Wawancara Eksklusif

'Semangat Orang Aceh Luar Biasa'

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tun Dr Abdul Daim bin Zainuddin, Politikus Senior Malaysia

TUN Dr Abdul Daim bin Zainuddin adalah satu dari sedikit politikus senior yang dimiliki Malaysia saat ini.

Di usianya yang menginjak 84 tahun, pria kelahiran Alor Setar, Kedah, 29 April 1938 ini, masih setia mencurahkan pikirannya untuk negara.

Menteri Keuangan Malaysia periode 1984-1991 ini adalah sahabat sejati dari politikus Malaysia berdarah Aceh, Tan Sri Sanusi Junid.

Sejarah politik Malaysia mencatat, Daim dan Sanusi Junid menjadi dua serangkai di balik kiprah politik sang legenda, Tun Dr Mahathir Mohamad.

Tun Daim juga sangat terkenal di kalangan warga Aceh di Malaysia.

Dia dikagumi karena menjadi salah satu elite yang paling sering berkunjung ke Aceh.

Saking dekatnya, membuat sebagian warga Aceh di Malaysia menyangka Tun Daim memiliki hubungan darah dengan Aceh.

Penasaran dengan dugaan itu, pada lawatan ke Malaysia beberapa hari lalu, Pemimpin Redaksi Harian Serambi Indonesia, Zainal Arifin M Nur menemui tokoh keuangan dan perekonomian Malaysia ini.

Berikut petikan wawancara dengan Tun Daim yang diterjemahkan oleh Fahmi M Nasir, Mahasiswa Program Doktoral Universitas Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM):

Baca juga: UMMAH Sepakati Kerja Sama dengan UPSI Malaysia, Pertukaran Mahasiswa Hingga Kolaborasi Penelitian

Baca juga: Najib Razak Tulis Surat Perpisahan untuk Keluarga, Pendukung Mantan PM Malaysia Menangis

Assalamualaikum, Tun, perkenalkan saya Zainal Arifin M Nur, Pemimpin Redaksi Harian Serambi Indonesia di Aceh.

Alhamdulillah, surat kabar kami yang berdiri pada tahun 1989 dulu, hingga saat ini masih menjadi yang terbesar di Aceh.

Kita masuk ke soalan pertama, bagaimana kondisi kehidupan dan ekonomi rakyat Malaysia semasa pandemi dan selepas pandemi?

Saya sudah bersara (pensiun), jadi pandangan saya ini bukanlah pandangan secara resmi.

Tapi kalau kita baca berbagai berita, keadaannya bisa dikatakan kurang baik.

Bukan saja ekonomi, tetapi kestabilan politik pun kurang sehingga ketika kedua masalah ini terjadi, tentunya secara otomatis masalah-masalah lain pun lebih sukar untuk diselesaikan.

Hal ini karena apapun masalahnya, penyelesaiannya itu memerlukan strong leadership atau kepemimpinan yang kuat.

Jadi nampaknya masalah Malaysia sekarang ini adalah tidak stabilnya keadaan ekonomi dan kurang stabilnya keadaan politik.

Nama Tun Daim, dielu-elukan oleh orang Aceh yang tinggal di Malaysia, sebenarnya bagaimana hubungan Tun Daim dengan Aceh?

Orang Aceh banyak di Kedah, terutamanya di Yan.

Baca juga: Investor Malaysia Kembangkan Tanaman Bahan Baku Pembuatan Dashboard Mobil di Aceh

Baca juga: Cara Relawan SUBA Bantu Warga Aceh di Malaysia, ‘Seudeukah Ureung Saket, Seudeukah Ureung Saket’

Di sekolah saya pun memang ada kawan-kawan yang merupakan orang Aceh.

Bapak saya pernah kerja di Yan.

Jadi sudah pasti kenal sama orang Aceh.

Bapak Tan Sri Sanusi Junid pun duduk (tinggal) di Yan.

Jadi besar kemungkinan Bapak saya kenal dengan Bapaknya Sanusi.

Bila saya kenal Sanusi memang ramai lah saya kenal orang Aceh yang lain.

Jadi boleh dikatakan bahwa saya memang kenal ramai orang Aceh di sekolah, belajar bersama, bermain bola bersama.

Di antara orang Aceh yang paling terkenal di sini adalah Tan Sri Hanafiah Hussain.

Dia adalah orang Melayu dan juga orang Malaysia pertama yang menjadi akuntan.

Dia baik dan rapat dengan saya.

Lalu ada Sanusi, ada juga Dato’ Feisol.

Jadi lama saya sudah kenal orang Aceh, saya juga banyak baca sejarah tentang Aceh.

Saya kagum dengan semangat yang dimiliki oleh orang Aceh sejak dulu, semangat orang Aceh memang luar biasa.

Jadi ketika tsunami datang saya pun tergerak hati untuk membantu orang Aceh.

