Kupi Beungoh

Gubernur Aceh - Gus Dur, Melanggar Tabu, dan Nekad - Bagian III

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

KETOKOHAN Gus Dur yang hanya memerintah Indonesia selama sekitar satu tahun adalah gempa tektonik besar yang merubah lansekap kehidupan kebangsaan dan politik nasional, tak terkecuali Aceh.

Keputusannya menghapus dwifungsi ABRI adalah sejarah besar yang akan menghiasi sejarah Indonesia modern.

Ada cukup banyak kebijakan lain, yang pada dasarnya lebih bermuatan, pemutusan total negara bangsa dari model kebijakan politik dan pemerintahan Orde Baru.

Terhadap Aceh, Gus Dur punya sejumlah kebijakan yang tak biasa, dan bahkan benar-benar terbalik 180 derajat dari kebijakan pemerintah sebelumnya.

Ia menginisiasi langkah langkah awal yang cukup berani yang kemudian menjadi cikal bakal dan peta jalan penyelesaian pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka.

Hanya karena Gus Dur lah, keterlibatan pihak asing dalam perundingan perdamaian pemberontakan Aceh dengan pemerintah pusat terjadi.

Tak peduli dengan keberatan berbagai pihak, Gus Dur mengundang LSM perdamaian internasional, Henry Dunant Center untuk masuk ke Aceh dan memfasilitasi perundingan.

Yang terjadi setelah itu adalah sejarah yang terus berlanjut.

Gus Dur telah melanggar tabu yang seolah kekal dalam mengatasi  kekacauan politik dalam negeri, teruatama pemberontakan, dengan mengundang pihak asing untuk menjadi mediator untuk menyelesaikan konflik bersenjata di Aceh.

Usaha yang dimulai Gus Dur akhirnya dicapai oleh SBY-JK enam tahun kemudian, melalui jasa baik Martti Ahtisaari dengan lembaga nonnegara Finlandia, CMI- Crisis Management Initiative.

Gus Dur juga dengan sangat berani membuat kebijakan pelaksanaan syariat Islam di Aceh melalui UU No. 44 Tahun 1999, yang kemudian diadopsi kembali oleh pemerintah dan DPR RI dalam UU No 11 Tahun 2006.

Tidak berhenti di situ, banyak yang tidak tahu, Gus Dur juga menempih kebijakan tidak biasa dalam pemberhentian dan pengangkatan gubernur Aceh.

Ketika ormas SIRA yang dipimpin oleh Mohammad Nazar,- kemudian setelah damai menjadi wakil gubernur Aceh, mengadakan pertemuan akbar masyarakat dalam acara Sidang Umum Masyarakat Pejuang Refrendum (SU-MPR) cukup banyak masyarakat Aceh tumpah ruah datang ke Banda Aceh untuk mengikuti acara dimaksud.

Pengerahan massa itu barangkali yang terbesar dalam sejarah Aceh semenjak kemerdekaan RI 1945.

Acara yang dilaksanakan pada 8 November 1999 di depan Mesjid Raya Baiturrahman itu menyerukan dan mendesak agar Aceh diberikan kesempatan referendum penentuan nasib sendiri, seperti yang telah diterapkan di provinsi Timor Timur beberapa waktu sebelumnya.

Acara itu dihadiri oleh banyak tokoh, baik karena ingin melihat, maupun karena “terpaksa” hadir akibat situasi yang sangat tidak menentu.

Baca juga: Menteri Skotlandia Rencanakan Referendum, Ingin Merdeka dari Inggris

Tak lama setelah acara referandum SIRA itu berlangsung, Gus Dur membuat keputusan memberhentikan Prof. Syamsudin Mahmud.

Pemberhentian itu pada dasarnya lebih didasari pada keikutsertaan  pemerintah daerah untuk memperjuangkan referendum ke Jakarta.

Petisi yang ditandatangani oleh ketua DPRD Aceh pada masa itu, Haji Muhammad Yus- Abu Yus dan Wakil Gubernur Bustari Mansyur menjadi dasar pertimbangan Gus Dur untuk memberhentikan keduanya.

Syamsudin ditawarkan untuk satu jabatan tertentu oleh pemerintah pusat, tetapi sang Profesor itu menolak dengan halus.

