Semua itu jadi pendukung seseorang menjadi terorisme bila sudah memiliki motivasi sejak awal, ditambah dengan tidak adanya perhatian semua pihak mengontrol masalah ini.
Baca juga: Iran Adili Dua Warga Prancis dan Belgia, Inggris Masukkan Pengawal Revolusi Sebagai Kelompok Teroris
Sementara Napiter Deportan Afiliasi ISIS, Muhammad Zikir juga mengungkapkan hal yang sama.
Keprihatinan terhadap isu-isu kemanusiaan yang berkembang di Timur Tengah, khususnya di Suriah menjadi motivasi utama seseorang untuk bergabung dengan ISIS menjadi teroris.
Ia bercerita, pada 2014-2015 lalu, perkembangan isu kemanusiaan di Timur Tengah sangat booming.
"Ada satu kelompok perlawanan, namanya ISIS. Dibentuk untuk melawan pemerintahan Bashar Al Assad sewaktu itu," ungkapnya.
Pihaknya beranggapan Bashar Al Assad ini menindas atau mengintimidasi muslim-muslim sunni sebagai minoritas di sana saat itu.
Baca juga: Remaja Penyerang Polisi New York Dengan Pisau Pada Malam Tahun Baru 2023 Dituduh Sebagai Teroris
Mereka menyebarkan video-video propaganda, artikel hingga seruan dari ulama-ulama di sana.
"Terjadilah kehilangan kontrol, rasionalitas dalam berpikir itu tidak ada lagi. Yang kita kedepankan emosional," ungkap Zikir.
Kemudian pada 2019, Napiter Deportan Afiliasi ISIS itu bersama teman-temannya melakukan konsolidasi untuk berangkat ke Afghanistan.
Namun mereka tertahan di bandara di Thailand dan diintrogasi, kemudian dikembalikan ke Indonesia untuk menjalani hukuman.
Ia juga mengingatkan kalau teroris ini benar-benar ada, bukan sekadar teori konspirasi.
"Buktinya kita ini ada," jelas Zikir yang kini sudah menjadi mantan teroris.
Baca juga: Presiden Ukraina Tuduh Rusia Sudah Menjadi Teroris Energi, Putin Sebut Tidak Punya Pilihan
Sementara akademisi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Dr Kamaruzzaman Bustamam Ahmad menjelaskan, ada perbedaan antara radikalisme dan terorisme.
Sebab menurutnya, seseorang yang radikal belum tentu jadi teroris.
"Tapi kalau mereka sudah menjadi teroris, itu sudah pasti salah atu jalannya adalah melalui radikal," jelas pria yang akrab disapa KBA itu.