Kisah Viral

Kisah Sedih Dini, Gadis 12 Tahun yang Hamil karena Dirudapkasa 8 Tetangga, tak Lagi Diterima Sekolah

Editor: Ansari Hasyim
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi siswi SMP dirudapaksa

Itu yang membuat Cindy sempat menitipkan bayinya di Griya Welas Asih selama delapan bulan.

“Keluarga saya bingung karena keluarga besar tidak ada yang tahu. Griya Welas Asih bantu ngasih solusi juga, akhirnya dapat solusi terbaik. Akhirnya anak saya ada di rumah saya,” kata dia.

Seperti yang telah dia perkirakan, Cindy mengatakan kepulangannya bersama seorang bayi sempat membuat gempar dan menjadi bahan omongan tetangga.

Tetapi kehadiran anaknya pula yang menguatkannya untuk kembali melanjutkan kuliah.

“Aku harus berusaha, nanti anak itu mau seperti apa ke depannya, buat masa depannya juga,” kata dia.

Perlahan Cindy menata kembali hidupnya. Dia berhasil wisuda dan kini bekerja sebagai analis di bidang kesehatan.

Kedua orang tuanya sangat menyayangi cucu mereka. Gunjingan dari para tetangga pun perlahan memudar.

Cindy mengaku bersyukur bahwa dia tidak memilih menikah muda dan memprioritaskan pendidikannya.

“Teman saya banyak yang mengambil jalan menikah, sekarang hidupnya ngeri, enggak lanjut sekolah karena dia harus memikirkan keluarga. Suaminya enggak kerja, jadi yang banting tulang ya teman saya. Enggak kebayang kalau dulu saya jadi menikah akan seperti apa,” kata Cindy.

“Awalnya memang sedih karena dilihat orang-orang, tetangga mikir seperti apa, tapi lama-lama ya sudah. Tetap semangat saja, yang penting kita sebagai perempuan yang sudah pernah gagal bisa menunjukkan ke orang lain kalau ternyata kita bisa,” ujarnya.

'Mereka harus diberi jalan keluar'
Pendiri Griya Welas Asih, Rosa Amaya menyadari bahwa banyak remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan ini perlu diberi kesempatan untuk menata kembali hidupnya.

Pendiri Griya Welas Asih, Rosa Amaya menyadari bahwa banyak remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan ini perlu diberi kesempatan untuk menata kembali hidupnya.
Rumah singgah ini dia dirikan bersama rekannya, Ruth, pada 2018.

Inisiatif itu datang setelah mereka melihat banyak kasus kehamilan remaja yang berujung pada pernikahan dini, aborsi, dan penelantaran anak.

Sudah ada 48 perempuan berusia 14-25 tahun yang pernah singgah di Griya Welas Asih selama hampir lima tahun.

Lebih dari 100 remaja perempuan yang membutuhkan pertolongan terpaksa mereka tolak karena terbatasnya tempat dan fasilitas.

Mereka yang datang dan meminta pertolongan biasanya berada dalam posisi rentan, seperti berasal dari keluarga miskin, korban kekerasan seksual, terancam dinikahkan, atau menghadapi sanksi sosial yang buruk.

"Anak-anak ini kalau dikawinkan juga belum cocok, bagaimana caranya, mereka harus diberi jalan keluar," kata Rosa.

Selama di panti, mereka diberi makanan dengan gizi yang cukup, pendampingan psikologis, dan kontrol rutin dengan dokter spesialis kandungan.

Menurut Rosa, para remaja ini juga dibantu untuk tetap melanjutkan pendidikan mereka melalui program kejar paket.

Biayanya ditanggung oleh Griya Welas Asih melalui bantuan para donatur.

"Hampir semua anak-anak yang masuk sini sudah kejar paket. Jadi mereka pulang tidak putus sekolah dan tinggal melanjutkan saja. Ini sangat membantu, paling tidak mereka tidak tinggal kelas," tutur Rosa.

Mereka juga dibekali dengan sejumlah keterampilan seperti menyulam, menjahit, hingga membuat kue.

"Tujuannya kalau mereka keluar mereka bisa menjadi single parent, kalaupun mereka pada akhirnya putus sekolah dan ingin merawat anaknya ya mereka bisa mandiri.

"Kalau generasi ini putus dan tidak ditolong ya 10 tahun kemudian akan melahirkan generasi-generasi yang seperti apa? Orang-orang tertolak," ujar Rosa.

Menurut Andrea dari Puskapa UI, regulasi yang ada sebetulnya telah menjamin bahwa para remaja yang hamil ini tetap berhak mendapatkan pendidikan.

Di DKI Jakarta misalnya, Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2013 menjamin bahwa siswi yang hamil tidak boleh dikeluarkan dari sekolah. Sejumlah daerah yang lain juga memiliki aturan serupa.

Begitu pula di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat yang membolehkan remaja yang hamil untuk kembali bersekolah di Sekolah Menengah kejuruan (SMK) dengan Sumber Daya Kemanusiaan dan Kesehatan (SDMK) setelah melahirkan, bahkan juga diizinkan untuk membawa anaknya.

Namun menurut Andrea, kenyataannya di lapangan masih menunjukkan bahwa pemenuhan hak pendidikan para remaja yang hamil ini belum benar-benar dipastikan secara menyeluruh.

Apalagi di tengah stigma dan sanksi sosial terhadap remaja yang hamil masih begitu lekat.

"Perlu diurai bagaimana mindset sekolah-sekolah ini. Jangan sampai berpikir 'nanti enggak enak dilihat orang, kalau sekolah ada yang hamil'. Untuk kepentingan siapa sih sekolah itu? Kalau enggak enak tuh enggak enak sama siapa? Itu kan berangkat dari stigma," kata Andrea.