Baca juga: Gubernur Aceh - Apa Beda Soekarno, Soeharto, Gus Dur, SBY, dan Partai Aceh - Bagian I

Baca juga: Indra Iskandar, Sekjen DPR RI Asal Aceh, Pernah Ditugas Gus Dur Jumpai Panglima GAM Abdullah Syafii

Pilihan Gus Dur: Ramli Ridwan

Kini tiba giliran Gus Dur untuk menentukan calon pejabat Gubernur yang akan mempersiapkan pemilihan gubernur definitif berikutnya.

Gus Dur berdiskusi panjang dengan Mayjen Purn. Soeryadi Soedirdja, mantan gubernur DKI yang dangkatnya menjadi Menteri Dalam Negeri, sekaligus menjadi Menko Polkam ad interim pada masa itu.

Perintah Gus Dur kapada Soeryadi, sangat jelas dan terang,-“cari orang Aceh!”

Perintah itu dilaksanakan dengan baik oleh Soeryadi, mencoba mencari orang Aceh di Departemen Dalam Negeri, sekaligus mencari dua pendamping calon “intat linto” untuk  dipilih dan diputuskan oleh Presiden Gus Dur.

Soeryadi kini mempunayi masalah besar, ada orang Aceh di Departemen dalam Negeri, Ramli Ridwan, mantan bupati Aceh Utara yang saat itu menjadi Kepala Biro Umum di departemen yang dipimpinnya.

Ramli tidak memenuhi kualifikasi untuk menjadi pejabat Gubernur.

Ketika Soeryadi meyampaikan kepada Gus Dur, sang presiden tetap ngotot, “cari jalan pak Soeryadi!, saya mau orang Aceh, ya Ramli itu.” 

Soeryadi menimpali Gus Dur, “Ya Gus. Saya akan cari caranya Gus, saya juga orang Aceh Gus”, timpal Soeryadi.

Jenderal Soeryadi itu memang pernah bertugas lama di Aceh, ketika memulai karirnya sebagai prajurit TNI AD di Bireuen dan Kuala Simpang.

Soeryadi kemudian menghubungi kontaknya, salah satu tokoh Aceh untuk mencari dukungan penunjukan Ramli dari akar rumput, terutama dari tokoh masyarakat, akademisi, dan ulama.

Orang yang diminta itu, tak berani turun ke bawah, karena  intensitas konflik GAM dengan TNI yang semakin meningkat.

GAM pasti tidak menyukai itu, dan akhirnya upaya itu gagal.

Akhirnya Soeryadi membuat terobosan dengan meminta surat dukungan dan rekomendasi dari kepala “suku Aceh” di Jakarta, Bustanil Arifin.

Tanpa menunggu lama pak Bus menulis rekomendasi untuk Ramli Ridwan sembari menyebutkan alasannya sebagai putra Aceh tulen, dan, birokrat yang sangat mengerti politik Aceh.

Bustanil juga menambahkan Ramli sebagai mantan bupati berpengalaman di salah satu pusaran konflik Aceh, di Aceh Utara.

Ketika surat Bustanil diterima Soeryadi, ia sangat senang, karena sebagian tugas yang diberikan Gus Dur telah dipenuhi.

Tak lama setelah itu, Ramli Ridwan, kepala Biro Umum Departemen Dalam Negeri dilantik sebagai pejabat gubernur Aceh menggantikan Syamsudin Mahmud.

Ketika ada orang mepertanyakan tentang kualifikasi Ramli yang tidak memenuhi syarat itu kepada Soeryadi, sang menteri itu mempersilakan yang keberatan bertanya langsung ke Gus Dur.

Tak ada seorangpun yang berani bertanya apalagi mempersoalkan penunjukan Ramli oleh Gus Dur.

Semua orang tahu, setiap kebijakan yang diambil Gus Dur yang “tak biasa”, “tak patut”, bahkan “tabu”, respons sang presiden pasti dijawab dengan nada lawak dan guyon, dan kadang nyeleneh.

Tak jarang jawaban Gus Dur menyakitkan, atau langsung marah, sembari menarik napas panjang yang mengindikasikan ekspresi emosinya.

Gus Dur memang terkenal nekad, terutama ketika ia membuat sejumlah keputusan yang kontroversial.

Ramli bertugas selama sekitar enam bulan, sembari mempersiapkan pemilihan gubernur definitif via DPRD.

Tugas itu selesai dan untuk pertamakalinya DPRD Aceh memilih dengan bebas calon Gubernur Aceh.

Pasangan Abdullah Puteh-Azwar Abubakar memenangkan pemilihan itu dengan mengalahkan sejumlah calon lainnya.(Bersambung)

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Berita Terkini