Satu Hari Setelah Sidang Skripsi di UIN Ar-Raniry, Rahmat Buka Grosir Beras di Banda Aceh
Laporan Hasan Basri M. Nur
SERAMBINEWS.COM - Selama ini, Perguruan Tinggi (PT) dianggap sebagai penyumbang angka pengangguran utama di Aceh.
Di Aceh, terdapat puluhan PT yang tersebar mulai dari Banda Aceh hingga kabupaten/kota.
Dalam satu tahun ribuan, mungkin belasan ribu, sarjana dilahirkan PTN dan PTS di Aceh.
Setelah wisuda, sebagian dari mereka tidak mendapatkan pekerjaan sebagaimana spesialisasi ilmu yang telah mereka peroleh di bangku kuliah.
Ada beberapa latar belakang yang menjadikan alumni PT di Aceh kesulitan mendapatkan perkerjaan.
Pertama, ketersediaan lapangan kerja yang sangat terbatas. Aceh bukanlah kawasan industri.
Investor tampak enggan menanamkan saham untuk membuka industri di Aceh. Jumlah perusahaan stagnan di Aceh.
Baca juga: Kini, Banda Aceh - Singkil Tembus 11 Jam, Via Buloh Seuma, Meski Masih Harus Naik Rakit
Upaya pemerintah daerah dalam merangsang kehadiran investor juga tampak jalan ke tempat dari tahun ke tahun, dari janji gubernur/bupati yang satu ke yang lain.
Kawasan Industri Aceh (KIA) di Ladong Aceh Besar terkesan menjadi “sarang hantu” dan lembu walau dana dari APBA telah dikucurkan puluhan hingga ratusan miliar rupiah dari tahun ke tahun.
Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) berjalan di tempat walau usiannya telah lebih 20 tahun.
Misi menjadikan Sabang dan Pulo Aceh sebagai kawasan Freeport (pelabuhan bebas) dan Freetrade Zone (kawasan perdagangan bebas) tidak terwujud walau dana triliunan rupiah dari APBN telah tersedot.
Demikian juga Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun Lhokseumawe. Publik Aceh hanya mendengar janji angin surga yang silih berganti keluar dari mulut penguasa sejak awal era reformasi.
Anehnya, dalam keadaan demikian, masyarakat Aceh justru disibukkan oleh kebijakan Surat Edaran (SE) tentang penutupan warung kopi dan penutupan salah satu sistem perbankan yang menjadi magnet permodalan bagi rakyat.