Disebutkan, perhitungan yang ketat dari lembaga keuangan, baik bank maupun non-bank yang berkaitan dengan usaha kecil dinilai tidak efisien dalam biaya perhitungan laba-rugi.
Baca juga: Bank Aceh KPO Kembali Latih Pelaku UMKM, Kali Ini Peternak Kambing, Dari Teori Hingga Praktik
Hal itu berdasarkan “operational rational cost” yang akan mempengaruhi perhitungan laba-rugi atau “Benefit-Cost (B/C) Ratio Analysis”.
Makanya, katanya, lembaga keuangan resmi enggan mengurus ekonomi rakyat kecil, yang banyak tersebar sampai pelosok pedesaaan.
Taufiq menjelaskan perbankan melakukan perhitungan praktik mikroekonomi perputaran bisnis (Businees Cycle of Economic) menjadi tidak menguntungkan.
Konon pula, katanya, perbankan di Aceh sangat banyak masalahnya, baik manajemen, penguasaan pasar menjadi praktik “single banking.”
Ditambah lagi, tidak mendapatkan kepercayaan lagi dari rakyat Aceh, karena sama sekali tidak menjadi motor penggerak ataupun stimulus ekonomi.
Dia menjelaskan perbankan di Aceh hanya sebagai tempat simpan uang rakyat dan pegawai negeri sipil (PNS) atau karyawan.
Kemudian, transaksi uang elektronik dan menumpuknya uang proyek dan program Pemerintah Aceh saja.
Dengan kondisi itu, maka program KUR yang secara resmi diluncurkan oleh Presiden RI yang dianggap fenomenal serta fantastis, belum mampu membangkitkan pertumbuhan ekonomi Aceh, katanya.
Dia mengatakan hal yang sangat serius lagi, ekonomi rakyat kecil tidak bangkit di Aceh, karena transaksi jual-beli lemah serta lambat.
Taufiq mengaku telah melihat langsung kondisi pasar dengan pedagang yang mengeluhkan kondisi transaksi ekonomi saat ini.
Kondisi itu diperparah dengan sayur-mayur yang cepat rusak dan membusuk terbuang, karena daya beli masyarakat lemah dan uang yang beredar relatif rendah.
Dengan konsekwensi logis dan ekonomi, Pemerintah Aceh belum mampu mengatasi pengangguran dan tidak dapat mengentaskan kemiskinan.
Dia menyayangkan program KUR yang telah diluncurkan secara resmi, sama sekali belum menyentuh pedagang kaki lima dan ekonomi rakyat di seluruh Aceh.
Padahal, katanya, pelaku usaha kecil sangat membutuhkan modal untuk bangkit dari keterpurukan dampak Covid-19 yang masih terasa.
Dia menjelaskan Aceh masih sulit bangkit dari himpitan jumlah besar pengangguran serta juara miskin se-Sumatera.
Meskipun, katanya, di Aceh banyak uang dari anggaran belanja publik, APBA dan Otonomi Khusus (Otsus), tetapi belum mampu mensejahterahkan seluruh rakyat Aceh.(*)