Tidak cukup dengan penduduk lelaki dan perempuan dewasa, perang Van Heutsz juga menghabiskan anak-anak yang tak berdosa.
Kemarahan kepada Van Heutsz tidak hanya terjadi di Indonesia.
Di negerinya, Belanda, ia juga menjadi pahlawan yang kontroversial.
Semenjak dimulainya pembangunan monumen penghormatan untuknya di kawasan Amsterdam Selatan, telah terjadi protes yang luar biasa.
Peresmiannya oleh Ratu Wilhelmina pada tahun 1935 sama sekali tidak menyurutkan kemarahan publik, terutama dari kelompok kiri di Belanda.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (III) - Ali Mughayatsyah dan Detente 235 tahun
Monumen yang tingginya 18,7 meter yang dibangun dengan uang kumpulan dari para marsouse dan KNIL yang pernah berinetraksi dengannya.
Monumen itu berbentuk patung perempuan, memegang lembaran hukum, dan sejumlah relief.
Kebencian sebagian publik Belanda menyebabkan dilakukannya sejumlah tindakan vandalisme, pengurusakan, peledakan, dan carat coret- yang pesannya mengandung nada protes yang cukup kental.
Pada tahun 2004, nama monumen itu dirubah menjadi monumen Monument Indië-Nederland, 1596-1949 (monumen Indonesia Belannda 1596-1949).
Sampai dengan tahun 2011, paling kurang telah terjadi antara 5-6 kali vandalisme, walaupun namanya telah diubah namanya menjad monumen persahabatan Belanda dan Indonesia.
Mereka yang marah kepada Van Heutsz di Belanda, memberi gelar kepadanya “de sluger van Atjeh” (pembantai Aceh, tepatnya pembantai rakyat Aceh).
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (IV) - Alaiddin Riayat Syah, Sang Penakluk dan Armadanya
Kenapa tidak, sekalipun pasca menyerahnya Sultan Mohammad Daud (raja Aceh terakhir), pada tahun 1903, jumlah korban perang Aceh semenjak ia menjadi penguasa Aceh cukup banyak.
Seperti ditulis oleh Van’t Veer (1973),k orban perang Aceh selama Van Heutsz berkuasa (1899-1903) gubernur Jenderal Hindia Belanda (1904-1909) mencapai 21.865 orang, dengan kematian di pihak Belanda 508 serdadu.
Ini adalah jumlah yang cukup besar, bahkan hampir setengah dari jumlah kematian pada perang besar awal dan berbagai ekpedisi lanjutannya sebelum tahun 1900.
Van’t Veer bahkan menyebutkan sepuluh tahun van Heutsz memerintah Aceh dan Hindia Belanda sebagai masa sepuluh tahun Aceh berdarah.