Opini

Cara Tepat Mengurangi Kemiskinan di Aceh

Editor: mufti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof Dr Ir Agussabti MSi IPU, Guru Besar pada Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian USK, Wakil Rektor Bidang Akademik USK, dan Ketua I Tim Task Force Percepatan Penangulangan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem Aceh

Prof Dr Ir Agussabti MSi IPU, Guru Besar pada Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian USK, Wakil Rektor Bidang Akademik USK, dan Ketua I Tim Task Force Percepatan Penangulangan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem Aceh

SOROTAN terhadap sulitnya penurunan angka kemiskinan di Aceh, menggelitik sejumlah kalangan mempertanyakan, apa yang salah dengan kebijakan pembangunan Aceh. Padahal Dana Otonomi Khusus (DOK) dianggarkan mencapai 88,43 triliun sejak tahun 2008-2021. Namun Aceh (15.53 persen) termasuk ke dalam lima provinsi termiskin di Indonesia (BPS, 2021).

Keadaan ini dipandang sebagai suatu anomali mengingat besarnya anggaran pembangunan yang diterima Provinsi Aceh selama 15 tahun terakhir. Fakta ini menimbulkan pertanyaan, mengapa program pembangunan selama ini belum mampu menurunkan angka kemiskinan secara signifikan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, muncul berbagai spekulasi pendapat. Ada yang berpendapat, kemiskinan di Aceh lebih dikarenakan ketimpangan struktur sosial dan perubahan nilai budaya masyarakat sebagai akibat terjadinya konflik yang berkepanjangan dan bencana gempa bumi-tsunami yang maha dahsyat. Setelah konflik dan bencana tsunami di Aceh, ada sebagian kecil masyarakat berada struktur sosial yang begitu menikmati keuntungan, tetapi ada sebagian besar masyarakat berada struktur sosial yang tidak diuntungkan dan masuk dalam lingkaran kemiskinan.

Baca juga: Penyakit Jantung pada Wanita

Kondisi ini dipandang akibat munculnya cengkeraman struktur sosial yang ikut membelenggu masyarakat miskin sehingga tidak mampu menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Selain itu, konflik dan bencana tsunami di Aceh menyebabkan terjadi perubahan nilai budaya pada masyarakat Aceh.
Bantuan kemanusiaan yang bersifat dana cash kepada masyarakat dipandang telah menghilangkan kreativitas masyarakat dalam berusaha sehingga muncul budaya apatis, malas dan tidak mau bekerja keras. Akibatnya, upaya penurunan angka kemiskinan di Aceh tidaklah mudah.

Ada kalangan yang berpendapat, sulitnya pengurangan angka kemiskinan di Aceh karena mindset political potensial (pemerintah, politisi dan pelaku ekonomi) belum banyak berubah terkait dengan grand design arah kebijakan pembangunan yang berorientasi pada solusi dalam kerangka percepatan penurunan kemiskinan.
Mindset political potensial masih bergerak menurut pandangan dan kepentingan masing-masing. Alasan ini diperkuat dengan argumentasi bahwa gerak langkah political potensial di Aceh, baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, belum seirama dan belum berpihak untuk mendongkrak kreativitas usaha ekonomi masyarakat miskin. Indikasi ini tergambar dari alokasi anggaran yang dinilai belum tepat sasaran dan belum menyentuh akar penyebab kemiskinan itu sendiri.

Cara tepat

Berdasarkan beberapa pendapat tadi, tulisan ini ingin menambah tawaran pemikiran tentang bagaimana cara tepat dalam penurunan angka kemiskinan di Aceh. Pertama, melakukan reformasi birokrasi yang mampu mengundang investasi. Saat ini, Pemerintah Aceh memang sudah banyak mengalokasikan anggaran untuk program penurunan angka kemiskinan. Tapi masalahnya, fokus alokasi anggaran masih terjebak pada lingkaran kemiskinan.

Baca juga: Dari Masa ke Masa, PKA 8 Mau ke Mana?

Karenanya, banyak program kemiskinan berorientasi pada bantuan jangka pendek yang dapat menghilangkan kreativitas masyarakat miskin dan menambah ketergantungan mereka pada bantuan pihak luar, sehingga tidak menuntaskan akar penyebab kemiskinan. Selain itu, pemerintah dalam mengupayakan percepatan penurunan kemiskinan sering bertindak sebagai single actor.  Padahal persoalan kemiskinan adalah masalah bersama yang hanya mampu dipecahkan secara bersama-sama.

Untuk itu, pemerintah perlu melibatkan multistakeholder secara bersama untuk membuka pintu investasi, seperti perubahan pelayanan dan perubahan aturan yang memungkinkan investor mudah dan tertarik untuk melakukan investasi di Aceh. Harapannya, melalui kolaborasi multistakeholder; pihak pemerintah, swasta, LSM, dan perguruan tinggi akan terbuka iklim investasi, sehingga terjadi pergeseran fokus program, dari hanya memperkecil “lingkaran kemiskinan” ke memperbesar “lingkaran kemewahan”.

Kedua, melakukan perubahan mindset political potensial Aceh. Reformasi birokrasi saja tidak akan berhasil dalam mempercepat penurunan angka kemiskinan, tanpa dikuti dengan perubahan mindset political potensial. Diakui atau tidak, mindset political potensial di Aceh masih berkutat pada kepentingan individual atau golongan dan kepentingan jangka pendek.

Chandra Nair mengungkapkan, sering ditemukan kelemahan pemerintah, politisi dan pelaku bisnis (political potensial) belum mampu mencurahkan energi pikirnya pada solusi pembangunan di masa depan; tetapi hanya berkutik pada solusi untuk masa sekarang dengan mengandalkan naluri kepentingan individu atau golongan. Pendapat ini sepertinya menyindir fenomena yang terjadi di Aceh, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Baca juga: Menghapus Kemiskinan Ekstrem di Aceh 2024

Oleh sebab itu, perubahan mindset political potensial Aceh harus segera dilakukan melalui rancangan pendidikan dan pelatihan yang terstruktur secara berkelanjutan dengan melibatkan perguruan tinggi dan lembaga konsultan ahli. Harapannya, mindset political potensial Aceh beralih dari idealisme kepentingan yang berpusat pada individu atau golongan kepada kepentingan untuk peningkatan ekonomi masyarakat miskin dan masa depan Aceh yang lebih sejahtera dan bermartabat.

Ketiga, perubahan strategi pembangunan dan pendampingan masyarakat miskin melalui pendekatan berbasis kluster tipologi wilayah kantong miskin. Salah satu kelemahan program penurunan masyarakat miskin adalah umumnya dilakukan dengan pendekatan seragam dan tidak berbasis tipologi wilayah kantong kemiskinan.
Akibatnya, alokasi dana besar untuk program penurunan kemiskinan, tetapi sering belum tepat sasaran dan belum menyentuh akar penyebab kemiskinan, meskipun data by name by address masyarakat miskin telah tersedia. Selain itu, pembangunan dan pendampingan melalui pendekatan seragam dengan skala luas juga belum mampu mendeteksi secara real, “siapa dan di mana” keluarga miskin yang telah diberdayakan, berubah menjadi keluarga yang tidak miskin lagi.

Karenanya, tulisan ini menyarankan perlunya perubahan strategi pembangunan dan pendampingan yang secara tepat dapat menurunkan angka kemiskinan yaitu melalui model pendekatan berbasis kluster tipologi wilayah kantong miskin.

Halaman
12

Berita Terkini