Opini

Dilema Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

YUSRIZAL HASBI, Dosen Fakultas Hukum dan Kepala Pusat Studi Hukum, Sosial, dan Politik Universitas Malikussaleh Lhokseumawe

Selanjutnya, 27 Persen dari kasus kekerasan seksual terjadi di jenjang perguruan tinggi berdasarkan catatan Komnas Perempuan (2015-2020).

Lahirnya Permendikbudristek No 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan PT, sebagai sinyal bahwa perguruan tinggi berada pada titik nadir darurat kekerasan seksual.

Sejatinya bahwa kekerasan seksual adalah pelanggaran etika yang memerlukan penanganan serius oleh pimpinan PT dan insan akademik lainnya.

Merujuk Pasal 57 Permendikbudristek PPKS, disebutkan bahwa PT harus membentuk satuan tugas PPKS di PT dalam tempo maksimal satu tahun sejak peraturan diterbitkan pada 3 September 2021.

Baca juga: (FULL) Aceh Darurat Kekerasan Seksual, Hukuman Apa Yang Setimpal Untuk Predator

Peran Satgas memang sangat strategis bagi pembinaan warga kampus untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

Namun di sisi lain, kelemahan satgas PPKS dinilai kurang berani untuk memproses aduan kekerasan seksual bila pelakunya adalah pimpinan atau pejabat struktural PT.

Posisi korban Jika berpijak pada konstitusi yang bersifat ideal-filosofis, maka pencegahan dan pendidikan kekerasan seksual bekerja untuk membangun kesadaran tentang kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender, kesetaraan disabilitas, pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi.

Tentunya, sangat diperlukan bentuk dukungan dan layanan khusus bagi mereka yang terkena dampak kekerasan seksual.

Pemulihan keseimbangan seyogianya menjadi tanggungjawab pimpinan PT, sebagai bentuk perlindungan bagi mereka yang menjadi korban atau berpotensi menjadi korban.

Banyak korban kekerasan seksual di PT tidak mau beralih ke sistem peradilan pidana.

Para korban lebih cenderung diam dan mungkin takut akan skeptisisme aparat penegak hukum dan institusi PT jika laporan kekerasan seksual tersebut dilaporkan.

Bagi mahasiswa kekerasan seksual, di samping dapat menyebabkan gangguan psikologis juga mengganggu perkuliahan mereka.

Dalam relasi kuasa, sering kali pelaporan kekerasan seksual harus berakhir dengan dugaan pencemaran nama baik kepada korban.

Baca juga: Komnas HAM Sebut Brigadir J Lakukan Kekerasan Seksual ke Putri Candrawathi, LPSK Bongkar Kejanggalan

Pada umumnya, otoritas PT baru memproses laporan, jika kejadian tersebut sudah tersiar ke publik melalui media sosial.

Sikap PT seperti ini, akan semakin menyuburkan praktik kekerasan seksual apabila tidak ditangani secara serius.

Halaman
123

Berita Terkini