"Jangan sampai, belum tiba saatnya bayi sudah dikasih pisang atau kanji, hanya karena menganggap bayi yang nangis itu lapar.
Padahal, bayi menangis belum tentu karena lapar. Bisa saja karena popoknya basah, dia gerah, atau karena digigit serangga," kata Tasha.
Ia juga menyinggung tentang tradisi "peucicap" dalam masyarakat Aceh yang terkadang dalam menimbulkan risiko kesehatan bagi si bayi.
Misalnya, kepada bayi diberikan madu oleh beberapa orang yang hadir. Berikutnya diberikan secuil kurma, anggur, pisang, jeruk, dan lainnya. Padahal, alat pencernaan si bayi belum siap untuk itu.
Baca juga: Berikut, Ketahuilah Enam Hal yang Perlu Diperhatikan Saat Menyimpan ASI Perah di Kulkas
"Alangkah baiknya, untuk menghindari faktor risiko, kepada si bayi pada masa 'peucicap' diberikan saja air susu ibunya. Ini lebih bermanfaat bagi si bayi dan tidak menimbulkan risiko kesehatan," ujar dr Tasha.
Ke depan, kata Tasha, Unicef Aceh akan membahas soal 'peucicap' ini dengan Majelis Adat Aceh (MAA) dan pihak terkait agar tradisi ini tetap bisa dilakoni dengan tanpa menimbulkan risiko bagi kesehatan bayi.
Tasya mengingatkan bahwa perlindungan dan dukungan menyusui harus dilakukan sejak dini.
Dukungan tersebut, katanya lebih lanjut, harus melibat lintas sektor. Jadi, menyusui itu bukan cuma urusan istri, melainkan juga melibatkan peran suami, bahkan kakek dan nenek si bayi.
"Di Aceh, di mana peran ulama sangat menonjol dan tausiahnya dipatuhi, program menyusui ini pun perlu mendapat dukungan atau bahkan fatwa dari ulama agar ibu-ibu di Aceh menyusui hingga dua tahun sebagaimana hadis Nabi Muhammad," kata Tasha. (*)