Opini

Daud Beureueh dalam Ingatan

Editor: mufti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Khairil Miswar adalah Penulis buku Habis Sesat Terbitlah Stres (2017)

Khairil Miswar, Founder POeSA Institute

DAUD Beureueh adalah pemberontak.” Hingga hari ini, label demikian terus saja diulang-ulang oleh segelintir anak negeri. Sepintas, memang tidak dapat disalahkan, karena Sejarah Nasional selama ini telah menempatkan Daud Beureueh dalam posisi yang sangat tidak tepat, sebagai pemberontak—hanya karena ijtihad politiknya yang kala itu memperjuangkan Negara Islam, mengikut jejak Kartosuwiryo di Jawa Barat.

Sadisnya, label pemberontak kepada Daud Beureueh terus saja diwariskan dari generasi ke generasi. Akhirnya cap yang tidak adil ini terus tertancap di sanubari generasi penerus bangsa ini, khususnya di Aceh, tanah yang pernah bergetar ketika Daud memegang kendali politik di masa silam. Selalu ada upaya dari “sisa-sisa feodal” dan “kelompok konservatif” agar nama besar Daud Beureueh hilang dari panggung sejarah, bahkan hilang dalam perbincangan publik.

Dalam Sejarah Nasional, Daud Beureueh diposisikan sebagai pemberontak yang ingin menumbangkan Pancasila, sementara dalam sejarah Aceh kontemporer, Daud Beureueh dicap sebagai pengkhianat karena mempertahankan semangat Republiken ketika Indonesia sedang berada di ujung tanduk. Pemberontak (versi RI) dan pengkhianat (versi sebagian masyarakat Aceh) adalah dua label antagonistis yang disematkan secara tidak sah kepada Daud Beureueh, seorang mujahid agung yang memaklumkan jihad melawan kolonial—dan bahkan menyelamatkan Indonesia ketika Belanda ingin kembali.

Daud Beureueh yang pada era 1947-1949 menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo telah memberikan kontribusi besar bagi tegaknya Republik Indonesia yang pada saat itu berada dalam keadaan “koma.” Adalah naif, jika seorang investor republik kemudian melakukan pemberontakan tanpa didasari oleh alasan-alasan yang cukup kuat dan mendesak.

Gerakan koreksi

Dalam beberapa perbincangan bersama Alkaf, dia menyebut tindakan Daud Beureueh sebagai sebuah koreksi terhadap Republik dan bukan pemberontakan. Namun, dengan meminjam Alkaf, saya merasa lebih tepat menyebut gerakan 1953 yang dipimpin Daud Beureueh sebagai “gerakan koreksi bersenjata.” Kenapa bersenjata? Jawabannya adalah karena kondisi yang sangat-sangat mendesak. Dan penggunaan senjata adalah salah satu simbol keseriusan, setelah sebelumnya diawali dengan berbagai macam diskusi dan upaya diplomasi yang gagal.
Gerakan koreksi yang dilakukan oleh Daud Beureueh pada 1953 bukanlah tujuan, tapi hanya salah satu bentuk bakti beliau demi kebaikan Republik Indonesia yang menurut beliau telah “melenceng” dari jalan yang benar. Jika memang pemberontakan adalah tujuan, tentu Daud Beureueh akan melakukan gerakan tersebut jauh sebelumnya, tepatnya pada 1947- 1949, bukan pada 1953. Kita tahu bahwa pada era tersebut, Daud Beureueh memegang kendali politik secara penuh di Aceh.

Pada tahun-tahun itu, jangankan untuk memberontak, bahkan Daud Beureueh bisa saja memproklamirkan Aceh Raya sebagai negara yang berdaulat dan terpisah dari rangkaian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tapi sejarah telah membuktikan, Daud Beureueh tidak melakukan itu—walau godaan dari Sumatera Timur begitu kuat.

Sikap politik

Tidak hanya sebagai pemimpin politik, Daud Beureueh juga seorang ulama besar di Aceh. Hal ini setidaknya dibuktikan dengan terpilihnya beliau sebagai ketua Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada 5 Mei 1939. Demikian pula ketika diadakan Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia di Medan pada 1953, beliau juga terpilih sebagai pemimpinnya. Fakta-fakta sejarah ini sudah cukup membuktikan kepada kita semua bahwa Daud Beureueh adalah ulama yang punya pengaruh besar di Nusantara. Bahkan menurut Ali Hasjmi, nama Daud Beureueh juga bergetar di Asia Tenggara.

Daud Beureueh dikenal sebagai sosok yang sangat konsisten terhadap syariat Islam. Di masa mudanya, setelah menyelesaikan pendidikannya di beberapa dayah, Daud Beureueh juga mengajar dan berdakwah di berbagai daerah di Aceh. Sebagai penganut Islam murni, Daud Beureueh dalam kesehariannya juga menolak segala bentuk kesyirikan, bid’ah dan khurafat yang tidak memiliki landasan dalam agama.

Daud Beureueh juga sempat melakukan pembersihan terhadap berbagai praktik salik buta di seluruh Aceh. Menurut catatan Ali Hasjmi, berkat kerja keras dan dakwah yang dilakukan Daud Beureueh, pada tahun 1930-an tidak ada lagi praktik sulok (salik buta) di Aceh.

Daud Beureueh memimpikan agar Indonesia menerapkan syariat Islam, karena perjuangan yang dilakukan oleh Daud Beureueh adalah didorong oleh semangat jihad fi sabilillah sebagaimana digagas Teungku Chik Di Tiro. Ketika menjabat sebagai Gubernur Militer pada masa-masa revolusi, Daud Beureueh pernah mengeluarkan beberapa maklumat kepada masyarakat agar menerapkan syariat Islam dan menjauhi segala bentuk maksiat. Dan bahkan dalam maklumat tersebut Daud Beureueh mengancam akan menghukum siapa pun yang melanggar syariat Islam.

Ketika Soekarno berkunjung ke Aceh, Daud Beureueh juga meminta agar di Aceh bisa diterapkan syariat Islam, tetapi janji Soekarno ini tidak terealisasi sehingga Daud Beureueh dengan sangat terpaksa melakukan perlawanan terhadap pemerintah dengan tujuan syariat Islam bisa tegak di Aceh. Setelah beberapa lama berada di gunung untuk berjuang bersama Darul Islam, akhirnya Daud Beureueh bersedia kembali kepada masyarakat setelah beliau mendengar bahwa pemerintah akan mengizinkan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Pasca turun gunung, beliau kembali berdakwah dan memberi pengajian kepada masyarakat di Masjid Baitul A’la Lil Mujahidin.

Pejuang Islam

Halaman
12

Berita Terkini