JUMLAH miskin Aceh masih menunjukkan trend meningkat sampai akhir tahun 2022.
Dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi Aceh yang cuma 2,6 persen, menjadikan Aceh sebagai terendah dibanding semua provinsi yang ada di Pulau Sumatera.
Yang lebih mencemaskan lagi, di tahun 2023 Dana Otonomi Khusus yang diterima Aceh hanya Rp 3,9 triliun atau setengah dari yang selama ini diterima.
Untuk mengantisipasi agar kondisi ekonomi Aceh tak semakin merendah, Bank Indonesia antara lain mengingatkan supaya Pemerintah Aceh bisa memastikan tidak ada lagi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) mulai tahun 2023.
Hasil sensus yang dilakukan BPS Aceh, pada September 2022 lalu, menunjukkan jumlah penduduk miskin di Tanah Rencong pada bulan tersebut bertambah sebanyak 11.700 orang, menjadi 14,75 persen dibandingkan pada Maret 2022 hanya sebesar 14,64 persen.
Atas pertambahan tersebut, jumlah penduduk miskin di Aceh pada September 2022 menjadi 818.470 orang.
Sedangkan pada bulan Maret jumlahnya 806.820 orang.
Menurut BPS, di pedesaan Aceh jumlah penduduk miskin naik sebesar 0,19 poin dari 16,78 persen menjadi 17,06 persen dan perkotaan naik sebesar 0,04 poin dari 10,31 persen menjadi 10,35 persen.
Kenaikan jumlah penduduk miskin pedesaan dan perkotaan, dipengaruhi kenaikan harga komoditi pangan dan nonpangan.
di antaranya beras, rokok, ikan tongkol, tuna, cakalang, dan lainnya.
Sedangkan untuk komoditi nonpangan yang berpengaruh terhadap nilai garis kemiskinan adalah biaya perumahan, BBM, listrik, dan lainnya.
Baca juga: Aceh Barat Terbitkan Perbup Dana Desa Untuk Penanggulangan Kemiskinan Ekstrem
Baca juga: Pijay Lakukan Gebrakan Pengentasan Kemiskinan Lewat Program Tepong Saka
Terkait dengan menurunnya Otonomi Khusus Aceh, Dana Kepala Bank Indonesia (BI) Perwakilan Aceh, Achris Sarwani, mengatakan, Pemerintah Aceh harus mencari solusi.
Antara lain, mengurangi nilai SiLPA Aceh.
SiLPA Aceh pada tahun 2021 saja mencapai Rp 3,5 triliun.
Kemudian, Pemerintah Aceh harus menarik investor ke Aceh.
Sebab, anggaran APBN maupun pemerintah pusat melalui satuan kerja, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki batas.
“Yang tidak memiliki batas itu anggaran dari investor.
Jadi mereka ini yang harus kita ajak ke Aceh," jelasnya.
Bank Indonesia Perwakilan Aceh mencatat, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonomi Aceh hanya 2,66 persen.
Hal tersebut membuat Aceh menjadi daerah yang pertumbuhan ekonominya paling rendah di Sumatera.
Rata-rata pertumbuhan ekonomi di Pulau Sumatera berkisar 3,50 persen.
Saat ini ekonomi Aceh masih sangat tergantung pada sektor primer seperti pertanian dan perikanan yang menyumbang cukup besar.
"Namun nilai tambah untuk pertumbuhan ekonomi Aceh tidak terlalu besar.
Menurut pejabat Bank Indonesia itu, untuk meningkatkan nilai tambah, Aceh harus menghadirkan industri pengolahan di sini.
Selama ini neraca perdagangan Aceh terus defisit.
Artinya, Aceh selalu membeli produk dari pada menjual produknya keluar.
Terkait dengan pengentasan kemiskinan di Aceh, pakar ekonomi dari Universitas Syiah Kuala (USK) Dr Muhammad Nasir pernah menyarankan lima solusi kepada Pemerintah Aceh agar keluar dari status sebagai daerah termiskin se Sumatera.
Pertama, perencanaan komprehensif dengan melibatkan banyak pihak termasuk pakar kemiskinan (akademisi), dunia usaha, dan stakeholder lainnya.
Kedua, mengupayakan pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) setiap tahunnya tepat waktu, sehingga realisasinya lebih optimal.
Ketiga, Pemerintah Aceh perlu meningkatkan efisiensi belanja daerah dengan memprioritaskan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Keempat, diperlukan penguatan dan sinergitas antara eksekutif dengan legislatif Aceh dalam perencanaan dan pengawasan pembangunan.
Dan, kelima, memperluas akses permodalan bagi UMKM dengan melibatkan bank/lembaga keuangan milik daerah serta lembaga keuangan lainnya di Aceh.
Nah?!
Baca juga: Bappeda Aceh Singkil Ajak NGO Entaskan Kemiskinan
Baca juga: Tak Ada Obat Ajaib Atasi Kemiskinan