ALIJULLAH Hasan Jusuf adalah pria kelahiran Blang Paseh Kota Sigli, Pidie.
Ia telah 52 tahun menetap di Perancis, hingga dijuluki sebagai “Lurah Paris”.
Selama 52 tahun menetap di Perancis, Alijullah yang sempat bekerja di KBRI Paris, telah melayani seluruh Presiden Indonesia yang berkunjung ke Paris, kecuali Soekarno.
Kisah petualangannya hingga sampai ke Perancis pun nyaris tidak masuk akal.
Dalam kepergian pertamanya ke Negeri Napoleon Bonaparte ini pada 1967, Alijullah menjadi penumpang gelap Garuda. Tapi, petualangannya hanya sampai ke Schiphol Belanda, setelah itu dia di deportasi ke Indonesia.
Setahun berselang, atau tahun 1968, Alijullah kembali mencoba peruntungannya.
Kali ini, tanpa paspor dan visa, ia menyusup ke pesawat Qantas, maskapai milik Australia, terbang dari Bandara Kemayoran Jakarta ke Paris, Perancis.
Langkah nekat itu dia lakukan demi melanjutkan kuliah di Sorbonne University di Paris, Perancis.
Setelah menetap di Perancis, Alijullah mempersunting perempuan asal Nias Sumatera Utara.
Mereka dikaruniai empat anak dan beberapa cucu.
Baca juga: Alijullah, Anak Sigli Jadi Lurah Paris, Sang Penumpang Gelap Jalani Dua Kali Puasa di Masa Pandemi
Baca juga: ^Lurah Paris^ Asal Sigli, Alijullah Hasan Jusuf Kembali Terbitkan Buku
Beberapa hari lalu, Alijullah mengirimkan sebuah laporan ke Serambinews.com, tentang Ramadhan 1444 H / 2023 M di Perancis, serta kenangannya dan kerinduannya akan suasana Ramadhan dan Lebaran di Aceh, yang dia nikmati pada masa remaja, lebih dari 50 tahun lalu.
Berikut tulisan Alijullah yang dipersembahkan untuk Anda, pembaca Serambinews.com.
***
PERANCIS salah suatu negara Eropa yang banyak terdapat komunitas Islam. Mereka umumnya adalah pendatang atau imigran dari Negeri Magribin, seperti Aljazair, Maroko, Tunisia, serta negeri-negeri Afrika bekas jajahan Perancis. Ada pula pendatang dari Timur Tengah, Turki, Syiria, Iran, Irak, dan Pakistan.
Menurut data resmi pemerintah, terdapat kurang lebih 7 juta jiwa penduduk muslim di Perancis, dari total sekira 68 juta penduduk negeri itu.
Sementara angka tidak resmi menyebut jumlah penduduk muslim di Perancis mencapai 9 juta jiwa, sebanyak 600 ribu di antaranya adalah warga asli Perancis.
Besarnya jumlah penduduk Muslim ini membuat Pemerintah Perancis mau tidak mau memberi perhatian penuh pada komunitas Muslimin ini, karena generasi mudanya lahir di Tanah Perancis dan sudah berwarga Negara Perancis.
Otoritas Perancis pun telah mengizinkan pembangunan beberapa masjid. Tidak hanya di ibukota Paris, tapi juga di kota-kota besar lainya, seperti di Kota Lille yang berada di utara Perancis, di Kota Lyon yang berada di Perancis bagian tengah, dan di Marseille yang berada di bagian selatan.
Marseille adalah kota terbanyak muslim yang umumnya berasal dari Aljazair. Bahkan sampai dijuluki sebagai provinsi Aljazair di Perancis. Di kota ini pula, pesepakbola legendaris Perancis, Zenedine Zidane berasal.
Kembali ke Paris, kaum muslim sudah bermukim di ibukota Perancis ini sejak awal tahun 1900. Pada tahun 1926 di sini dibangun sebuah masjid indah, dengan arsitek Neomauresque, berbentuk seperti masjid besar Al Hambra di Spanyol.
Ramainya penduduk muslim di Perancis saat ini membuat komunitas Muslim Indonesia yang bergabung dalam PERMIIP (Persatuan Masyarakat Islam Indonesia Perancis), dapat menunaikan ibadah puasa dengan baik dan khusyuk.
Setiap hari Sabtu, masyarakat Indonesia di Perancis mengadakan buka puasa bersama dan tarawih berjamaah di Aula Kedutaan Besar RI Paris.
Ceramah atau santapan rohani disampaikan oleh imam yang didatangkan dari kota-kota lain di Perancis. Ada kalanya penceramah ini diundang atau datang khusus dari Indonesia. Ada pula imam dari Syria, yaitu Ustadz Syamir.
Selain itu, setiap hari Jumat, kaum muslimin asal Indonesia melaksanakan shalat Jumat di KBRI, yang juga diikuti oleh masyarakat Brunei Darussalam, Malaysia, dan Perancis Arab.
Sahur pukul 3 buka pukul 10 malam
Kadang waktunya puasa agak lama, menyesuaikan dengan peredaran mata hari. Bila bulan Ramadhan jatuh pada musim panas, mata hari terbit pukul 04.00 dan terbenam pukul 22.00.
Maka, sahurnya dimulai pukul 3.30 dan waktu berbuka atau azan Magrib pada pukul 22.30 malam.
