinambunan, salah seorang panglima yang yang diandalkan Kerajaan Batu-batu setelah membunuh sekian banyak serdadu Belanda.

Karena keletihan akhirnya dapat ditangkap dan dibunuh dengan cara ‘dineknekken’ (dibenamkan di sungai), lalu dimakamkan di muara Lae Batu-Batu.

Siti Ambiya juga syahid bersama panglima lainnya.

Tetapi Sultan Daulat Sambo lolos dari sergapan Belanda.

Baca juga: VIDEO Kapolri Tiba Gedung DPR, Bahas Kasus Brigadir J Hingga Kerajaan Sambo

Setelah perlawanan dapat dilumpuhkan, pasukan Belanda pun membumi hanguskan Kerajaan Batu-Batu.

Perbuatan itu ternyata melanggar aturan.

Kapten Koler, komandan pasukan Belanda di Dairi yang tiba pada sore harinya sempat melihat bagaimana benteng dan rumah-rumah dibakar sedemikian rupa, mengajukan protes ke Mahkamah Militer di Kutaraja.

Setelah disidangkan beberapa kali akhirnya pengadilan menjatuhkan hukuman gantung kepada komandan pasukan Belanda yang memimpin penyerangan ke Kerajaan Batu-Batu dan membumihanguskannya.

Bergerilya dan berdamai

Dengan sisa-sisa laskar yang masih selamat dalam perang Batu-Batu, Sultan Daulat Sambo didampingi oleh Panglima Said dan Panglima Cimpa, terus melakukan perjuangan dengan cara bergerilya.

Selama empat tahun yakni tahun 1902-1906 Sultan Daulat, bergerilya dari hutan ke hutan.

Membuat kekacauan dan melakukan penghadangan terhadap pasukan patroli Belanda.

Pemerintah Belanda merasa kewalahan menghadapi pasukan gerilya Sultan Daulat Sambo.

Baca juga: 24 Personel Polri Dimutasi Buntut Terlibat Skenario Kasus Ferdy Sambo, Berikut Daftar Lengkapnya

Berbagai macam cara dilakukan agar dapat menangkap Raja Batu-Batu itu, namun tidak membuahkan hasil.

Akhirnya Pemerintah Belanda mengajak Sultan yang pantang menyerah itu berdamai.

Tawaran itu tidak serta merta diterima oleh Sang Sultan.

Berbagai upaya dilakukan untuk membujuk, akhirnya hati Sultan luluh juga.

Maka pada tahun 1907, dilakukanlah penandatanganan perjanjian damai antara Pemerintah Belanda dengan Sultan Daulat Sambo di Kutaraja.

Isi perdamaian itu adalah bahwa Sultan Daulat Sambo dan seluruh laskar perangnya bersedia keluar dari hutan dan menghentikan perlawanan bila Pemerintah Belanda bersedia memenuhi persyaratan yang diajukan.

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh Belanda antara lain; Pemerintah Belanda membangun rumah mirip istana Raja Batu-batu yang telah dimusnahkan pada perang Batu-Batu, lengkap dengan perabotnya.

Kemudian, Pemerintah Belanda juga membangun masjid di dekat istana itu.

Kemudian, Pemerintah Belanda juga harus membebaskan seluruh anggota laskar Batu-Batu yang ditawan.

Baca juga: Komnas HAM: Keterangan Istri Ferdy Sambo Akan Diserahkan Ke Penyidik dan Dibuka di Pengadilan

Hampir tiga tahun lamanya, Sultan Daulat Sambo bersabar menunggu perjanjian itu terealisasi, namun tak kunjung juga kecuali poin yang ketiga.

 Akhirnya sang “Singa” itu kembali masuk hutan.

Pemerintah Belanda kembali merayu agar Sultan keluar hutan dan berjanji sesegera mungkin mewujudkan isi perjanjian yang belum dipenuhi.

Kali ini Sultan Daulat tak mau terkecoh lagi.

Dia merasa bahwa perjanjian damai itu hanyalah tipu muslihat belaka.

Pada tahun 1912, semua isi perjanjian itu akhirnya dipenuhi juga.

Tetapi Sultan Batu-Batu itu sudah kadung tersinggung dan merasa terhina sehingga perjuangan gerilya terus dilanjutkan.

Dengan segala upaya Pemerintah Belanda terus merayu Sultan Daulat Sambo melalui rekan-rekannya raja-raja tetangga, ditambah lagi tubuh yang sudah mulai lemah dimakan usia.

Akhirnya Sultan “Singa Tanoh Singkil” itu pun kembali ke rumahnya.

Pada tahun 1915, Pemerintah Belanda melantik Teuku Kamaruddin Sambo menggantikan ayahnya sebagai Raja Batu-batu.

Kemudian pada tahun 1929, Sultan Daulat Sambo pahlawan kusuma bangsa itu dipanggil menghadap Tuhannya dan dimakamkan di pinggir Lae Batu-Batu.

Baca juga: Polisi Dalami Isu "Kekaisaran Sambo", Komisi III DPR Panggil Kapolri

Sebagai penghormatan kepada Sultan Daulat Sambo yang telah berjuang demi tanah airnya tercinta, Wali Kota Subulussalam, H Merah Sakti, SH melalui surat keputusan telah mengangkat beliau sebagai Pahlawan Daerah.

Penobatan Pahlawan Daerah terhadap sosok Sultan Daulat Sambo setelah proses Paripurna di DPR Kota Subulussalam.

Kini masyarakat pun berharap agar Pemerintah Aceh mengakui Sultan Daulat Sambo sebagai Pahlawan Aceh.

Juga mengusulkan kepada Presiden RI agar Sultan Daulat Sambo diangkat sebagai Pahlawan Nasional sebagaimana sahabatnya Raja Sisingamangaraja XII. 

Karena sebagaimana kata bijak Soekarno, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya.(*)

Berita Terkini