Kalaupun sekolah tidak mengeluarkan siswi yang hamil, stigma semacam itu pula yang membuat mereka enggan kembali ke sekolah.

Ditambah lagi kondisi pasca-melahirkan yang belum tentu ideal bagi mereka untuk bisa melanjutkan pendidikan.

Sebab, banyak pula remaja yang mengalami kasus semacam ini berasal dari keluarga miskin.

Pernikahan dini juga masih sering dipilih sebagai solusi semu yang pada akhirnya membuat anak terjerat dalam lingkaran kemiskinan dan kekerasan.

Oleh sebab itu, Andrea menilai penanganan remaja yang mengalami kehamilan tak diinginkan tidak cukup hanya dengan menyarankan anak yang putus sekolah untuk melanjutkan pendidikannya lewat program kejar paket.

"Kalaupun dia boleh kembali ke sekolah setelah melahirkan, siapa yang menjamin bahwa mereka akan kembali? Siapa yang memastikan itu?" kata Andrea.

"Kebutuhan mereka secara menyeluruh juga perlu didengarkan. Mulai dari dukungan pengasuhan anaknya, lalu ruang yang nyaman agar mereka juga mau melanjutkan pendidikannya.

"Mencegah itu kan bukan hanya mencegah anak tidak boleh nikah dan putus sekolah sama sekali, tapi juga menangani anak ini secara menyeluruh."

Sejumlah negara memilih membuka sekolah yang dikhususkan untuk para remaja hamil atau ibu muda demi memenuhi hak pendidikan mereka.
Sekolah khusus remaja hamil telah dibuka di Malaka, Malaysia sejak 2010 karena tingginya angka kehamilan remaja dan penelantaran bayi.

Di Texas, Amerika Serikat, sebuah SMA negeri menjadi tempat bagi para remaja yang mengalami kehamilan tidak direncanakan untuk lanjut bersekolah.

SMA itu bahkan menyediakan fasilitas pendukung seperti pusat penitipan anak gratis.

Kenya juga telah memiliki sekolah khusus seperti ini, yang merupakan satu-satunya sekolah khusus remaja hamil di negara itu.

Pemerhati anak sekaligus mantan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan solusi serupa mungkin saja juga diterapkan di Indonesia.

"Ini kan tergantung cara berpikir pemerintahnya, negara hadir karena negara punya perspektif anak. Dia mengerti bahwa ini kesalahannya bukan pada si anak, tidak bisa ditimpakan pada si anak, negara sadar itu," kata Retno.

Namun beberapa waktu lalu, ketika video dari seorang siswi yang membawa anaknya ke sekolah viral di media sosial, timbul pro dan kontra.

Sebagian mengapresiasi sekolah yang mengutamakan hak pendidikan anak, namun sebagian lainnya menganggap hal itu menormalisasi kehamilan remaja.

Sedangkan menurut Retno, menyediakan sekolah khusus semacam ini bukan berarti menormalisasi kehamilan remaja.

"Ini justru akan menyelamatkan negara, karena anak-anak ini anaknya rentan gizi buruk, miskin, jadi lebih baik memberdayakan mereka. Orang-orang enggak bakal berpikir 'ah gue hamil ah'," tutur dia.

Bagaimanapun, Retno mengatakan kasus kehamilan remaja tidak bisa ditimpakan sebagai kesalahan anak semata, sehingga mereka diberi sanksi dan seolah tidak berhak menata kembali kehidupannya.

Apalagi banyak kasus kehamilan remaja juga dipicu oleh minimnya pendidikan seksual yang diterima anak.

Selama stigma itu masih melekat, Retno mengatakan remaja yang hamil akan menjadi korban dua kali.

"Jadi walaupun dia hamil pada usia remaja, kehamilan tidak diinginkan, apalagi diperkosa, pastinya dia korban. Masa mau kita korbankan lagi?" ujar Retno.

Penanganan 'belum optimal'
Pelaksana tugas Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Rini Handayani mengakui bahwa cukup banyak remaja yang hamil dan putus sekolah.

"Kalau yang putus sekolah itu konkretnya kami tidak mendata, tapi yang saya temui anak-anak itu memang tidak tertangani hak pendidikannya, ini yang kami dorong pemerintah daerah karena yang bertanggung jawab penuh dulu adalah pemerintah daerah," kata Rini ketika dihubungi.

Merespons data Badilag dan kasus yang baru-baru ini terjadi, Rini mengatakan akan merespons cepat agar pemenuhan hak pendidikan mereka bisa optimal.

Sejauh ini opsi yang dimiliki oleh pemerintah adalah menyediakan layanan pendidikan jarak jauh atau melalui program kejar paket.

Khusus untuk remaja yang hamil akibat kekerasan seksual, Rini mengatakan KPPPA dan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi akan merevisi Peraturan Mendikbudristek Nomor 82 Tahun 2015 untuk kembali memperkuat jaminan hak pendidikan mereka dipenuhi.

Pemerintah, kata Rini, juga berjanji akan mencari opsi alternatif lain yang lebih berpihak pada kepentingan remaja yang hamil.(*)

Berita ini sudah tayang di kompas.com dengan judul Kisah Pilu Bocah 12 Tahun di Banyumas, Diperkosa dan Diminta Keluar Sekolah karena Hamil

Baca berita lainnya di

16 Jam Ditandu Demi Lahiran di RS, Ibu Hamil Ini Berakhir Meninggal, Bayinya Nyusul

Terkejut Biaya Make Up di Film Buya Hamka Capai Rp 3 M, Laudya Chintya Bella Beri Respon Tak Terduga

Erick Thohir Terbang ke Zurich Temui Petinggi FIFA Terkait Polemik Israel di Piala Dunia U20

Berita Terkini