Oleh Ahmad Humam Hamid*)
Pentingnya mempersoalkan dugaan gratifikasi Bakrie Group kepada gubernur Marzuki sebenarnya tidak hanya terkait dengan skandal pengelolaan Blok B dengan dugaan penyalahgunaan kekuasaan, dan kelicikan anak perusahaan group itu.
Kontroversi izin PT Linge Mineral Resources-PT LMR, juga tidak kurang, bahkan lebih krusial dibandingkan dengan kasus Blok B.
Pada dasarnya, izin PT LMR dataran tinggi Gayo tidak hanya berurusan dengan kontroversi kewenangan yang bertindihan, akan tetapi telah menjalar menjadi benih konflik baru antara Aceh dengan pemerintah pusat.
Pemberian izin, terakhir oleh BKPM pada Agustus 2022 adalah bukti nyata betapa lembaga itu telah melanggar secara sistematis UUPA/11/2006 yang menjadi tonggak perdamaian konflik Aceh 32 tahun.
Keputusan BKPM, dalam hal ini Bahlil Lahadia, tidak hanya berdimensi salah tafsir kewenangan antara dua atau lebih produk hukum yang berlaku.
UUPA/11/2006 adalah “kontrak perdamaian” resmi antara gerakan Aceh Merdeka dan masyarakat Aceh dengan Pemerintah Republik Indonesia.
Undang-undang ini adalah solusi konflik berdarah 32 tahun antara pemerintah dan pemberontakan Aceh Merdeka.
Untuk dicatat, salah satu sumber pemberontakan itu berpunca dari ketidakadilan pembagian sumber daya alam, terutama migas pada masa itu.
Sepeti diketahui, kontroversi PT Linge Mineral Resource-PT LMR yang berlokasi di Aceh Tengah, telah berlangsung selama lebih dari sepuluh tahun.
Perkara itu dimulai ketika gubernur Irwandi menolak memberikan izin kepada PT East Asia Mineral Resource pada tahun 2009, yang kemudian menjadi PT Linge Mineral Resources.
Salah satu dasar pertimbangan Irwandi menolak pemberian izin adalah karena lokasinya berada di kawasan lindung.
Kisruh pertama dimulai ketika gubernur Irwandi mengetahui PT. Linge Mineral Resources mendapatkan persetujuan izin eksplorasi dari bupati Aceh Tengah dengan nomor surat 530/2296/IUP- Eksplorasi/2009, yang berlaku sampai dengan tahun 2017.
Gubernur Irwandi tetap bersikukuh, dalam koteks kewenangan, ia sama sekali tidak memberikan izin.
Sekalipun tidak mendapat rekomendasi dari Pemerintah Provinsi Aceh, pada tanggal 02 Mei 2017, BKPM telah mengeluarkan persetujuan izin usaha tambang komoditi emas dalam rangka penanaman modal asing kepada PT LMR dengan nomor 21/IUP/PMA/2017.
Izin ini kemudian dicabut oleh kepala BKPM Bahlil Lahadilia pada April 2022, dengan nomor pencabutan izin 20220405-01-92695.
Pembatalan itu tak berlangsung lama. Hanya dalam tempo empat bulan- Agustus 2022, Bahlil Lahadia, selaku ketua BKPM membatalkan kembali pencabutan izin yang telah dibuat sebelumnya.
Kali ini BKPM dengan tegas menyatakan bahwa izin usaha tambang komoditi emas kepada PT LMR, dalam rangka penanaman modal asing No 21/IUP/PMA/2017 yang telah dimiliki oleh PT LMR, kembali sah dan berkekuatan hukum.
Keputusan Bahlil tentang pengaktifan kembali PT LMR memicu kontroversi hukum, terutama “kontrak perdamaian” antara Pemerintah RI, dengan GAM dan masyarakat Aceh seperti yang terdapat dalam UUPA no 11/2006.
Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) menjelaskan tentang kewenangan pemerintah Aceh dalam menegelola sumber daya alam- pertambangan batu bara dan mineral.
Pemerintah Aceh pernah melayangkan surat protesnya kepada BKPM, mempersoalkan kewenangan BKPM yang berlawanan dengan UU/11/2006.
Namun Kepala BKPM, Bahlil Lahadia tetap bersikeras bahwa keputusannya memberikan kembali izin kepada PT LMR itu sah adanya.