Saya juga membantu karena melihat model pendidikan di Aceh dalam bentuk pesantren moderen yang menggabungkan pendidikan agama dan umum ini sangat baik, karena ia memberikan keseimbangan untuk meraih kejayaan di dunia dan di akhirat.

Bagi saya ini sangat baik karena memang sudah sewajarnyalah kita harus berusaha untuk berjaya di dunia dan akhirat.

Kalau kita hanya berfikir untuk berjaya di akhirat saja, maka di dunia kita hanya akan selalu tertinggal dan menjadi mangsa (korban) yang disebabkan oleh kemiskinan.

Beberapa waktu lalu, Tun Daim datang ke Aceh, bagaimana hasilnya dan bagaimana kelanjutan dari kunjungan itu?

Saya datang nak berbincang. Kalau boleh berbincang dengan Gubernur Aceh dan pihak terkait lainnya tentang bagaimana saya boleh bagi pandangan untuk meningkatkan ekonomi Aceh.

Aceh memang banyak potensi dan kaya dengan berbagai aset yang telah Allah anugerahkan untuk bumi Aceh.

Jadi saya ingin memberi pandangan bagaimana produk-produk dari Aceh bisa diekspor ke luar negara.

Di Port Klang ada satu jeti yang khusus telah bersedia untuk menampung semua barang-barang terutama produk pertanian dan perikanan yang dibawa dari Aceh untuk dipasarkan di Malaysia dan ke berbagai negara lain.

Saya telah melihat sendiri jeti ini bersama dengan Datuk Mansyur dan beberapa peniaga Aceh yang lain.

Di sini, berdasarkan informasi yang saya terima, orang Aceh lebih kurang ada sekitar 600 ribu orang, kedai yang dimiliki dan diusahakan oleh orang Aceh ada sekitar 25 ribu kedai semuanya.

Jadi ini adalah potensi yang besar untuk melakukan usaha sama antara Aceh dan Malaysia untuk membangunkan negara dan daerah masing-masing.

Kerja sama yang rapat juga perlu dilakukan dengan orang Melayu khususnya dalam bidang ekonomi karena kelemahan orang Melayu adalah dalam bidang ekonomi.

Sewaktu Tan Sri Sanusi masih ada, Tun bisa mengenal Aceh lebih dekat. Nah sekarang sepeninggal Tan Sri, hubungan Tun dengan orang Aceh bagaimana?

Hubungan saya baik dan rapat. Sekarang saya mengenal Datuk Mansyur Usman dan lain-lain.

Saya sudah lama tak jumpa Dato’ Feisol, dia pun umur macam saya lah.

Rasanya lebih tua satu tahun daripada saya.

Tun mungkin melihat hubungan Malaysia dengan Indonesia pada masa ada Tun Mahathir, Tun Daim dan Tan Sri Sanusi Junid, itukan hubungannya bagus sekali. Kemudian hubungan tersebut sedikit demi sedikit renggang dan sekarang kelihatannya kurang harmonis. Bagaimana ini seharusnya ditangani kalau ada kerenggangan hubungan ini?

Pada masa dulu, Sanusi dan saya kenal menteri-menteri di Indonesia. Kita kenal sebagai sahabat.

Kita selalu berkomunikasi baik melalui telepon ataupun dengan makan bersama secara informal.

Kami datang ke sana, kemudian mereka datang ke sini.

Jadi kalau ada masalah kami terus telepon saja sebagai seorang sahabat.

Alhamdulillah, semua masalah bisa kami selesaikan dengan baik.

Akan tetapi bila Tun Mahathir pensiun, kelihatannya hubungan ini sedikit renggang, padahal sebenarnya antara Indonesia dan Malaysia tidak boleh berpisah.

Jadi saya merasa sedih jika hubungan kedua negara ini tidak rapat.

Padahal jika Indonesia dan Malaysia rapat hubungannya, maka secara otomatis ASEAN pun akan kuat.

Banyak keturunan Aceh yang sukses di Malaysia. Sejauh yang Tun tahu apakah orang-orang Aceh di sini ada memikirkan untuk ikut memajukan Aceh lagi?

Itu terpulang pada mereka masing-masing.

Cuma yang saya amati di sini, orang Aceh memiliki kelebihan.

Ada kawasan-kawasan di mana orang Melayu tidak boleh masuk, orang Aceh boleh masuk.

Jadi melihat hal ini, saya yakin orang Aceh boleh memajukan daerah mereka.

Salah satu caranya ialah dengan mengekspor produk-produk pertanian, perikanan dan penternakan Aceh ke pasaran di luar Aceh, ke pasaran internasional.

Tentu hal ini akan memberikan kontribusi yang besar bagi ekonomi Aceh.

Untuk mampu melakukan ini sudah tentu perlu kepada berbagai kepakaran. (*)

Baca juga: Investor Malaysia Programkan Tanam Kenaf 10.000 Ha di Aceh

Baca juga: Penerbangan ke Malaysia Tunggu Juknis

Berita Terkini