(7). Pemindahan Ketua Polisi Aceh Muhammad Insya, dan Komisaris Muda Polisi, Yusuf Effendi ke Medan merupakan suatu tamparan hebat bagi Aceh.
(8). Pemindahan semua Batalyon tentara yang dipimpin putra Aceh keluar Aceh dan digantikannya oleh orang luar yang kebanyakannya bukan muslim, seperti pemindahan Mayor Hasballah Haji ke Tarutung, Tapanuli yang diganti oleh Letnan Kolonel Nazir (Komunis).
Batalyon T Manyak dipindahkan ke Jawa Barat, Batalyon Alamsyah ke Indonesia Timur, Batalyon Hasan Saleh ke Sulawesi Selatan kemudian ke Maluku Selatan, dan Batalyon Nyak Adam Kamil pun segera dihijrahkan dari bumi Aceh.
Sebagai penggantinya didatangkan sejumlah Batalyon dari Tapanuli seperti Batalyon Manaf Lubis, Batalyon Ulung Sitepu (Komunis), dan Batalyon Boyke Nainggolan.
Orang-orang Tapanuli ini bukan hanya beda agama dengan orang Aceh, akan tetapi cara kerja mereka pun sangat jauh daripada kebiasaan dan akhlak orang Aceh.
Mereka memasuki masjid dengan sepatu berlumpur, menampakkan kemaluan kepada orang perempuan, meminum arak di khalayak ramai. Kerja-kerja seperti ini bukanlah kesilapan tentara, akan tetapi nampaknya seperti telah diprogramkan lebih awal oleh Komandan Brigade Letnan Kolonel Nazir yang sangat benci wujudnya pemerintahan PUSA (Ulama) di Aceh.
Dan usaha ini pula disengaja untuk memancing kemarahan bangsa Aceh.
Dengan demikian sudah ada alasan bagi Jakarta untuk menghancurkan Aceh dari sebuah provinsi yang islami dan menjadikannya sebuah provinsi sekuler sebagaimana halnya dengan provinsi-provinsi lain.
(9). Pembubaran Provinsi Aceh oleh Perdana Menteri Muhammad Nasir dari MASYUMI yang dibaca dan disiarkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Kutaraja pada tanggal 23 Januari 1951, menjadi sebab utama meletusnya peristiwa berdarah di Aceh.
Dalam versi Ibrahimy, Provinsi Aceh dibubarkan pada 14 Agustus 1950 oleh Kabinet Halim yang berkedudukan di Yogyakarta dengan Perpu No 5 tahun 1950 yang ditandatangani oleh pemangku jawatan Presiden RI Mr Assat dan Mendagri RI Mr Soesanto Tirtoprojo.
Di antara sekian penyebab meletusnya pemberontakan di Aceh, persoalan pembubaran provinsi ini menjadi penyebab utama dalam pandangan masyarakat kita.
Pembubaran provinsi ini lebih didominasi oleh kepentingan politik MASYUMI, dengan perkiraan kalau Aceh tetap menjadi satu provinsi maka partai Islam ini akan menang mutlak di Aceh dan kalah total di Sumatera Utara yang banyak orang Kristen. Untuk mempertahankan kemenangannya di Sumatera maka pimpinan-pimpinan partai tersebut berusaha keras menggabungkan Aceh dengan Sumatera Utara dengan menghilangkan status provinsi.
Untuk mengelak jangan cemar reputasi (nama baiknya), mereka beralasan bahwa ketentuan Konferensi Meja Bundar di Den Haag menetapkan Indonesia menjadi sepuluh provinsi saja, sebenarnya itu bukan suatu ketentuan mutlak.
Sesungguhnya sasaran dan target Teungku Muhammad Daud Beureueh dari pemberontakan tersebut adalah terwujudnya Daulah Islamiyah di bumi Aceh setelah melihat tidak mungkin untuk seluruh Indonesia.
(10). Suatu peristiwa yang sangat pahit dan pedih bagi bangsa Aceh di bawah pimpinan kaum ulama adalah, Razia Agustus 51 atau Razia Sukiman yang menginjak-injak kehormatan kaum ulama sekaligus bangsa Aceh yang dahulu pernah menjadi pionir (pelopor) kemerdekaan Republik Indonesia.
Razia ini diperintahkan Perdana Menteri Dr. Sukiman di seluruh negara untuk mencari sisa-sisa senjata simpanan anggota komunis. Di wilayah lain, perintah itu dilaksanakan dengan baik dan tepat, yaitu tentara-tentara nasional menyita sejumlah senjata yang disembunyikan bekas orang komunis.
Sebaliknya, di Aceh orang-orang komunis sendiri yang mencari-cari kesalahan dan menangkap para ulama PUSA serta menggeledah dan memeriksa rumah-rumah penduduk dengan alasan mencari senjata simpanan.