Kupi Beungoh
Aceh dan Kepemimpinan Militer (III) - Ali Mughayatsyah dan Detente 235 tahun
Pygmalion Mughayatsyah tidak berakhir dengan kematiannya, akan tetapi terus berlanjut berabad-abad kemudian.
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
PYGMALION yang dialami oleh Ali Mughayatsyah tidak lain dari cara berpikir dan bertindak.
Pikirannya berlanjut dalam kata dan menjadi kebiasaan.
Keberlanjutan kebiasaan akhirnya menjadi karakter yang menghasilkan tindakan dan perbuatan.
Uniknya, watak dan harapan tidak hanya berhenti pada Ali Mughayatsyah saja.
Apa yang dipikirkannya dikomunikasikan kepada pasukannya dan rakyat Aceh pada masa itu, dan akhirnya menjadi energi besar untuk sebuah pergumulan nasib yang melahirkan kerajaan besar Aceh-Darussalam.
Pygmalion Ali Mughayatsyah tidak berakhir dengan kematiannya, akan tetapi terus berlanjut berabad-abad kemudian.
Perilaku “can do” Mughayatsyah kemudian berkelanjutan tumbuh subur terutama pada anaknya, Alaiddin Riayatsyah dan buyutnya Sultan Iskandar Muda.
Perang yang dimulai oleh Mughayatsyah berlanjut menjadi perang antara Aceh dan Portugis yang berlangsung selama 120 tahun di bawah 12 orang raja-raja Aceh (Lombard 1991).
Perang Aceh-Portugis berlangsung di bawah kekuasaan dua raja “tentara” itu setelah Mughayatsyah tidaklah terjadi secara random.
Ekspektasi Mughayatsyah tentang Kerajaan Aceh dengan musuh utama Portugis, terinternalisasi pada Alaiddin Riayatsyah dan Iskandar Muda.
Ekpsektasi dan watak itu menjadi bagian dari konsep diri mereka berdua.
Kedua sultan itu berpikir dan bertindak sesuai dengan keyakinan internal yang mereka warisi dan miliki.
Hasilnya, perang panjang Aceh Portugis, ekspansi kerajaan Aceh, hubungan diplomatik dengan kerajaan Belanda, Inggris, dan Perancis, dan aliansi pertahanan dan perdagangan dengan kerajaan Ottoman di Turki.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (I) - Dari Klasik Hingga Kontemporer
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (II) - Ali Mughayatsyah dan Efek Pygmalion
Payung Keamanan untuk Aceh