Lamanya durasi waktu puasa ini terasa sangat berat.
Apalagi, di Perancis, tidak ada perlakuan spesial/istimewa pada periode bulan puasa. Semua toko, restoran dan tempat-tempat keramaian tetap buka seperti biasa.
Mahasiswa juga mereka tetap kuliah seperti biasa, demikian pula pegawai negeri dan karyawan swasta, bekerja seperti biasa.
Belum lagi tantangan berat lainnya, terutama bagi pelajar yang tidak bisa masak, mempersiapkan hidangannya yang layak untuk sahur dan buka puasa.
Puasa di musim panas ini yang ada kalanya suhu mataharinya mencapai 35 derajat, menyebabkan dahaga yang dahsyat.
Namun karena keyakinan kekuatan iman, semua terasa ringan, Insya Allah kuliah atau training lancar sampai hari raya Idul Fitri nanti.
Shalat Idul Fitri sering dilaksanakan di aula KBRI dan ada kala digelar di halaman besar Residence Duta Besar R.I.
Sekaligus ber-halal bilhalal bersama seluruh masyarakat Indonesia, muslim maupun dari agama/kepercayaan lain.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Perancis, rata-rata mereka ikut toleransi dan menghargai orang yang puasa, malah kagum, karena bisa menahan lapar dan dahaga begitu lama sampai 30 hari.
Namun ada beberapa dokter yang marah-marah mengatakan, ”Kalian bodoh, bisa sakit tahan lapar begitu lama.”
Dokter tidak tahu bahwa, Allah memberi hikmah, dengan puasa itu, kita lebih sehat rohani dan jasmani.
Buktinya saya sendiri tetap bisa sport joging setiap hari, dan badan pun ringan sehat. Amin
Kalau Pengalaman Aku sendiri, seorang perantau dari dusun Aceh yang telah lama berkelana di negeri dingin ini, sangat banyak kesan dan pengalaman yang kulami.
Terutama bila puasanya jatuh pada musim panas antara bulan Juni, Juli dan Agustus.
Mata hari lama terbit dan lama pula tenggelamanya, sehingga kami umat Islam harus mengikuti perputaran mata hari ini, waktu sahur dan buka puasa, ditentukan oleh imam-imam masjid di Paris.
Jadwal waktu ini berubah-ubah setiap tahunnya, sampai waktu berpuasa normal seperti di Indonesia, sahur pukul 4.00 buka pukul 18.00.
Kemudian bila puasanya jatuh di musim dingin, maka berubah sahur pukul 05.00 dan buka pukul 17.00, berarti lebih ringan.
Beda dengan di negeri-negara yang berada di utara Eropa, seperti Denmark, Sweden, Norwegia dan Filandia.
Ada kalanya di negeri-negeri itu, selama 1 bulan tidak ada waktu malam dan sebaliknya jika musim dengin, malam terus, tidak ada siang.
Dengan Kondisi ini, masyarakat Islam di negeri-negeri tersebut, berpedoman pada jadwal di Mekah.
Dalam pekerjaan aku sehari–hari di bulan puasa, aku dan rekan-rekan staf kedutaan memang agak sulit, terutama sewaktu melayani tamu-tamu negara dari Indonesia yang menerapkan hukum “musafir, boleh tidak puasa.”
Bila waktu makan siang kami harus mengantar mereka ke restoran, kami terpaksa duduk memesan makan untuk tamu.
Di sini besar sekali tantangannya, menghapi hidangan enak.
Tetapi aku sendiri tetap tegar mempertahankan puasaku. Selama 50 tahun aku tinggal di Perancis, Alhamdulillah puasaku selamat, penuh.
Dalam Bulan Suci inilah aku sering merindukan tradisi /suasana Ramadhan di kampung, suasana yang sangat gembira.
Siang mengumpulkan beras dari penduduk, untuk dimasak bubur janji di masjid. Shalat terawih bersama rakan-rakan.
Lebih ridu lagi aku ingin mendengar kokok ayam jantan. Di Perancis, meski negara ini berlogo ayam jantan, tapi Aku tidak pernah mendengar kokok ayam.
Aku ingat di kala kunjungan Pahlawan Aceh, Abu Daud Buerue’eh, mengunjungi Paris di tahun 1971, kebetulan aku yang mendampingi beliau selama di Paris.
Beliau berkata kepadaku “Ali, Abu rindu pada kokok ayam. “
Kurindukan pula suasana malam Lebaran ketika Aku masih remaja di Kota Sigli.
Malam takbiran, kami keliling kota bersama teman yang pulang mudik, shalat Idul Fitri di lapangan terbuka, bersalaman saling maaf-maafan.
Kemudian bergembira ria, dengan baju baru, keliling ke rumah-ruamah saudara tauladan, mencicipi kue semprong, wajik, kacang taujin, terutama kueh timphan.
Hal ini menandakan "kemana dan sejauh manapun kita perantau, tetap kampung halaman yang kita kenang dan rindukan. Apa lagi bila adikku mangalunkan azan dengan alunan irama Aceh."
*PENULIS, Alijullah Hasan Jusuf, berdomisili di Paris dan dijuluki Geuchik Paris atau Lurah Paris. Ia sudah menerbitkan sejumlah buku berisi kisah kehidupannya selama di Paris.