Ia bersikeras bahwa izin itu didasari pada investasi LMR yang berstatus sebagai penanaman modal asing.
Landasan hukum BKPM dalam memberikan izin kepada PT LMR sering dakitkan dengan UU nomor 3/2020 mengenai perobahan UU nomor 4/2009 tentang pertambangan batu bara dan mineral.
UU itu mencabut kewenangan provinsi untuk kemudian sepenuhnya berada di bawah kewenangan pemerintah pusat.
Namun BKPM abai, pada saat yang sama UU itu juga membuat pengecualian untuk Aceh.
Baca juga: Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh XIV - Skandal Blok B dan Klarifikasi Saham Blok Bireuen-Sigli
Baca juga: Mahfud MD Puji Polisi dari Aceh, Suaranya Mengaji Bikin Merinding
Pada pasal 173 A disebutkan, pengalihan kewenangan itu tidak berlaku untuk Provinsi Aceh yang diakui mempunyai kekhususan untuk mengurus dan mengatur pengelolaan batubara dan mineralnya secara sendiri.
Sebenarnya Pemerintah Aceh telah membuat pengaturan tentang pengelolalan mineral dan batu bara di Aceh.
Menindaklanjuti UUPA/11/2006, telah diatur dalam tentang hal dimaksud dalam Qanun nomor 15, 2013 berikut dengan penyempurnaannya pada 2017.
Kewenangan Qanun itu kemudian didukung lagi oleh Surat Mendagri 118/4773/OTDA, pada Juli 2021 yang memperkuat kewenangan pemerintah Aceh dalam hal pengelolaan mineral dan batubara.
Apa yang terjadi semenjak tahun 2017 sampai dengan 2021, berikut dengan keputusan BKPM pada tahun 2022 yang mengesahkan izin kepada PT LMR, adalah dua perspektif, bahkan prinsip yang sangat berbeda.
Ada versi Kemendagri di satu pihak, dan Kementrian ESDM berikut dengan BKPM di pihak lainnya.
Perbedaan itu belum diselesaikan sampai dengan hari ini.
Kemendagri sebagai otoritas pemerintahan yang salah satu pekerjaan utamanya adalah mengurusi berbagai kewenangan dan pelimpahan kewenangan pemerintahan, berpegang teguh pada prinsip kemurnian, dan pengakuan kekhususan Aceh.
Kemendagri dengan tegas menyebutkan pengecualian UU nomor 3/2020 utuk Aceh melalui Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 118/4773/OTDA tanggal 22 Juli 2021.
Surat itu menegaskan, Aceh dikecualikan dari UU nomor 3/2020 itu, dan kewenangan pengelolaan batu bara dan mineral itu sepenuhnya berada pada Pemerintah Aceh.
Lembaga negara yang berbeda, BKPM dan Kementrian ESDM justeru mempunyai pandangan yang diametral.
Bahlil Lahadia berkilah dengan alasan ada komponen modal asing yang terdapat pada PT.LMR, dan dengan demikian kewenangan itu secara otomatis berpindah kepada BKPM.
Pemerintah Aceh kemudian hilang sama sekali kewenangannya.
Ini adalah sebuah demonstrasi kekuasaan versi Bahlil Lahadia yang dapat membuat luka konflik selama 32 tahun yang belum benar benar pulih, kembali kambuh.
Kalaulah esensi UUPA/11/2006 ditelusuri dengan baik, maka sebutan otonomi khusus atau kewenangan khusus Provinsi Aceh melalui konsep desentralisasi asimetris, sesungguhnya bertujuan untuk merangkul masyarakat Aceh agar tetap berada dalam kesatuan NKRI sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Ada cukup banyak kewenangan dan kehususan yang ditemui dalam UU dimaksud, yang memang benar-benar asimmetris dibandingkan dengan berbagai provinsi lain di Indonesia.
Kalaulah UUPA/11/2006 dapat dianggap sebagai “mahkota” Aceh dari hasil kesepakatan nasional, dan sekaligus “kontrak hidup perdamaian” antara pemerintah pusat dengan gerakan Aceh Merdeka dan masyarakat Aceh, maka item pengelolaan sumber daya alam,- dalam konteks ini batubara dan mineral, adalah “permata” dari mahkota itu.
Ada darah dan airmata dan berbagai penderitaan panjang masyarakat Aceh selama 32 tahun, sehingga “mahkota” dan “permata” itu ada.
Kini, setelah 17 tahun UUPA/11/2006 berjalan, di tengah-tengah berbagai kerumitan Aceh yang belum sepenuhnya tertangani, lilitan korupsi, absennya pemerintahan yang baik, parahnya angka kemiskinan, dan berkurang, dan bahkan akan berakhirnya dana Otsus, Bahlil mungkin menganggap Aceh sudah “selesai”.
Jika demikian halnya “mempreteli” UUPA/11.2006, dalam pemikiran Bahlil mungkin, bukanlah perkara yang sangat rumit.
Ia semakin yakin ketika elit Aceh, mulai dari Forbes DPR RI dan DPD Aceh di Jakarta, DPRA, gubernur, sama sekali tak peduli dengan apa yang sedang ia lakukan.
Jika ada satu dua statemen dari anggota DPRA yang ilmunya dan daya juangnya “dhaif”, bukan tak mungkin ia tertawakan dalam hati.
Bahlil mungkin juga menganggap suara masyarakat Gayo, baik anak muda maupun tokoh adatnya tak perlu dihiraukan.
Bahlil telah memberikan izin kepada PT LMR. Perusahaan itu mereflikasi tambang di Abong, Linge itu dari “Proyek Pengembangan Usaha” menjadi “Aset Eksplorasi dan Evaluasi” pada neraca perseroan.
Setelah proses amdal selesai, maka PT.LMR akan memasuki fase operasi dan produksi yang diperkirakan akan mulai pada akhir tahun ini atau tahun depan.
Ketika itu terjadi maka paku terakhir “kerandą mayat” UUPA no 11 telah di godam oleh Bahlil Lahadia dengan sempurna.
Cerita “mahkota” tanpa “permata” akan menjadi kenangan, dan UUPA/11/2006 praktis tutup buku.
Lupakan MoU Helsinki. Lupakan kehebatan dan kepiawaian pendekar perdamaian global dan mantan presiden Finlandia yang membuat Aceh damai, Martti Ahtisari.
Godam Bahlil juga akan membuat Aceh harus melupakan keberanian pasangan presiden yang baru terpilih pada tahun 2005 SBY-JK untuk membuat damai Aceh terjadi.
Secara perlahan Aceh juga harus melupakan keterlibatan luar biasa dan sungguh-sungguh Uni Eropa dan Amerika Serikat yang tak pernah berhenti menyerukan, dan membantu perdamaian Aceh terwujud.
Semua itu mesti “dilupakan”, karena ada kebijakan yang mendahulukan “investasi”daripada memegang teguh “kontrak hidup perdamaian” -UUPA/11/2006 antara sebuah “provinsi pemberontak” dengan pemerintah pusat
Apa kaitan antara PT LMR yang sedang menjalani proses lanjutan untuk sampai ke tahapan terakhir, yakni tahap operasi dan produksi, dengan pemerintah daerah?
Jikapun legalitas lanjutan diperlukan dari daerah- dalam hal ini gubernur, walaupun menurut versi Bahlil tidak lagi relevan.
Apakah gubernur masih diperlukan?
Dalam hal inilah, gratifikasi penerbangan jet pribadi gubernur Marzuki Banda Aceh-Jakarta, layak dipersoalkan.
Pada dasarnya PT LMR tetap saja entitas korporasi yang tujuan utamanya sebagai lembaga pencari untung.
Bahwa ada aturan dan berbagai ketentuan hukum yang menghalangi atau membatasi kegiatan koroporasi, aturan itulah yang mesti dirobah.
Perobahannya dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari cara yang sangat baik dan benar, sampai kepada cara yang sangat tidak benar
Selama belum ada penjelasan dari Marzuki tentang gratifikasi itu, kita tidak boleh menganggap dia salah, kecuali ia mengatakannya bahwa apa yang ia lakukan sebagai sesuatu yang benar untuk dikerjakan oleh pejabat gubernur.
Selanjutnya ia juga harus membuktikan, ia telah pula mengerjakannya secara benar.
Bagaimana kalau ia tak mau membuat pengakuan dibalik gratifikasi itu untuk merespon “hak publik” Aceh untuk tahu?
Jika itu terjadi biarlah pihak yang mengangkatnya, sebagai pejabat gubernur dan mungkin DPRA atau ketua DPRA, sebagai pihak yang mengusulkannya yang membuat kesimpulan.
Kenapa ada kata mungkin? Seorang manusia Aceh pun tak bisa menjawab.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI