Oleh Teuku Muttaqin Mansur*)
Kamis, 17 November 2022, sekira pukul 9.30 WIB, dari ujung telpon Bang Rustam Efendi mengabari.
Dekpon (sebutan akrab beliau kepada saya), “Pak Bad, ka geutinggai tanyoe, ban sat nyoe, Ayah lon peugah, katanya”.
Pak Bad, baru saja meninggal dunia, saya baru diberitahukan ayah, kata Bang Rustam dari ujung telpon sambil buru-buru mengakhiri pembicaraan.
Ternyata, Ayah Bang Rustam adalah adik kandung dari almarhum Pak Bad (Haji Badruzzaman Ismail, S.H., M.Hum).
Ia dikenal sebagai tokoh adat, tokoh Aceh, tokoh Majelis Adat Aceh (MAA) yang meninggalkan kita untuk selama-lamanya.
Bang Rustam, adalah kolega saya di Fakultas Hukum, Kepala Bagian Umum di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala saat ini.
Kabar duka meninggalnya Pak Bad dengan cepat menyebar melalui berbagai platform media sosial, saya juga mengabari beberapa kolega secara langsung, serta mengirimkan ke beberapa grup utama yang saya yakin cukup mengenal sosok beliau.
Saya juga menuliskan kabar duka tersebut di status Whatsapp. Sejumlah kolega mengucapkan duka yang mendalam.
Beberapa wartawan yang sempat melihat status saya, mengirimkan pesan melalui jaringan pribadi (japri) menanyakan kebenaran kabar duka tersebut.
Saya sampaikan, benar, dan sepengetahuan saya beliau sakit karena usia senja, sebab tiga (3) minggu yang lalu, saya, Pak Nasruddin Hasan (Ketua Dewan Pengawas Geuthee Institute), dan Tunn Masthur Yahya, S.H., M.H (Ketua Komisioner Aceh) sempat menjenguk saat masih terbaring di ICCU Rumah Sakit Kesdam.
Baca juga: Sosok Badruzzaman Ismail di Mata Tarmizi A Hamid: Begitu dalam Ilmunya tentang Adat
Beberapa hari yang lalu, sebelum meninggal dunia, menurut keluarga Pak Bad sudah berada dirumahnya di Jln.Sudirman VII, Geucheu Iniem, Dusun Cempaka Putih 7 Banda Aceh.
Kemarin, genap di usia beliau yang ke 80 tahun (lahir di Lambada Peukan, Darusalam, Aceh Besar, 17 September 1942).
Bakda Ashar, saya, Pak Mawardi Ismail, dan Pak M Adli Abdullah ikut melayat ke rumah duka.
Pak Bad telah meninggalkan kita selamanya. Ia dikebumikan di Geuceu Iniem, Kota Banda Aceh tidak jauh dari rumahnya.
Begitu banyak pelajaran dan pengetahuan yang ia sampaikan dalam berbagai kesempatan dan tempat.
Keteguhan dan ketegasan prinsip adalah dua pelajaran yang akan saya tuliskan dalam tulisan kecil ini.
Sekilas profil dan keteguhan prinsip Badruzzaman
Pak Bad (begitu namanya sering disebut), saya sudah mengenalnya saat beliau masih aktif mengajar di IAIN Ar-Raniry (UIN sekarang).
Baca juga: BREAKING NEWS - Mantan Ketua MAA Provinsi Aceh Badruzzaman Ismail Meninggal Dunia
Saat itu, di tahun 1998, Pak Bad mengajar Mata Kuliah Hukum Tata Negara, saya adalah salah seorang mahasiswanya.
Kiprahnya di dunia akademik tidak perlu diragukan lagi.
Menurut catatan dalam riwayat hidup yang pernah diserahkan kepada saya di tahun 2015, jenjang sekolah SRI/MIN, PGAN, S1 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, dan Magister Ilmu Hukum pada kelas jauh USU Medan di Fakultas Hukum USK pernah dilaluinya.
Jabatan Pembantu Rektor III Universitas Abulyatama (1984-1992), dan Pembantu Rektor II, IAIN Ar-Raniry (1997-2001), Wakil Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Provinsi Aceh (1993-2003) adalah jabatan akademik yang tidak terbantahkan bahwa Pak Bad diperhitungkan didunia akademisi.
Dosen tetap pada Fakultas Syariah yang pensiun tahun 2007 juga merupakan salah seorang tokoh ulama yang diperhitungkan. Setidaknya, dibuktikan dengan sejumlah jabatan penting yang pernah dijabatnya.
Tahun 1973-1990, ia pernah menjabat sebagai Sekretaris Kanwil Departemen Agama Aceh, kemudian, pada tahun 1988-2001 ia diamanahkan sebagai Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia/MUI (saat ini berganti menjadi MPU).
Selanjutnya, sebagai ketua bidang Kajian Hukum dan Perundangan MPU (2003-2007) sebagai ulama.
Baca juga: Simalakama Kebijakan Wisata-Protektif Mesir
Saat tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004, Badruzzaman dipercayakan sebagai salah seorang dewan pengarah BRR Aceh (2006-2010).
Kontribusinya bagi Aceh terus berlanjut. Pasca Memorandum of Understanding di Helsinki, Finlandia, Pak Bad juga menjadi bagian penting dalam merumuskan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, dan beberapa Qanun turunannya.
Ketokohan Pak Bad dalam dunia pendidikan, dan pengalamannya disejumlah kegiatan adat dan keagamaan membawanya menjadi Ketua Majelis Adat Aceh periode 2013-2018.
Kemudian dalam Musyawarah Besar (Mubes) 22-25 Oktober 2018, kembali terpilih kembali secara aklamasi sebagai ketua umum MAA periode 2019-2023.
Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, begitulah barangkali ungkapan yang sesuai.
Bahwa, kepengurusannya untuk periode kedua dianulir oleh Pemerintah Aceh, dengan alasan belum dapat ditetapkan pengukuhannya sampai ditetapkan dan dilaksanakan Mubes berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh yang mengatur mengenai Tata Cara Pemilihan Pengurus MAA.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (XII) Benarkah Iskandar Muda Raja Liberal ?
Sedangkan mengenai Pemangku Adat pada MAA harus mengacu pada ketentuan pasal 8 ayat (1) Qanun MAA (bunyi Surat Gubernur Nomor 180/704 tetanggal 16 Januari 2019).
Singkat cerita, sampai akhir hayatnya, Pak Bad masih teguh berjuang mencari keadilan secara sah menurut hukum untuk dikembalikan kedudukan kepengurusannya sebagaimana hasil Mubes tanggal 22-25 Oktober 2018.
Suatu ketika, saya diundang untuk sebuah pertemuan. Kala itu, ada dorongan untuk dilaksanakan rekonsiliasi kepengurusan MAA.
Pak Bad menyampaikan, ada utusan yang datang kepadanya menawarkan rekonsiliasi dengan pembagian usulan unsur kepengurusan.
Meski jatah kepengurusan yang ditawarkan untuk usulan dari Pak Bad porsinya lebih banyak, ia juga tetap ditempatkan sebagai ketua umum. Namun ia tetap menolak, bahwa yang diperjuangkannya adalah bukan untuk dirinya, melainkan marwah Aceh, marwah bersama.
Jika itu, untuk saya, barangkali saya akan iyakan, posisi saya sudah tetap dikembalikan sebagai ketua umum, katanya. Saya, ingin bertemu Gubernur Aceh terlebih dahulu, bicara 4 mata. Setelah itu, kita lihat bagaimana, harapnya saat itu
Perjuangan Pak Bad dan kawan-kawan menjadi contoh baik terutama bagi saya, yang masih perlu belajar banyak hal terkait dengan keteguhan akan prinsip. Terlepas dari ‘barangkali’ dianggap sebagai ada kepentingan pribadinya.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jelas memihak kepadanya. Usulan penetapan/pengukuhan Dewan Pengurus MAA periode 2019-2023, hasil Mubes 22-25 Oktober 2018 untuk diproses lebih lanjut.
Baca juga: Badruzzaman Ismail Minta Gubernur Aceh Patuh pada Putusan Pengadilan,Terkait Posisi Ketua MAA
Putusan tersebut dikuatkan PT TUN, dan permohonan Kasasi yang diajukan Gubernur untuk membatalkan putusan PTUN ditolak oleh Mahkamah Agung.
Gubernur Aceh, sampai H Badruzzaman Ismail menghembuskan nafas terakhir pada Kamis, 17 November 2022 kemarin tetap tidak bergeming pada keengganannya mengembalikan kepengurusan Pak Bad dan kawan-kawan sebagai pengurus yang sah berdasarkan hasil Mubes 22-25 Oktober 2018.
Selamat jalan Pak Bad, perjuanganmu akan dicatat oleh sejarah, dan menjadi spirit bagi generasi selanjutnya akan pentingnya menjaga keteguhan prinsip hidup memperjuangkan nilai-nilai kebenaran yang diyakini kebenerannya.
*) PENULIS adalah Peneliti/Dosen Fakultas Hukum dan Sekretaris Pusat Riset Hukum, Islam, dan Adat Universitas Syiah Kuala
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI